Petang makin beringsut menuju malam di Lapangan Cendrawasih, Biak Numfor, Papua. Puluhan orang dengan kostum khas: rok rumbai dari rajutan daun sagu dan ikat kepala beraksesori bulu hewan, menari sambil menabuh tifa. Mereka berkumpul untuk hajatan ”Pagelaran Wor dan Munara Kafkofer Afer, Seni Tradisi dan Upacara Adat Suku Byak”.
Warga Biak dengan usia belasan hingga puluhan tahun bergerak bersama. Kaki mereka lincah bergerak. Koreografi tarinya sederhana, tidak rumit, tetapi terlihat menguras tenaga. Tubuh tidak sekadar bergerak ke segala arah, tetapi juga meloncat-loncat. Inilah yang membuat tarian mereka tidak mudah ditirukan. ”Suworo mindima mukesepen boi… (Mereka akan menyanyikan wor untukmu…)”. Mereka terus menari dan menabuh. Keringat memandikan tubuh para pria yang bertelanjang dada.
Beruntung bisa menyaksikan pertunjukan yang digelar Dinas Pariwisata Kabupaten Biak Numfor yang waktunya bersamaan dengan hajatan Festival Film Etnik Nusantara 2015, yang juga diinisiasi Pemerintah Kabupaten Biak Numfor.
Semua kecamatan mengirimkan tim, menyuguhkan wor untuk teman-teman mereka sendiri, karena hanya sedikit wisatawan yang mampir. Kata Bupati Biak Numfor Thomas Alfa Edison Ondy, acara ini memang lokalan saja. Yang penting, tradisi tetap didengungkan terus-menerus.
Karel Workrar, pelatih kelompok tari Koirosa Risa Biak Utara, mulai menyiapkan para penarinya. Biak Utara mempersembahkan wor mengenai ajakan perdamaian antarsuku. Peperangan antarsuku harus diakhiri, begitu inti ceritanya. ”Ada 18 jenis wor di Biak. Nyanyiannya tidak mengenal notasi sol dan si, jadi do-re-mi-fa-la. Irama nyanyiannya melompat-lompat,” tutur Karel.
Dede Muswonar, seniman Biak, menerangkan tentang wor atau tarian dan nyanyian dari suku Biak. Wor pada masa lampau menjadi bagian dari kehidupan orang Biak. Sambil berkebun, melaut, hingga bercengkerama dengan tetangga, orang Biak menarikan wor. Para pelaut dan nelayan yang gagah dan tangguh menyanyikan wor di tengah laut untuk menjaga laut tetap tenang atau agar mendapat tangkapan ikan sesuai dengan harapan.
”Kafkofer afer”
Sesungguhnya wor sudah jarang dilakukan, kecuali dalam bentuk seni pertunjukan seperti digelar di lapangan Cendrawasih ini. Para pelakunya adalah sanggar tari-sanggar tari. Begitu pula dengan munara (upacara adat) kafkofer afer, sebuah upacara perdamaian dengan cara meniup kapur yang dilakukan dua pihak yang bersengketa.
Dua pihak yang dimaksud adalah keluarga dari pelaku dan korban yang pada masa lalu berperang hingga terjadi pertumpahan darah. Yang berhasil membunuh disebut pelaku dan yang dibunuh disebut korban. Dalam kafkofer afer, pihak pelaku dan korban diwakili empat orang yang berhadap-hadapan. Seorang tetua mendatangi mereka sambil membawa sepiring bubuk kapur. Satu per satu keluarga pelaku mendekati keluarga korban, kemudian mereka meniup
kapur yang dibawa tetua atau tokoh adat.
Seru sekali. Setelah rupa-rupa wor, lalu munara kafkofer afer, masih ada lagi pertunjukan menarik, yakni kinsasor, yang disuguhkan grup Iryama dari Biak Barat. Kinsasor adalah upacara persembahan kepada ibu hamil. Selain untuk menebak jenis kelamin bayi dalam kandungan, kinsasor
juga merupakan sebuah doa untuk kesehatan dan keselamatan ibu beserta calon bayinya.
Ibu yang sedang mengandung
berjalan perlahan menuju tengah
lapangan, lalu duduk di kursi. Di dekat kakinya diletakkan baskom berisi
air dan dedaunan. Sejumlah kerabat menari sambil menyanyi di belakang ibu. Seorang dukun merapal beragam mantra dan menyerukan doa.
Dengan melihat pergerakan daun di dalam baskom, dukun bisa mengerti jenis kelamin bayi di dalam kandungan.
Tradisi suku Biak kini menjadi semacam santapan yang disajikan kepada wisatawan yang melancong ke Biak. Melalui aneka tradisi itu, masyarakat Biak ingin mengabarkan pesan para leluhur di Biak: nggo wor ba ido, nari nggo mar. Tanpa upacara adat, kami akan mati.
(SUSI IVVATY)
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 20 Desember 2015, di halaman 32 dengan judul “Tari Tradisi – Wor, Munara, dan Laut Biak”
Comments are closed.