Celana berukuran tanggung ini tak lekang dimakan zaman. Celana capri yang panjangnya sedikit di bawah betis itu diciptakan pada 1948 dan sampai kini selalu hadir di panggung mode dunia. Capri dianggap menjadi simbol inovasi di dunia mode yang lesu setelah Perang Dunia II.
Bagi pakar pengembangan diri Mien Uno (74), celana capri mengingatkannya pada masa di tahun 1960-an ketika ia tinggal di Dumai, Riau, mengikuti suaminya yang bekerja di perusahaan minyak. Banyak tenaga ahli dari sejumlah negara bermukim di kota ini.
”Saat itu banyak keluarga ekspat yang juga senang mengenakan celana capri. Saya menyukai celana pipa yang ujungnya dibelah dan di situ dipasang ikatan tali silang-silang, seperti tali sepatu,” kata Mien.
Menurut Mien, celana capri sangat cocok untuk perempuan yang tinggi dan berkaki jenjang karena potongan celana seperti itu menonjolkan kemolekan kaki dan membuat si pemakai kelihatan langsing.
Nama ”Capri” merujuk pada Pulau Capri di Italia Barat, yang merupakan salah satu destinasi liburan yang populer di dunia. Adalah Sonja de Lennart, desainer asal Prussia yang lahir di tahun 1920, yang menciptakan gaya celana tanggung ini di tahun 1948, hanya beberapa tahun setelah Perang Dunia II berakhir.
Pada tahun 1945 Lennart membuka butik pertamanya di Muenchen, Salon Sonja, dan mengeluarkan rancangan yang disebutnya ”Capri Collection”. Awalnya berupa koleksi rok lebar dengan ikat pinggang besar, blus dengan lengan tiga perempat, dan topi. Rancangannya ini mendapat respons positif dari publik Jerman, yang saat itu merupakan negara kalah perang. Tiga tahun kemudian, Lennart memperluas koleksi dengan menciptakan celana capri. Dan terjadilah revolusi di bidang mode.
Celana capri bukan saja digemari oleh para aktris dan sosialita Jerman, tetapi melebar jauh sampai ke seluruh Eropa dan Amerika. Wajah yang paling mudah diasosiasikan dengan celana capri adalah aktris Grace Kelly. Ia disebut sebagai bintang Hollywood pertama yang mengenakan capri (www.speak-fashion.de/fashion_history/classic/fashion).
Namun, aktris berwajah innocent Audrey Hepburn-lah yang menjadikan capri sebagai ciri khas dirinya. Baik dalam kesehariannya maupun dalam berbagai film yang dibintanginya, sepertiRoman Holiday, Funny Face, Love in the Afternoon, Sabrina; Hepburn gemar mengenakan capri. Sosok mungilnya kelihatan ramping dan dinamis.
Nama Sonja de Lennart mungkin relatif kurang dikenal dibandingkan dengan generasi desainer mode setelahnya. Meski demikian—beberapa dekade kemudian—sejumlah majalah mode kenamaan menulis tentang dirinya dan mengakuinya sebagai pencipta celana capri. Lennart bahkan dianggap sebagai sosok panutan desainer dunia seperti Yves Saint Laurent, Pucci, dan Givenchy. Ia juga kini ditempatkan sebagai desainer paling populer di Jerman, bersama-sama dengan Karl Lagerfeld dan Jill Sander.
”Setelah Perang Dunia II, dunia mode seolah berhenti. Kehadiran celana capri bak simbol optimisme terhadap kehidupan. Perasaan bersyukur karena being alive,” kata
Christina Schmitt, perestorasi busana antik untuk museum, seperti dikutip dalam Sonja de Lennart and the History of Capri Pants (www.youtube.co./watch).
Modifikasi
Dalam perkembangannya celana capri terus mengalami modifikasi, tetapi siluetnya tetap sama. Di Amerika, misalnya, ada yang menyebutnya sebagai clam diggers (pencari kerang), karena celana yang dipakai para pencari kerang ini tetap kering ketika mereka memanen kerang di pinggir pantai. Ada juga yang menyebutnya pedal pusher, karena celana ini nyaman ketika mengayuh sepeda. Ujung celana dipastikan tidak akan lagi menyangkut di pedal sepeda.
Di Indonesia, sebagian orang, khususnya di Jawa, menyebutkan sebagai celana jengki. Potongan celana seperti ini telah menjadi bagian industri mode sejak lama. Hampir semua desainer Indonesia pernah memasukkan siluet capri dalam koleksi mereka. Rentang kegunaan celana capri yang sangat fleksibel membuatnya bisa menjadi pilihan untuk situasi beragam, mulai dari celana santai sampai busana pesta. Dengan materi tekstil yang beragam, mulai dari denim, katun, kulit, sutra, wol, sampai tenun.
Perancang senior Harry Darsono (65), mengingat bagaimana sang ibu yang tinggal di Surabaya di akhir 1950-an sering memakai celana capri. Pada masa itu, ia juga sering melihat film-film yang dibintangi Elvis Presley, di mana para figurannya banyak yang mengenakan capri. ”Tetapi pada saat itu warna-warnanya masih warna primer yang sederhana. Belum ada wana hijau ataupun kuning canary. Paling-paling ada warna merah,” kata Harry.
Menurut Harry, tren capri sempat menghilang pada era 1980-an karena saat itu muncul tren celana baggy yang potongannya bertolak belakang dengan capri. Capri kembali hadir pada saat para musisi band rock memopulerkannya kembali. ”Setelah itu capri tak pernah lagi dikaitkan dengan penampilan aktris atau musisi. Capri diasosiasikan dengan suasana yang menyenangkan, kasual. Khususnya bagi mereka yang capek pakai sepatu resmi dan kaus kaki seharian,” lanjut Harry yang dalam pergelaran koleksi adibusana di Jepang, Korea, dan Tiongkok, April lalu memasukkan potongan capri dalam salah satu rancangannya,
Mengapa capri tetap abadi hadir di panggung mode, Harry menengarai karena semangat yang dihadirkan celana capri menonjolkan keremajaan, sportif, dan dinamis. ”Sampai kapan pun, semangat seperti itu akan selalu dihadirkan,” kata Harry.
(Myrna Ratna)
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 24 Mei 2015, di halaman 18 dengan judul “Capri yang Abadi”