Biennale Jogja: Berinteraksi dengan Pusaran Konflik

0
1989

Biennale Jogja XIII menegaskan karakter seni rupa kontemporer yang kian lintas disiplin dan tergila-gila pada interaksi. Mempertemukan seniman Indonesia dan Nigeria, perhelatan ini menampilkan seabrek proyek seni yang mengajak warga menjelajahi aneka ragam konflik.

Belasan perempuan berkumpul di salah satu ruangan Jogja National Museum, Yogyakarta, awal November 2015. Kebanyakan dari mereka memakai kaus, celana pendek, dan sandal
jepit. Sore itu, mereka tak datang untuk menonton acara seni, tetapi menunggu pembagian beras oleh lembaga bernama Hunger Inc.

”Tolong ibu-ibu antre dengan tertib, ya. Pembagian beras dimulai 15 menit lagi,” kata seorang panitia. Setelah pengumuman itu, sontak terdengar teriakan ”Huuuuuu…” dari para ibu yang capek menunggu. Sebagian warga bahkan akhirnya nekat menerobos antrean.

Kehadiran seorang tentara di tempat itu tak mereka hiraukan. Saat keluh kesah kian kencang terdengar, panitia akhirnya mulai membagikan beras. Namun, tak berselang lama, suara gaduh kembali terdengar. ”Kenapa kami ndak dapat beras?” kata sejumlah perempuan sambil membanting kantong plastik berisi beras. Butir-butir beras berkualitas rendah itu pun bertebaran.

Pembagian beras sore itu, bersama kegaduhan yang diciptakannya, merupakan bagian dari proyek seni bertajuk ”Hunger, Inc” hasil kreasi Elia Nurvista dan Fajar Riyanto yang ”dipamerkan” dalam pameran utama Biennale Jogja XIII. Momen pembagian beras dilakukan bersamaan dengan pembukaan Biennale Jogja di Jogja National Museum sehingga banyak pengunjung pameran kaget dengan keributan itu.

Biennale Jogja merupakan pameran seni rupa dua tahunan yang digelar sejak 1988. Tahun ini, perhelatan itu mengambil tema ”Hacking Conflict” dengan peserta 23 seniman Indonesia serta 11 seniman Nigeria. Biennale Jogja tahun ini, yang berlangsung 1 November-10 Desember 2015, juga merupakan perhelatan ke-3 yang mengeksplorasi seni rupa di kawasan khatulistiwa atau ekuator.

Sejak 2011, Yayasan Biennale Yogyakarta, lembaga penyelenggara perhelatan itu, memperkenalkan Biennale Jogja seri Equator yang merupakan rangkaian pameran hingga 2022. Sejak itu, Biennale Jogja selalu mengundang seniman dari negara lain di kawasan khatulistiwa.

Pada 2011, Yayasan Biennale Yogyakarta mengundang seniman India, lalu 2013 giliran seniman dari lima negara kawasan Arab, yakni Arab Saudi, Mesir, Oman, Uni Emirat Arab, dan Yaman, yang diundang. Tahun ini, pilihan jatuh pada Nigeria sebagai representasi dari kawasan Afrika. Nigeria dipilih karena perkembangan seni rupa di negara itu cukup pesat, juga karena negara itu memiliki hubungan diplomatik dengan Indonesia dan bahkan merupakan pusat diplomasi Indonesia di Afrika Barat.

”Kami memilih negara yang memiliki hubungan diplomasi dengan Indonesia karena kami melihat Biennale Jogja bisa menjadi strategi kebudayaan bagi pemerintah, tidak hanya ajang pertemuan para seniman,” tutur Direktur Biennale Jogja XIII Alia Swastika.

