Sting, Tua-tua Berbisa

0
1193

Ketika bertanya kepada penonton apa yang tersisa dari BNI Java Jazz Festival 20116? Jawaban paling banyak muncul adalah Sting. Sihirnya belum hilang hingga sepekan kemudian. Di mobil, di kantor, orang-

Sting tampil setelah Chris Botti, menghibur dengan lagu-lagu yang sendu bersama pemain biola Caroline Campbels dan penyanyi Sy Smith. Sungguh-sungguh membuktikan daya sengatnya yang luar biasa di usianya yang makin gaek, 64 tahun. Penyanyi dan musisi asal Inggris ini menyengat panggung JJF dengan sejumlah hitnya.

Dua malam berturut-turut, Sting tampil dengan set list yang hampir sama. Sting sebenarnya memang ditempatkan sebagai penampil pelengkap bagi Botti. Keduanya sempat tampil bersama dalam beberapa lagu, seperti ”If I Ever Lose My Faith in You”, ”Every Little Thing She Does is Magic”, ”Seven Days”, ”Fields of Gold”, hingga “Moon Over Bourbon Street”.

”If I Ever Lose My Faith in You”, lagu bersyair tegas tetapi romantis itu menyuarakan gugatan terhadap kondisi sosial yang masih relevan hingga kini. Lagu yang mengantar Sting meraih Grammy Award sebagai penyanyi pria terbaik tahun 1994 ini pernah dibawakan kembali oleh Chris Botti dengan Sting pada vokal dalam album Chris Botti: Live in Boston. Cocok sebagai pembuka.

Botti sempat mengungkapkan kekagumannya kepada Sting sebagaimana dia mengagumi Frank Sinatra. Baginya, dua musisi itu mempunyai bakat sama besar. Menjelang tampil di JJF, Botti menawari Sting untuk bersama menyanyikan lagu Frank Siantra ”In The Wee Small Hours of The Morning”. Ini lagu lama yang liriknya ditulis Bob Hilliard dan komposisi oleh David Mann pada tahun 1955. Mereka menciptakan lagu itu pada lewat tengah malam ketika Mann hendak meninggalkan New York.

Lagu itu seperti juga salam perpisahan sebelum Botti meninggalkan Sting di panggung. Setelah itu, Sting kembali menyengat panggung dengan lagu-lagu hitnya, seperti ”Shape of My Heart”, lagu yang diciptakan bersama gitaris Dominic Miller, sosok yang setia menemani Sting sejak 1990, baik dalam tur maupun rekaman album.

Sting lalu membawa penonton ke gurun pasir lewat intro lagu ”Desert Rose”, mengingatkan kita pada suara Ahmed Khelifati Mohamed atau Cheb Mami (50). Dalam rekaman aslinya, Cheb menyanyikan intro dalam bahasa Arab diiringi musik gambus.

Malam itu, intro lagu itu membuat penonton bergoyang, terutama para perempuan. Penonton perempuan sejak kemunculan Sting di panggung seperti lupa bahwa mereka sudah bersuami dan anak. Seolah usianya kembali muda 10 atau 15 tahun dengan ikut melonjak-lonjak dan tenggelam histeria. Malam itu Sting memakai kemeja tipis dengan dua kancing atas dibiarkan terbuka. Tak sedikit yang memuji tubuh Sting yang kelihatan atletis di usianya yang kepala enam itu.

Maklumlah, Sting rajin yoga sejak sekitar 26 tahun lalu dan sebelumnya rajin lari hingga lima mil sehari. Selain yoga, Sting diet makrobiotik, yakni menyeimbangkan jenis asupan makanan berdasarkan iklim, musim, aktivitas, usia, dan jenis kelamin. Prinsipnya, makanan yang dikonsumsi berimbas pada kesehatan dan kebahagiaan. Diet ini dilakukan juga oleh diva pop Madonna.

Tak banyak bicara

Sting tampil kalem, tak banyak bicara, tetapi justru pada titik itulah kharismanya memancar. Mungkin itu juga pengaruh yoga yang dia percaya telah memperkaya jiwanya. Dampaknya, antara lain, karya-karya Sting setelah kenal yoga terasa lebih tenang dan maknawi. Lagu ”Fields of Gold” dari album Ten Summoner’s Tales (1993) adalah salah satunya. Sting menciptakan lagu tentang komitmen dan kesetiaan itu terinspirasi oleh istrinya, aktris Trudie Styler.

Nah, kini giliran penonton pria yang banyak bergoyang ketika Sting menyanyikan lagu ”Roxanne” dengan rasa jazz. Lagu ini pertama dirilis tahun 1978 dalam album Outlandos d’Amour ketika Sting masih memperkuat band The Police. Ia mencoba memberi kejutan dengan menyelipkan lagu Bill Withers ”Ain’t No Sunshine” yang sontak disambut applause dan goyangan penonton pun mereda. Lalu Sting pulang kembali ke pelukan ”Roxanne” dengan gaya reggae yang kembali menggoyang penonton.

Dua belas lagu populer milik Sting itu benar-benar membuktikan daya sengat Sting yang tak tertandingi di panggung JJF. Saat Sting menghilang dari panggung, penonton kompak ”memanggilnya” kembali. Penonton pun puas mendapat dua lagu tambahan yang mengakhiri malam dengan sempurna, ”Englishman In New York” dan ”Fragile”.

Sting sering menyanyikan ”Fragile” di pengujung konser sebagaimana yang dia lakukan di Jakarta pada 1994 dan 2012. Lagu ini sarat pesan sosial karena lahir sebagai respons atas tewasnya seorang insinyur mesin berkebangsaan Amerika, Ben Linder (27), oleh kelompok oposisi Nikaragua, Contras, pada 28 April 1997. Dia merupakan sosok idealis yang ingin memperbaiki nasib rakyat miskin.

Entah pesan lagu itu diingat atau tidak oleh penonton. Yang jelas, hingga sepekan kemudian masih terdengar lagu-lagu Sting diputar ulang di kantor-kantor, bahkan di pom bensin. Sihir dan bisa Sting masih bekerja.


Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 13 Maret 2016, di halaman 20 dalam rubrik “Sting, Tua-tua Berbisa”