Tara Mata dan Senyum Itu…

0
2543

Film mengubah Tara Basro dari seorang remaja menjadi perempuan dewasa. Pahit getir dikhianati kala terjun ke dunia yang terkesan glamor ini membuatnya belajar bahwa tidak ada orang lain yang bisa menjaga dirinya kecuali dia sendiri.

Lirikan mata dan senyum Tara Basro (25) bisa bermakna beda bagi orang yang memandangnya: menantang, sombong atau jutek. Tara menyadari itu. Sikapnya yang cenderung protektif terhadap diri sendiri adalah perpaduan antara pemalu, canggung, tetapi juga tegar, mandiri. Semua hasil bentukan pengalamannya selama berada di jagat perfilman.

”Banyak orang yang belum kenal mengira aku galak. Padahal, enggak, cuma gara-gara mataku. Aku yang sebenarnya tuh manis,” katanya dengan nada manja.

Pada dasarnya ia hanya berusaha menjaga diri sendiri setelah semua pengalaman yang dia lewati. Sekarang Tara mengaku merasa lebih nyaman. Ia lebih pandai memilah-milah pekerjaan termasuk memilih orang yang akan bekerja sama dengannya.

”Aku dulu orangnya naif, gampang percaya ke orang. Sekarang sudah lebih bisa memilah-milah dan nyaman seperti ini. Enggak ada lagi perasaan mengasihani diri sendiri atau merasa dikhianati,” kata Tara yang memilih tidak didampingi manajer atau asisten pribadi.

Memulai karier di dunia hiburan sejak terpilih sebagai finalis Gadis Sampul 2005, kecantikan Tara adalah perpaduan yang menitis dari nenek moyangnya, orang Bugis dan Lampung. Kulitnya yang sawo matang, disebutnya, menurun dari jalur ibunya yang orang Bugis. Sementara matanya yang menyipit, tetapi memiliki kelopak, diperoleh dari garis ayah yang berasal dari Lampung.

Jangan salah, si cantik ini mengaku kikuk saat dipuji. Hanya ucapan terima kasih yang diakhiri tundukan kepala atau malah membuang muka sambil tersipu malu. ”I am not good with compliment. Waktu orang-orang memuji saat aku dapat Citra, aku bingung menanggapinya, malu dan takut. Paling cuma bilang makasih,” kata anak kedua dari tiga bersaudara ini.

Langkahnya di dunia film bisa jadi akan lebih mudah setelah mendapat Piala Citra sebagai Pemeran Utama Wanita Terbaik di Festival Film Indonesia 2015. Ada sedikit beban, tetapi lebih banyak gairah yang menggebu-gebu pada dirinya menyambut tantangan yang lebih besar.

Hampir menyerah

Tara kemudian mengenang pengalamannya ketika pertama kali terjun ke dunia hiburan. Kalau sekarang kulit sawo matangnya disebut eksotis, tidak begitu lima tahun yang lalu. Puluhan audisi iklan menolaknya karena warna kulitnya yang hitam dan rambutnya yang tidak panjang.

”Pernah seorang stylist sampai bilang begini ke aku, ’Tara, besok lagi jangan lupa luluran dulu’. Terus aku bilang, ’eh, bukan berarti, ya, kulit gue enggak putih, gue enggak pernah merawat diri’,” kata Tara.

Penolakan demi penolakan membuatnya hampir putus asa hingga kemudian ia mengadu peruntungan dengan mengikuti audisi Onrop! Musikal garapan sutradara Joko Anwar. Lagi-lagi Tara ditolak. Belakangan, Tara mendapat peran dalam film garapan Joko Anwar lainnya, A Copy of My Mind, yang justru memberinya Piala Citra.

Tara sudah hampir menyerah ketika tiba-tiba pimpinan audisi musikal Onrop!, Arwin Pradhana, menghubungi. Tara ditawari ikut audisi film Catatan Harian Si Boy.

”Akhirnya saya diterima karena ternyata peran saya jadi adiknya Aryo Bayu yang kulitnya geseng, he-he…,” kata Tara.

Kemunculannya di film ini kemudian diikuti film-film selanjutnya. Akting Tara mulai diperhatikan hingga berhasil terlibat dalam sejumlah film yang menarik perhatian penonton. Namun, ia menolak jika disebut kariernya melesat. ”Langkah-langkah aku tuh baby steps. Ada masa-masa aku hanya di rumah, makan tidur, makan tidur sampai ditanyain orangtua,” kenang Tara.

”Kadang-kadang suka berpikir, aku kok masih di sini-sini saja, sementara orang lain sudah ke mana-mana, mengerjakan macam-macam. Tapi, belakangan aku bersyukur, aku melewati proses dari nol yang aku nikmati,” kata Tara yang tidak punya latar belakang pendidikan formal dalam berakting.

Bank emosi

Tara banyak menonton film untuk menambah referensi cara berakting. Ia juga belajar dari setiap produksi film yang melibatkannya. Kiatnya yang lain adalah rajin mendengarkan orang bercerita. ”Aku senang mendengarkan orang curhat. Setiap orang punya cerita berbeda-beda. Bagaimana cara pandang dan reaksinya juga beda-beda. Itu menambah bank emosi aku. Misalnya, kenapa sih seseorang bisa begitu sangat sedih,” kata perempuan bernama lengkap Andi Mutiara Pertiwi Basro ini.

Untuk menghayati perannya sebagai Sari dalam film A Copy of My Mind, Tara rela duduk di sebuah sudut salon. Selama seminggu ia melakukan observasi tentang dunia pekerja salon. Ia memperhatikan bagaimana cara kerja mereka dan apa saja yang mereka perbincangkan.

Dalam film, dikisahkan Sari adalah pekerja salon yang bertugas melakukan perawatan wajah, tetapi punya hobi menonton film. Mimpinya adalah memiliki perangkat home theater. Dari hobi ini, ia bertemu Alek (Chicco Jerikho), pembuat terjemahan DVD bajakan yang bekerja serampangan. Hingga suatu saat, kedua manusia yang kemudian terlibat asmara ini menemukan kepingan film berisi rekaman transaksi korupsi.

Dari sini, Tara bisa tahu kehidupan yang belum pernah dilihat sebelumnya. Kompleks kos-kosan, misalnya, yang terdiri atas 100 kamar, tetapi hanya punya tiga kamar mandi. ”Enggak kebayang tinggal di situ. Mau bikin mi saja harus antre,” kata Tara.

Film bagi Tara menjadi sekolah kehidupan sesungguhnya. Lewat film, ia belajar memahami dunia dan mengenal diri sendiri. ”Setelah di dunia film, aku belajar lebih banyak tentang negaraku sendiri, lebih sensitif soal interaksi manusia dan segala sesuatu di sekitarku. Aku juga belajar mengapresiasi diri sendiri karena bekerja di dunia ini tuh enggak gampang,” kata Tara yang pernah kuliah di bidang desain mode.

Tara menikmati waktu-waktunya ketika berakting. Hasratnya adalah melakonkan peran yang mampu membekas di hati penonton atau menggerakkan emosi mereka. Di mata Tara, film juga punya peran strategis di tengah masyarakat, yakni sebagai sarana edukasi. Apa yang baik atau tidak baik di masyarakat, menurut Tara, merupakan cerminan dari apa yang mereka tonton.

”Aku pengen penonton filmku tidak hanya terhibur, tetapi juga pulang membawa sesuatu,” kata Tara.

(Sri Rejeki)


Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 06 Desember 2015, di halaman 17 dengan judul “Tara Mata dan Senyum Itu…”