Panggung Java Jazz Festival semakin jauh dari rasa jazz. Sebagian besar penampil malah membawakan lagu-lagu pop, bahkan ska dan folk.
Musisi pop yang mendapat panggung prestisius, antara lain Raisa, Afgan, Glenn Fredly, Marcello Tahitoe, dan Isyana Sarasvati di BNI Hall atau Naif di Java Jazz Hall yang tentu saja dengan tata panggung maksimal dan penyejuk ruangan.
Beberapa musisi jazz malah mendapat tempat pinggiran, seperti Benny Mustafa di Coffee Stage dan Syaharani di stage bus, bus yang disulap menjadi panggung di luar gedung. Tentu saja panas dan tak begitu menarik penonton.
Memang muncul penampil berbasis jazz, seperti Yellowjackets atau setidaknya pop jazz funk macam Level 42 yang juga bergaung namanya di Tanah Air. Ada juga kelompok macam Sore dengan pop jazz retro atau Hiatus Kaiyote dengan jazz elektroniknya yang rumit.
Secara sarkastis, vokalis Naif, David Bayu Danangjaya, mengkritik pergelaran BNI Java Jazz Festival 2016 atau JJF. ”Kami ini tidak punya lagu-lagu jazz.”
Di panggung BNI Java Jazz 2016, Barry Likumahuwa menyindir pelaksanaan JJF yang makin nge-pop. Dia mengungkapkan keprihatinannya terhadap musisi-musisi jazz Tanah Air yang justru terpinggirkan di panggung kecil.
”Apa perlu kita ganti saja namanya menjadi Java Festival,” lontarnya tanpa gentar dari atas panggung. Aksinya itu disambut tepuk tangan gemuruh penonton.
Secara terpisah, Barry mengungkapkan, dia memikul tanggung jawab mengedukasi penonton. Dia ingin penonton mengerti bahwa tidak semua yang tampil di panggung JJF bermain jazz. ”Aku pun bukan seorang jazz purist, tetapi memahami jazz yang sesungguhnya,” ungkap Barry.
Di luar itu semua, faktanya penonton membeludak di panggung pop, jazz, folk, bahkan ska di JJF 2016. Pasarnya hidup.
Apakah JJF sekadar mengejar pasar?
(MHF/EKI/DOE)
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 13 Maret 2016, di halaman 20 dalam rubrik “Java Jazz yang ”Ngepop””