”Kenapa barang-barang belanjaan ’online’ selalu berdatangan saat suami pas sedang di rumah? Dia tidak berkomentar memang, hanya menatap penuh arti….”
Kalimat di atas dikutip dari lemparan celotehan Barokah Ruziati atau Uci (39) di media sosial Path. Curhatan ini langsung direspons teman-teman Uci dengan aneka komentar:
”I feel you”,
”Sama..!”
”Ternyata aku enggak sendiri”.
Semua komentar itu lebih kurang menandakan pengalaman serupa. Apakah Anda pernah merasakan hal serupa?
Celotehan Uci itu setidaknya menggambarkan fenomena masa kini yang kian mewabah di sebagian kelas konsumen Indonesia: berbelanja daring (online). Uci yang getol berbelanja daring itu merasa jengah sendiri dengan kerapnya frekuensi kedatangan jasa kurir mampir ke rumahnya mengantarkan barang belanjaan. Ia jengah jika suaminya, Eko (38), menyadari kegemarannya berbelanja daring.
”Kalau bosen ngetik-ngetik, larinya ke online shop deh, itu godaannya. Terus bisa lupa waktu, tinggal klak klik, padahal kadang enggak butuh juga barangnya. Ha-ha-ha,” ujar Uci, yang bekerja sebagai penerjemah lepas.
Bagi warga yang tinggal di wilayah Jakarta dan sekitarnya, berbelanja daring adalah juga solusi sekaligus eskapisme dari kemacetan jalanan yang tak berkesudahan.
Bagi Uci misalnya, sehari-hari ia merasakan nyamannya bekerja di rumahnya di kawasan Depok, Jawa Barat. Dia pun kini enggan keluar rumah dan menembus kemacetan hanya demi berbelanja. Apalagi, segala barang remeh-temeh bisa didapatnya di internet, entah itu melalui portal belanja daring ataupun di media sosial.
”Kalau belanja baju sungguhan ke mal aja, bisa lama milih barangnya. Kalau online, bisa enggak pakai mikir loh karena takut keabisan, langsung klik aja. Gawat deh, bisa bikin lebih konsumtif. Jadinya, hampir tiap minggu ada paket datang ke rumah, he-he-he…,” ujar Uci.
Bayangkan saja. Hanya dengan ponsel di tangan, kita bisa berbelanja apa pun. Entah sambil tiduran di kasur, di taksi atau mobil di sela-sela kemacetan. Terlihat sunyi, kalem, namun sebenarnya tengah heboh belanja…!
Cipluk Carlita (32) mulai mencicipi belanja daring ketika cuti melahirkan. Kesibukan mengurus bayi membuatnya tidak mungkin sering-sering keluar rumah, apalagi untuk belanja.
”Sampai sekarang kalau beli kebutuhan anak, mulai dari baju, kebutuhan sekolah, sampai mainan, carinya di toko online. Hemat waktu. Jadi akhir pekan benar-benar bisa dipakai untuk main sama anak. Enggak kepotong dengan acara belanja,” kata Cipluk.
Seperti juga Uci, ia mengaku aktivitasnya berbelanja ke mal menurun. Pergi ke mal bagi Uci saat ini hanya untuk makan-makan dan menonton bioskop.
Cipluk bahkan kerap membeli kosmetika lewat toko daring. Uci pun bercerita, adiknya bahkan kerap belanja kosmetika bekas di media sosial. Kosmetika mahal yang belum habis dipakai atau dipakai sekali-dua kali saja bisa ditemui, misalnya di Instagram dengan kata kunci yang dibumbui istilah preloved alias bekas.
Kebiasaan Cipluk berbelanja daring adalah di malam hari, setelah selesai menemani anaknya berangkat tidur. Nge-malonline-nya adalah dengan cara duduk santai di ruang keluarga, membuka komputer lipat atau ponsel pintar, dan terkadang sambil leyeh-leyeh menonton televisi. ”Sekarang sih lebih sering dengan smartphone,” kata Cipluk yang mulai berbelanja daring sejak tahun 2012.
Untuk mengontrol pengeluaran, Cipluk menghindari penggunaan kartu kredit. Ia biasa menggunakan kartu debit, transfer via ATM, atau transaksi dengan mobile banking.
Kelemahan Portal Lokal
Aurora Maris (46) adalah seorang pebelanja daring sejak sekitar enam tahun terakhir. Lola, panggilan akrabnya, hingga kini masih lebih menggemari berbelanja di portal belanja internasional seperti ebay.com ketimbang portal lokal. Berdasarkan pengalamannya, portal lokal masih menyimpan kelemahan yang esensial.
