Penindasan atau ”bullying” kadang dapat merongrong mental seseorang sehingga dia merasa inferior dan bahkan menolak kediriannya. Inilah yang dialami komedian Ernest Prakasa. Ia bangkit. Lewat film ”Ngenest”, Ernest menunjukkan bahwa hidup kadang memang perlu ditertawakan.
Lewat Film Ngenest: Kadang Hidup Perlu Ditertawakan, Ernest mementaskan perjalanan hidupnya, mengomedikannya, lalu mengajak penonton merenung bahwa sesuatu yang dianggap serius itu justru lucu. Film ini Ernest banget karena dia memegang kendali sebagai penulis naskah, sutradara, sekaligus pemeran utama.
Film ini bercerita tentang kehidupan Ernest yang lahir dan tumbuh dalam keluarga Tionghoa pada masa Orde Baru. Di sekolah, tidak banyak siswa ”Tionghoa” sehingga Ernest berulang kali menjadi sasaran bully. Mulai dari diledek, dipalak, sampai dikucilkan. Simaklah ketika Ernest SD masuk sekolah.
”Mau ke mana lo, Acong?” tanya kawan Ernest
”Gue mau ke kelas IB.”
”Bukannya ke kelas IC, China ha-ha-ha….”
Meskipun dia selalu dibela sahabatnya, Patrick (Brandon Salim/Morgan Oey), tidak lantas membuat Ernest merasa aman, apalagi nyaman. Ernest ingin mengakhiri semua bully itu dengan mencoba eksis dengan teman-teman lain. Ikut-ikutan malak anak-anak China. Ketika mengolok-olok kawannya yang China, Ernest digugat, ”Lha, elu kan China juga.”
Ernest menjadi tidak percaya diri dan bertekad mengakhiri mata rantai itu dengan berencana menikahi perempuan pribumi agar anaknya kelak terhindar dari bullying. Sayangnya, waktu SMA dia gagal masuk sekolah beasiswa. Dia malah terdampar di sekolah yang dipenuhi etnis Tionghoa. Rencana Ernest tertunda sehingga dia kuliah di Universitas Padjadjaran, Bandung.
Di Bandung, Ernest seolah menemukan jalan mencari jodoh pribumi. Apalagi, setelah bertemu dengan Meira (Lala Karmela), mahasiswi Universitas Katolik Parahyangan. Setelah kenalan dan bertemu dengan ayah Meira yang sangar: bertato dan kumis melintang (diperankan Budi Dalton), Ernest pacaran. Lima tahun kemudian mereka menikah.
Mimpi Ernest untuk mengakhiri mata rantai China semakin dekat. Namun, masalah lain datang. Ernest takut punya anak. Takut anaknya kelak justru mirip dia, bukan mirip istrinya yang mojang Sunda itu. Akibat tekanan teman, istri, orangtua, dan mertua, akhirnya Ernest memberanikan diri mempunyai anak.
Menjelang masa-masa persalinan, Ernest kerap mimpi buruk. Penindasan yang dialaminya membuat Ernest takut menghadapi kemungkinan-kemungkinan pada masa depan. Bagaimana akhirnya? Apakah anak Ernest mirip dia atau mirip Meira?
Film ini seolah menagih utang peradaban bangsa yang mendeklarasikan diri sebagai Bhinneka Tunggal Ika, beragam tetapi tetap satu. Nyatanya, keragaman itu dijadikan peluang untuk menindas. Mayoritas menindas minoritas. Sisa-sisa watak itu tidak lantas hilang.
Banyak yang malah menghindari penggunaan kata ”China” karena menilai itu mengandung pelecehan dan penindasan. Bagi Ernest, justru sebaliknya. ”Sensitivitas bahwa rezim menyamarkan China menjadi Tionghoa itu bukan sesuatu yang esensial. Emang apa yang salah dengan kata ”China”. Kami mengajak memaknai kata sesuai konteksnya. Sensitivitas itu yang coba saya kikis lewat film ini,” kata Ernest.
Komedi hidup
Komedi-komedi yang muncul di film Ngenest bukan sekadar tempelan, tetapi menjadi bagian dari alur cerita yang memang jenaka. Pola pikir Ernest yang menolak menjadi China, kemudian ikut-ikut gaya anak pribumi yang sok lalim itu saja sudah jenaka. Termasuk juga sudut pandang pribumi terhadap China.
Simaklah dialog ayah Meira ketika pertama berjumpa Ernest.
”Kamu China, ya?”
”Papa!” protes Meira dan ibunya (Fitria Sechan).
”Siapa tahu dia orang Arab, tetapi berwajah oriental.”
Meskipun dalam beberapa adegan muncul juga lelucon-lelucon tempelan, seperti penjual siomay dan sopir angkutan kota yang melintas ketika Ernest berantem dengan pacarnya, hal itu efektif menambah kesegaran cerita.
Sepanjang film setidaknya tawa penonton pecah belasan kali sejak awal hingga akhir film. Ernest sengaja mengajak Satriaddin Maharinga Djongki alias Arie Kriting, juara tiga Stand Up Comedy Indonesia Kompas TV, menjadi comedy coach. Tugasnya, antara lain, menyulap adegan yang sebenarnya tidak lucu menjadi mengundang tawa. Dan, itu efektif.
Film ini menjadi bukti kecerdasan Ernest mengapitalisasi bakatnya sebagai komika, kemudian menggelar tur keliling stand up comedy, menulis tiga buku Ngenest: Ngetawai Hidup ala Ernest, lantas mengemasnya menjadi film.
Di atas semua itu, Ngenest mengajak kita melihat realitas kehidupan bersama sebagai orang Indonesia secara lebih bijak, dengan cara jenaka.
Ngenest: Kadang Hidup Perlu Ditertawakan
Produksi: Starvison
Produser: Chand Parwez Servia
Sutradara dan Penulis Skenario: Ernest Prakasa
Pemeran: Ernest Prakasa, Lala Karmela, Morgan Oey, Kevin Anggara, Brandon Salim, Ge Pamungkas, Fico Fachriza, Lolox Ahmad, Hengky Solaiman.
(Mohammad Hilmi Faiq)
Versi cetak artikel ini terbit di Harian Kompas edisi 3 Januari 2016, di halaman 26 dengan judul “Ernest Menertawakan Penindasan”