Mengembalikan Malang Kota Taman

0
1423

Siapa tidak kenal dengan keelokan Malang. Kota berpenduduk 848.474 jiwa, 1 juta jiwa pada siang hari, tersebut secara geografis sudah menawan sejak diciptakan. Kota ini layaknya cawan berharga yang dipagari jajaran tinggi Gunung Semeru di sisi timur, Gunung Kawi di sisi barat, Gunung Arjuno, dan Gunung Welirang di sisi utara.

Letaknya di daerah pegunungan menjadikan suhu udara di Malang lebih dingin dibandingkan kota-kota lain di Jawa Timur. Tahun 1980-an, suhu udara di Kota Malang rata-rata 17 derajat celsius. Taman-taman dibangun di sejumlah wilayah. Kota seluas 110 kilometer persegi ini pun oleh arsitek Belanda Herman Thomas Karsten (1884-1945) disebut kota taman. Keelokan dan kesejukannya itu membuat Belanda jatuh hati sehingga menjadikan Malang sebagai kota peristirahatan.

Namun, keistimewaan itu pernah hilang saat pepohonan, bunga, dan ruang terbuka yang menjadi ciri khas kota satu per satu lenyap berganti menjadi bangunan dan pusat bisnis. Dari kota ijo royo-royo, Kota Malang disindir oleh warganya menjadi kota ijo ruko-ruko (rumah toko). Suhu udara pun lebih dari 30 derajat celsius.

Salah satu ikon tersisa dari kota ini adalah kawasan Jalan Ijen. Kawasan perumahan elite (di masanya merupakan bangunan vila) dengan jalan besar dan tanaman palem di kanan-kiri jalan adalah khas Jalan Ijen. Pemandangan Gunung Kawi di sisi barat awalnya adalah kelebihan kawasan ini sebelum akhirnya tertutup bangunan.

Tidak ingin keelokan Kota Malang kian rusak, Pemerintah Kota Malang secara perlahan berusaha merevitalisasi dan menambah ruang terbuka. Dibangunlah sejumlah taman kota dan trotoar mulai diperbaiki.

Taman Merjosari, Taman Merbabu, Taman Trunojoyo, Taman Kunang-Kunang Jalan Jakarta, dan Taman Mojolangu, semua dibangun untuk itu. Taman-taman tersebut tidak sekadar bernilai estetis, tetapi juga menjadi ”hidup”. ”Hidup” karena taman tidak sekadar dapat dipandang, tetapi juga dapat menjadi wadah berkegiatan. Menjadi tempat bermain anak, tempat kumpul keluarga, hingga tempat beragam komunitas berkegiatan.

Pedagang kaki lima (PKL) yang selama ini menguasai trotoar dan taman pun mulai digeser. Bangku-bangku taman disiapkan di beberapa ruas jalan.

”Kota Malang sebenarnya adalah kota nyaman untuk tinggal. Bagaimana masyarakat bisa memanfaatkan fasilitas umum seperti taman, trotoar, dan sarana lain, itu harus dijaga. Pedagang kaki lima pun ditata agar tidak mengganggu hak warga lain dalam menggunakan trotoar, misalnya. Jangan sampai kenyamanan kota ini hilang karena egoisme dan pola pikir masyarakat tradisional, yang hanya berpikir untung sendiri tanpa memedulikan hak orang lain,” kata Wali Kota Malang Mochammad Anton.

Hasilnya, Taman Trunojoyo yang semula penuh dengan PKL mulai terlihat indah karena pedagang ditata dengan baik. Jalur menuju Pasar Besar Malang yang selama ini dipenuhi pedagang kaki lima juga ditata ulang. PKL ditertibkan dan tidak boleh berjualan di sepanjang trotoar.

Belum merata

Seluruh upaya itu dibuat untuk menata Kota Malang kembali nyaman. Namun, polesan dan daya tarik tersebut sebagian besar masih memusat di tengah kota, yaitu di sekitar alun-alun dan taman kota, Jalan Ijen, Jalan Veteran, dan sejumlah jalur utama. Daerah timur dan selatan kota dapat dikatakan belum begitu tergarap.

Padahal, meratakan pusat pertumbuhan, menurut Kepala Jurusan Perencanaan Wilayah dan Tata Kota Universitas Brawijaya, Malang, Abdul Wahid Hasyim, penting. Pemerataan pusat pertumbuhan akan menghindarkan kota dari berbagai persoalan seperti banjir, kemacetan, dan ketimpangan ekonomi yang memicu kerawanan sosial.

