Hawa segar seperti berembus di museum NuArt Sculpture Park Bandung. Karya-karya patung tertata secara lebih modern dengan pencahayaan yang menawan. Di hamparan taman, tersebar sekitar 30 patung di dekat pohon atau berdiri di rerumputan. Bikin betah berlama-lama menikmati paduan karya-karya indah dan sentuhan alam yang asri.
Putu Tania Nuarta atau lebih dikenal dengan Anya Madiadipoera yang memegang kunci kesegaran dan hawa pembaruan itu. Darah seni mengalir di nadi anak sulung seniman Nyoman Nuarta ini, tetapi dia lebih senang sekolah desain, yang katanya, agar lebih bermanfaat bagi orang lain. Setelah lulus kuliah 2003, Anya menata dan mengurasi karya-karya ayahnya. Lewat sentuhan Anya, karya Nyoman memiliki nilai lebih. Tidak hanya estetis, tetapi terpasang di tempat yang tepat.
Selain puluhan karya Nyoman di NuArt, juga terdapat sekitar 40 karya lain yang tersebar di berbagai mal dan taman. Salah satunya adalah patung Arjuna Wijaya di persimpangan Jalan MH Thamrin-Jalan Medan Merdeka Jakarta. Patung yang berdiri sejak 1987 atas permintaan Presiden Soeharto itu telah mengalami renovasi tiga kali. Proses renovasi dan pemeliharaannya berada di bawah kendali Anya. Lewat sentuhan tangan Anya, keindahan patung-patung itu terus-menerus dipertaruhkan.
Tidak hanya itu, Anya pula penentu harga yang layak untuk sebuah patung karya ayahnya. ”Ayah saya ini orangnya masih seniman banget, tak memikirkan harga. Saya ikut membantu memberi harga yang proporsional,” ujar Anya yang pagi itu dalam balutan pakaian warna putih.
”Berantem”
Gagasan-gagasan Anya tak selalu bisa diterima ayahnya, begitu juga sebaliknya. Namun, karena sama-sama cenderung keukeuh, mereka kerap ”berantem” untuk mempertahankan gagasan. Anya merasa bahwa banyak hal usang yang harus diganti dengan ide-ide segar sebagaimana yang dia pelajari ketika sekolah di Amerika. Sementara ayahnya menilai, anaknya tidak cukup pengalaman memahami keadaan.
Contohnya, ketika Anya mengusulkan agar pegawai taman yang jumlahnya 14 orang dikurangi cukup menjadi dua orang demi efisiensi karena keuangan perusahaan kurang bagus. Ayahnya mengatakan bahwa banyak keluarga yang harus dihidupi NuArt dan lebih baik gaji pas-pasan asal dapat mempekerjakan banyak orang. Lebih baik bekerja menggunakan hati daripada menjadi kapitalistik. Itu bagian dari karma baik. Anya pun mengalah.
Pada kesempatan lain, mereka beda pendapat tentang sebuah proyek yang dinilai Anya kurang bagus karena tidak prospektif dan alasan lain. Nyoman menilai sebaliknya. Setelah berantem dua sampai tiga hari dan mengendapkan masalah, Nyoman merasa, alasan anaknya benar dan lebih masuk akal. ”Ya, kami ini sparring partner. Sepertinya ide-ide kami perlu disalahkan dulu baru kami putuskan mana yang bagus, he-he-he.”
Dari pola komunikasi itu sebenarnya tersirat hubungan yang demikian dekat antara ayah dan anak. Akan tetapi, Anya juga melihat bahwa tantangan terbesar adalah ayahnya dan hanya dialah yang berani menghadapinya. Ketika para pegawai merasa keputusan Nyoman kurang pas, mereka melapor ke Anya untuk mengoreksi ayahnya. Biasanya setelah enam hari keputusan itu berubah, tentu saja setelah Anya memberi pengertian dari sudut pandang anak muda.
Lekat sejak kecil
Anya memahami betul watak ayahnya lantaran sejak kecil dia terlibat langsung dalam banyak urusan kreatif Nyoman. Ketika berusia lima tahun, dia melihat ayahnya mendesain, lalu diajak mencari bahan, dan ikut memasang patung badak putih di Balai Kota Bandung. ”Sebelum dipasang, patung itu saya naikin bersama ayah, ha-ha-ha. Bajanya solid dan saya yakin sampai 100 tahun nanti tidak rusak.”
