Setiap agama mengajarkan ritual bersyukur kepada Tuhan yang mereka sembah. Begitu juga dengan penghayat ajaran Sunda Wiwitan atau penganut Adat Karuhun Urang (Akur) di Cigugur, Kuningan, yang menggelar upacara Seren Taun sebagai ekspresi syukur kepada Tuhan atas segala berkah dan kecukupan pangan selama ini.
Seren Taun digelar selama sepekan dan berpuncak pada tanggal 22 Bulan Rayagung tahun 1948 Saka, bertepatan dengan Selasa (6/10) 2015 Masehi. Ritual dimulai dengan menyalakan sewu damar atau seribu pelita untuk menebar harapan. Kemudian, dilanjutkan dengan pembuangan hama dengan cara mengembalikan hama ke habitatnya di Situ Hyang. Ini mengajarkan bahwa makhluk hidup tidak mempunyai otoritas untuk membunuh makhluk lain meski makhluk itu mengganggu.
Acara tersebut disusul dengan menabuh seribu kentungan sebagai simbol bahwa manusia harus selalu waspada dalam menjalani hidup. Para penghayat Sunda Wiwitan kemudian mengajak para kaum muda untuk ikut ruwatan pada malam harinya, yakni mengingat kembali jasa-jasa orangtua, terutama ibu.
Seren Taun diisi juga dengan ritual tari Pwah Aci untuk mengingat Dewi Pwah Aci Sahyang Asri yang berjasa memberikan kesuburan bagi lahan pertanian. Tari ini dilatari oleh tumpukan hasil bumi di ruang Paseban Tri Panca Tunggal, pusat aktivitas penghayat Sunda Wiwitan.
Puncak rasa syukur itu diekspresikan warga dengan pesta beragam tari, seperti tari Kaulinan Barudak Lembur yang melibatkan para bocah dan tari buyung. Setelah itu, mereka bersama-sama menumbuk sebagian padi, sementara sebagian lainnya disimpan untuk bibit, menjaga kesejahteraan. Itu makanya tema Seren Taun kali ini adalah ”Pakena Gawe Rahayu Pakeun Ngertakeun Bumi Lamba”, yang kira-kira bermakna ’mengerjakan kebaikan demi kesejahteraan dunia’.
Tari Buyung. Kompas/Arbain Rambey
Seren Taun sejatinya juga bermakna peneguhan identitas diri. Penghayat Sunda Wiwitan puluhan tahun mengalami alienasi dan diskriminasi. Seren Taun sempat dilarang sebelum akhirnya diizinkan dilakukan secara terbuka setelah masa reformasi. Namun, diskriminasi tersebut belum sepenuhnya hilang. Banyak di antara mereka yang belum memperoleh pengakuan sebagai warga negara sehingga kolom ”agama” dalam kartu tanda penduduk (KTP)-nya hanya diisi tanda hubung atau kosong.
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 15 November 2015, di halaman 31 dengan judul “Ekspresi Syukur Sunda Wiwitan”
Comments are closed.