Intervensi

Kurator Biennale Jogja XIII, Wok The Rock, menuturkan, tema ”Hacking Conflict” atau meretas konflik berawal dari permasalahan aktual yang sama-sama dihadapi Nigeria dan Indonesia, yakni praktik berdemokrasi yang diwarnai konflik, perbedaan, dan ketidakteraturan. ”Indonesia dan Nigeria itu lepas dari rezim militer pada tahun yang sama, yakni 1998. Jadi, demokrasi itu sesuatu yang relatif baru bagi kedua negara sehingga kerap muncul gesekan-gesekan,” ujarnya.

Wok menambahkan, pameran utama Biennale Jogja dirancang menghasilkan karya kolaboratif yang lintas disiplin serta bisa memancing interaksi dengan pengunjung. Karya-karya itu juga tampaknya diharapkan bisa menumbuhkan kesadaran tentang konflik yang diangkat. ”Pameran ini nantinya diharapkan mampu menciptakan ruang-ruang yang mengintervensi publik secara artistik untuk berpartisipasi aktif sehingga membentuk opini-opini publik,” ujarnya.

Keinginan untuk memancing interaksi itulah yang memunculkan karya semacam ”Hunger, Inc”, juga proyek ”Taman Tiban” karya kelompok ketjilbergerak. ”Taman Tiban” tidak hanya mengajak pengunjung menikmati taman yang sudah jadi, tetapi juga ikut membangun taman untuk menyiasati keterbatasan ruang publik di Yogyakarta.

Sementara itu, dalam ”Voice Of Equator”, Anggun Priambodo meletakkan karya videonya di dalam rumah pohon setinggi 5 meter. Untuk menonton video berisi rekaman kehidupan di kota Lagos, Nigeria, yang dikompilasi dengan suasana Jakarta dan Yogyakarta itu, kita harus memanjat tangga kayu. Anggun sengaja ”menyusahkan” pengunjung untuk menularkan kesulitan yang ia alami saat merekam suasana Lagos karena masyarakat di sana tidak nyaman dengan kehadiran kamera.

”Masyarakat di Nigeria sangat waswas dengan kamera. Orang yang membawa kamera dianggap ingin memata-matai,” kata Anggun yang melakukan residensi di Lagos selama beberapa minggu.

Seniman Nigeria, Olanrewaju Tejuoso, membangun museum berisi sampah dan barang bekas di bangunan tak terpakai di daerah Bintaran, Yogyakarta. Dalam proyek ”Black Market Museum” itu, Olanrewaju berkolaborasi dengan sejumlah pihak untuk menyulap sampah plastik, pakaian bekas, dan puntung rokok menjadi instalasi yang menggugah kesadaran tentang sampah.

Sementara itu, pasangan Irwan Ahmett-Tita Salina berkolaborasi dengan Yudi Ahmad Tajudin menggelar proyek ”Restitution of 1755: Hacking Giyanti” di bekas situs berlangsungnya Perjanjian Giyanti di Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah. Melalui proyek yang melibatkan serangkaian diskusi tentang persoalan keistimewaan Yogyakarta, Irwan dan rekan-rekannya ingin mempertanyakan dasar legitimasi yang selama ratusan tahun dipakai Keraton Yogyakarta untuk beragam keperluan.

Secara umum, sejumlah proyek seni dalam Biennale Jogja XIII memang menghasilkan interaksi yang menarik. Namun, apakah proyek-proyek itu mampu membangun kesadaran warga, itu soal lain. Apalagi, dalam seni rupa kontemporer, pilihan melakukan interaksi kadang tak hanya muncul dari keinginan melakukan advokasi atau menumbuhkan kesadaran, tetapi juga demi ”keindahan” karya itu sendiri.

Itulah kenapa, jangan-jangan kesadaran pengunjung Biennale Jogja XIII lebih gampang terusik dengan ”karya sederhana” Anti Tank yang berisi poster dan dokumentasi protes warga Yogyakarta terkait sejumlah isu daripada karya yang rumit tapi menghasilkan interaksi yang artifisial.

(Haris Firdaus)


Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 15 November 2015, di halaman 26 dengan judul “Biennale Jogja: Berinteraksi dengan Pusaran Konflik”