Dari kedekatan itu pula, Anya menyerap etos kerja ayahnya yang begitu sayang keluarganya. Hal itu antara lain tecermin dari puluhan karya Nyoman yang banyak terinspirasi dari istri, anak, dan cucu-cucunya. Sosok perempuan atau bayi dalam berbagai patung Nyoman bersumber dari keluarganya. Anya menyebut ayahnya sebagai sosok galak dan egois, tetapi romantis.
Sikap lain Nyoman yang banyak memengaruhi cara berpikir Anya adalah keterbukaan terhadap perbedaan. Sebagai anak berdarah Bali dan Sunda, Anya dididik untuk mengenal perbedaan sejak kecil. Meskipun beragama Islam, dia sekolah di lembaga pendidikan Katolik yang isinya anak-anak dari beragam suku dan agama. Di sana dia berteman akrab dengan siswa beretnis Tionghoa. Dia belajar bahwa tidak ada masalah dengan perbedaan karena nyatanya banyak orang baik meskipun beda dalam berbagai latar belakang.
Apalagi, di lingkungan keluarga besarnya, Anya menemukan fakta bahwa keluarga dari pihak ayah banyak menikah dengan orang beda agama atau suku. Itu sebangun dengan pesan neneknya di Bali. ”Gek, kamu nanti jadi pasangan orang Jawa atau bule, semua itu sama. Yang penting dia baik,” kata Anya yang bersuami orang Sunda, Alka Madiadipoera.
Semangat itulah yang diusung Anya ke dalam NuArt. Dia ingin NuArt tidak hanya berisi patung-patung ayahnya, tetapi juga mempunyai fungsi edukasi agar orang-orang yang datang ke sana dapat menemukan dirinya dan berani menjadi diri sendiri. Tidak takut untuk berbeda.
Kampanye ini berbarengan dengan edukasi menghargai karya seni. Anya paham, banyak orang yang enggan datang ke NuArt lantaran merasa tak begitu paham karya seni. Anya lantas membujuk guru di tempat anaknya sekolah untuk mendongeng di NuArt dengan mengajak para siswa. Tujuan lainya adalah agar orangtua siswa datang mengantar mereka.
Ketika anak-anak sibuk mendengarkan dongeng atau keliling menikmati karya-karya ayahnya itu, para orangtua tersebut secara tak sadar ikut menikmati. Mereka berswafoto dengan latar patung-patung yang dipajang di taman atau sembari minum di kafe.
Sekarang ini, NuArt menjadi tempat tongkrongan ibu-ibu yang menunggu anaknya pulang sekolah. Anya bahkan berencana membuka coffee shop meskipun sudah ada restoran dan kafe di sana. ”Karena banyak ibu-ibu senang ngopi.” Dengan lahan 3,6 hektar, Anya leluasa menambah beberapa bangunan kecil untuk mendukung kemajuan NuArt Sculpture Park itu.
Edukasi seni itu juga berupa lokakarya bagi anak-anak TK sampai mahasiswa. Mereka kadang diajak mewarnai atau membuat patung dari tanah liat dengan melibatkan para pegawai yang paham membuat patung. Di lokasi lokakarya itu, berdiri beragam miniatur patung Garuda Wisnu Kencana yang menjadi megaproyek NuArt. Anak-anak bisa menyimak detail pembuatan patung itu, mulai dari bahan, rangka, sampai maknanya.
Mereka juga bisa menikmati puluhan patung tembaga bergaya kontemporer yang tersebar di berbagai penjuru taman. Jika kurang puas, dapat menikmati sekitar 90 karya Nyoman di dalam museum yang tertata cantik. Anya tidak hanya cantik rupa, tetapi juga mampu menyulap NuArt tampil cantik dengan semangat pembaruannya.
Putu Tania Nuarta
Nama panggilan: Anya
Lahir: Bandung, 21 Juni 1977
Suami: Alka Madiadipoera
Anak:
– Narendra Madiadipoera
– Bianca Madiadipoera
Ayah: Nyoman Nuarta
Ibu: Cynthia Nuarta
Pendidikan:
– Setelah lulus SMA tahun 1995 di Bandung kemudian meneruskan studi jurusan desain grafis ke Melbourne, Australia, sampai tahun 1999. Setelah Australia, kemudian meneruskan lagi sekolah di San Francisco State University, Amerika Serikat, lulus tahun 2003.
– Anya kembali ke Indonesia tahun 2003, menikah dan langsung bekerja sebagai desainer grafis untuk Nyoman Nuarta sebelum akhirnya menjadi Direktur NuArt.
Mohammad Hilmi Faiq
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 21 Februari 2016, di halaman 17 dalam rubrik “ Soca Anya, Pengayuh Arah Baru NuArt”