”Saat ini boleh dikatakan pertumbuhan paling pesat di Kota Malang berada di sisi barat dan utara kota. Di sana terdapat tarikan berupa kampus dan merupakan kawasan terdekat ke kota wisata Batu. Sebaiknya, Pemerintah Kota Malang juga membuat magnet atau tarikan pertumbuhan di kawasan timur dan selatan agar pertumbuhan dan perkembangan kota merata,” kata Abdul Wahid Hasyim.

Hasil acara Bincang Kompas, akhir Februari lalu, muncul ide menumbuhkan pusat ekonomi baru di wilayah timur dan utara. Misalnya, dengan menggeser pusat pendidikan ke Malang dengan cara mendorong kampus-kampus membangun ruang kuliah atau perumahan dosen di sana.

Kota Nyaman- Suasana Alun-alun Kota Malang, Jawa Timur dengan pemandangan Masjid Jami' Malang, Jumat (4/3). Kota Malang saat ini bergerak untuk mengembalikan kenyamanan kota, setelah sebelumnya banyak RTH tergerus dan berubah menjadi pusat-pusat bisnis. Kompas/Dahlia Irawati (DIA)
Kota Nyaman- Suasana Alun-alun Kota Malang, Jawa Timur dengan pemandangan Masjid Jami’ Malang, Jumat (4/3). Kota Malang saat ini bergerak untuk mengembalikan kenyamanan kota, setelah sebelumnya banyak RTH tergerus dan berubah menjadi pusat-pusat bisnis.
Kompas/Dahlia Irawati (DIA)

Bersih

Upaya lain di Kota Malang untuk kembali ”nyaman” adalah dengan mengolah sampah. Kebersihan kota menjadi salah satu prioritas. Kali ini, hal itu dilakukan di daerah pinggiran.

Kota Malang berhasil menggerakkan masyarakatnya untuk menabung di Bank Sampah sejak 2011. Uang hasil penjualan sampah ditabung dan suatu ketika dapat diambil untuk berbagai keperluan, seperti membayar listrik, air PDAM, telepon, bahkan untuk biaya kesehatan. Nilai transaksi bank sampah Kota Malang Rp 300 juta-Rp 500 juta sebulan.

Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Supit Urang di Kecamatan Sukun (wilayah selatan) pun pada 2017 direncanakan menjadi TPA berbasis sanitary landfield (metode pengurukan sampah dengan tanah) modern. Saat ini detail engineering design atau perencanaan fisik bangunan renovasi TPA Supit Urang sedang dibuat.

”Jika pemerintah peduli penataan sampah, harapannya masyarakat juga peduli mengelola sampah mereka,” kata Anton.

Kepedulian mengelola sampah, misalnya, dirintis sekelompok warga di RW 004 Kelurahan Sukun, Kecamatan Sukun. Mereka beternak cacing lumbricus—cacing untuk pakan udang atau ikan—yang akan menjadi pemakan sampah organik warga. Sampah sisa makanan serta sampah keluarga yang semula dibuang ke sungai kini dijadikan makanan bagi cacing lumbricus. Cacing pun laku dijual dengan harga mahal.

Kemudian di Jalan KH Malik Dalam Gang VI Kecamatan Kedungkandang (kawasan Malang timur), belum lama ini Pemerintah Kota Malang meresmikan wirausaha bersama (WUB) hulu hilir pengelolaan sampah plastik. WUB ini berada di bawah binaan Badan Amil Zakat Nasional (Baznas) Kota Malang.

Lokasi tersebut menjadi semacam pabrik pengolah limbah plastik menjadi pelet plastik. Pelet plastik diolah menjadi produk plastik seperti sandal. Pelaku usaha pengolahan limbah plastik ini adalah sekelompok masyarakat binaan Baznas. Selain menjaga lingkungan, usaha ini juga memiliki nilai ekonomi bagi warga.

Kota Malang menghasilkan sampah 607,44 ton per hari. Dari jumlah itu, sekitar 412,98 ton masuk dan ditimbun di TPA Supit Urang. Gas metan dari timbunan sampah itu sudah dimanfaatkan warga sekitar TPA sebagai bahan bakar pengganti elpiji. Pemerintah Kota Malang sedang berusaha mengubah gas metan tersebut menjadi listrik sehingga pemanfaatannya lebih luas.

Berbagai upaya tersebut diharapkan dapat mengembalikan keelokan Malang sebagai kota taman.


Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 13 Maret 2016, di halaman 11 dalam rubrik “Mengembalikan Malang Kota Taman”