Ruang bekerja sama atau ”coworking space” lahir hampir bersamaan dengan maraknya bisnis rintisan alias ”start up” di Indonesia. Perlahan namun pasti, bisnis-bisnis rintisan ini meraih sukses di pasar komersial dengan ”coworking space” sebagai salah satu penopangnya.
Marshall Utoyo (25), chief design officer sekaligus pendiri Fabelio alias Furnitur Beli Online, mengawali sukses dengan pijakan coworking space di Conclave, Jakarta Selatan. Marshall mulai berkantor di Conclave sejak tiga bulan Conclave berdiri. Ia salah satu pendiri Conclave.
”Di sini hampir setiap hari ketemu orang baru, masing-masing punya cerita dan proyek. Bisa kolaborasi. Sudah banyak kejadian sukses. Conclave belum setahun, banyak proyek yang muncul karena bekerja di sini,” kata pendiri Conclave lainnya, Aditya Hadiputra (25).
Berawal dari ngobrol dengan sesama pengguna coworking space, tim inti Fabelio kemudian terbentuk pada bulan Maret dan mulai bekerja bulan April. Desain interior Conclave yang dikerjakan oleh Marshall memberi nilai tambah promosi Fabelio. ”Ketemu co-founder Fabelio yang lain di Conclave. Kita ngobrol-ngobrol lalu bikin Fabelio, furniture e-commerce. Akhirnya saling melengkapi untuk memperbaiki sesuatu atau bikin yang baru,” kata Marshall.
Marshall antara lain bertemu dengan Wendy Pratama yang mendirikan Lingkaran.co. Hingga kini, Lingkaran.co aktif membuat lokakarya dan kursus kreatif yang penyelenggaraannya dilakukan rutin sebulan sekali di Conclave.
Berkantor di gedung dengan desain cakep membuat banyak orang tertarik menjadi karyawan Fabelio. Seiring waktu, Fabelio pun membesar dari tiga pegawai menjadi 60 karyawan tahun ini dan tahun depan mencapai 90 orang. Ruang kantor di Conclave pun akhirnya tak lagi sanggup menampung Fabelio. Tahun depan, Fabelio akan pindah ke kantor baru di Kuningan.
”Meja Makan”
Kushandari Arfanidewi (28), Ruth Marbun (30), dan Eugenio Hendro (33) tidak saling kenal bahkan belum pernah bertemu sebelumnya. ”Perjodohan” mereka terjadi di Coworkinc, coworking space yang berlokasi di Kemang, Jakarta Selatan. Suasana Coworkinc yang cair memungkinkan para pengguna tidak sungkan untuk saling sapa. Pendiri Coworkinc, Dian dan Cynthia Hasan, juga rajin menyapa dan mengajak ngobrol, terutama terhadap wajah-wajah baru yang muncul.
Begitu pula para staf Coworkinc yang disebut collaborative facilitator akan menjadi semacam jembatan atau sumber informasi bagi para tamu. Coworkinc juga rajin menggelar bincang-bincang tentang berbagai hal untuk membantu para pebisnis mula atau pekerja lepas. Lewat acara semacam ini, biasanya interaksi akan terjalin yang tidak jarang berujung pada kolaborasi.
Dari hasil ngobrol ngalor-ngidul ketiganya, tercetuslah ”Meja Makan”, proyek pop-up dinner yang mengelaborasi keahlian masing-masing. Kushandari dengan bisnis katering sehatnya, Ruth alias Utay-pekerja seni yang dikenal dengan karya cat airnya, serta Eugenio-desainer produk dan interior. Proyek kolaborasi pertama mereka diberi judul Meja Makan 01: Saidjah & Adinda yang terinspirasi dari buku karya Multatuli atau Max Havelaar itu. Acaranya digelar di Coworkinc.
”Saya masak menu sehat dari Jawa Barat sampai Lampung, mengikuti perjalanan Saidjah untuk bertemu Adinda, seperti peucak betawi, rujak pengantin, dan es serbat kweni. Table setting-nya digarap Eugene dan sekeliling ruangan dihiasi art work kreasi Utay,” jelas Kushandari yang lebih dikenal sebagai Ayi Kelinci Tertidur.
Acara yang digelar Agustus lalu ini diikuti 20-30 peserta yang rela membayar Rp 275.000 per orang untuk merasakan pengalaman makan yang dikreasikan ala ketiganya. Ayi sebelumnya adalah pekerja kantoran. Ia kemudian memutuskan berhenti bekerja untuk mengurusi bisnis katering makanan sehatnya yang dimulai dari iseng-iseng mengunggah foto masakannya di media sosial.