Kelemahan yang dicatat Lola misalnya, kinerja fitur pencari yang belum maksimal sehingga kerap menghasilkan rekomendasi yang tak relevan, sistem pembayaran yang masih manual seperti transfer bank, COD (cash on delivery), atau memasukkan nomor kartu kredit. Sebagai konsumen, Lola merasa jauh lebih efisien, nyaman, dan aman menggunakan sistem pembayaran dengan paypal. ”Portal lokal sistem pembayarannya enggak seringkas Ebay yang pakai paypal,” kata Lola.
Hal lain yang juga dibenci Lola dari pengalamannya di portal belanja lokal adalah terorcookies yang menguntitnya di layar laptop atau gawai hingga jauh hari setelah dia mencari suatu barang di fitur pencarian.
”Itu benar-benar mengganggu. Harusnya portal-portal itu mengembangkan sistem sebaik-baiknya untuk mengenali konsumennya, seperti Ebay, tanpa buang-buang biaya untukspamming semacam itu,” ujar Lola.
Sonya (40), pebelanja daring di Jakarta juga mencatat, Hari Belanja Online Nasional yang lalu tercederai dengan maraknya diskon palsu di sejumlah portal belanja lokal. ”Di zaman internet dan serba terbuka seperti sekarang kok masih menganggap konsumen itu bodoh. Jelas, kami bisa tahu itu semua diskon bodong. Itu praktik memalukan,” ujar Sonya.
Kegemaran orang saat ini berbelanja daring memang sampai menerbitkan hari ”perayaan” tersendiri, yakni Hari Belanja Online Nasional pada 11 dan 12 Desember yang lalu. Saat itu, komoditas batu akik masih paling dicari meskipun secara umum cenderung menurun. Batu akik menjadi kata kunci yang paling dicari netizen Indonesia sepanjang 2015, menyusul kemudian Go-Jek dan kue cubit.
Communication Head of Google Indonesia Putri Silalahi menjelaskan, orang biasanya tidak langsung membeli barang via portal atau situs belanja. Mereka lebih dulu mencari referensi, membandingkan harga, hingga mencermati kesaksian atau testimonial tentang barang tersebut. Dalam konteks ini, Google membantu karena lewat mesin pencari ini pengguna internet bisa dengan leluasa mencari referensi yang relevan.
”Google sudah menjadi teman bertanya. Makanya kami tidak lagi menyebutnya Mbah Google, tetapi Sob Google, kesannya lebih akrab,” kata Henky Prihatna, Country Industry Head Google Indonesia.
UKM berdaya
Fenomena belanja daring juga mendorong munculnya wirausaha-wirausaha baru, baik sebagai pedagang maupun sekaligus sebagai produsen, termasuk kelas usaha kecil menengah.
Salah satunya, Mayonette dengan produksi tas wanita dan pria. Bisnis ini dimulai tahun 2009 oleh pasangan suami istri Meike Natalia (29) dan Nicky Sugiarto (29). ”Sekarang kalau mau usaha, enggak perlu berpikir harus punya toko. Cukup jualan dari rumah lewat situs online,” kata Meike.
Jika dulu produksi tas dilakukan di Tiongkok, kini produksi 80 persen dikerjakan di dalam negeri. Awalnya, Meike memanfaatkan situs web dan media sosial seperti Facebook dan Instagram. Belakangan ia bergabung dengan sejumlah situs e-commerce, seperti Zalora, Lazada, Bukalapak, Blibli, Matahari Mall, Berrybenka, Elevenia, dan Tokopedia.
Meski tren usahanya semakin meningkat, Meike masih tetap berpikir belum perlu untuk punya toko fisik sendiri. Untuk mengakomodasi keinginan calon pembeli yang ingin melihat dan memegang tasnya secara fisik, mulai tahun ini ia menjual produknya lewat department store, seperti Matahari, Centro, dan Aeon.
Penggunaan rekening situs e-commerce sebagai tujuan transfer meningkatkan kepercayaan pembeli. Ini karena uang tidak langsung dikirimkan kepada penjual sehingga mengurangi risiko penipuan. Bagi pelaku usaha seperti Meike dan Nicky, kerja sama dengan situs e-commerce juga mendorong mereka bekerja lebih profesional.
”Kirim barang tidak boleh lebih dari dua hari. Kalau tidak, kena penalti, per item Rp 100.000,” kata Nicky.
(Sarie Febriane, Sri Rejeki, dan Mohammad Hilmi Faiq)
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 24 Desember 2015, di halaman 24 dengan judul “Belanja Heboh dalam Kesunyian”