”Awalnya saya manfaatkan kafe untuk kerja atau ketemu orang pada masa transisi dari pekerja kantoran ke start up. Kenal Coworkinc karena diajak teman, ternyata cocok. Kerja lebih konsen dan bisa ketemu banyak orang kreatif,” kata Ayi.
Ia juga sering mengikuti kegiatan yang digelar Coworkinc, seperti bincang-bincang tentang manajemen keuangan atau membina jaringan. Ayi biasanya mengambil paket dua jam untuk bekerja di Coworkinc. ”Materi-materinya lumayan membuka mata untuk pebisnis mula seperti saya,” kata Ayi.
Akselerasi bisnis rintisan
PT Telekomunikasi Indonesia Tbk juga berhasil memunculkan banyak bisnis rintisan baru melalui program binaan. Di Jakarta Digital Valley, salah satu bisnis rintisan binaan Telkom adalah Cubeacon yang membuat kubus pemancar bluetooth mengikuti standar iBeacon buatan Apple. Dengan kubus Cubeacon, informasi bisa diteruskan lewat Bluetooth Low-Energy ke perangkat bergerak yang berada pada radius 100 meter. Cubeacon membuat hardware Cubeacon Box untuk beragam kegunaan. Misalnya, identifikasi jemaah haji.
”Kami sedang percepatan pasar, transfer pengetahuan dan teknologi,” kata CEO Cubeacon Tiyo Avianto.
Tiyo lalu mendemonstrasikan penggunaan kubus pemancar bluetooth tersebut. Kubus-kubus itu tinggal ditanam di beberapa lokasi untuk beragam penggunaan. Bagi jemaah haji, kubus disimpan di dalam alat serupa jam sehingga bisa mendeteksi dan mengidentifikasi lokasi jemaah haji ketika di Mekkah.
Jika kubus ditanam di supermarket, pengunjung bisa memperoleh informasi promosi lewat ponsel pintar ketika berada di seputaran lokasi. Cubeacon juga mempercepat proses absensi karena nama karyawan segera terdeteksi begitu masuk areal perkantoran. Konsumen hanya perlu mengaktifkan bluetooth di telepon seluler dan mengunduh aplikasi dengan integrasi Cubeacon.
Saat ini, Cubeacon sudah diproduksi massal dan dipasarkan lewat Lazada, Alibaba, hingga Amazon Jepang. Lebih dari separuh klien Cubeacon berasal dari Jepang, selain dari Indonesia, Amerika Serikat, dan Brasil.
Godaan kasur
Tak hanya perusahaan rintisan yang memilih coworking space. Orang yang bekerja sebagai freelancer atau pekerja lepas menganggap coworking space nyaman dan efektif untuk kerja produktif. Salah satunya adalah Astrid Damayanti (24), seorang ilustrator lepas. Setiap hari, Senin-Jumat, Astrid menempuh perjalanan 1,5 jam dari rumahnya di kawasan Halim Perdanakusuma ke Comma di Jalan Wolter Monginsidi. Astrid menertibkan diri untuk tiba di Comma pukul 09.00 dan pulang pukul 17.00 seperti halnya pekerja kantoran.
”Kalau di rumah terdistraksi terus. Lihat kasur pasti bawaannya ngantuk. Kerja jadi enggak produktif. Di sini biar jauh dari rumah, saya bisa lebih produktif,” kata Astrid.
Pengamat dunia digital, Abang Edwin SA, menuturkan, kemunculan coworking space menjawab kebutuhan semakin banyaknya pekerja lepas dan munculnya perusahaan rintisan. Kedua kelompok ini membutuhkan tempat kerja yang kondusif, nyaman untuk bekerja, terletak di pusat kota, dan representatif untuk kebutuhan rapat atau bertemu mitra usaha.
”Zaman dulu ada warnet yang biasa digunakan pekerja lepas, tetapi sayang keburu pada mati. Bekerja di rumah kendalanya jauh dari pusat bisnis. Kalau bekerja di kafe, ada beberapa hal yang kurang pas karena memang tidak didesain untuk bekerja. Lantas muncullah coworking space,” kata Edwin.
Coworking space lebih dulu berkembang di Amerika Serikat sejak tahun 2005. Edwin yang pernah tinggal di New York tahun 2003-2005 mengingat, berdasarkan pengalamannya saat itu, coworking space di sana tidak jauh beda dengan warung internet (warnet) di sini yang menyediakan kubikel dan internet.
”Coworking di sini malah lebih enak suasananya. Tetapi, yang paling penting bagaimana coworking space yang mulai tumbuh ini dimanfaatkan untuk mendorong berkembangnya start up-start up yang bisa ikut menggerakkan ekonomi masyarakat,” kata Edwin.
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 06 Desember 2015, di halaman 29 dengan judul “Bisnis Rintisan – Berangkat dari Kenihilan”