Peringatan Hari Sumpah Pemuda Ke-87 tahun ini kembali mengingatkan kita tentang seberapa besar rasa cinta kita kepada Tanah Air Indonesia. Melihat yang dilakukan kaum muda era kini, bisa dikata, mereka mau lebih mengenal Tanah Air-nya. Ada yang memilih cara menjelajahi alamnya atau mencoba mencari tahu lebih banyak kebudayaannya. Seperti pepatah, tak kenal maka tak sayang, begitu juga mereka. Dengan kenal budaya, muncul rasa sayang kepada bangsanya.
Perkembangan mode pun tak lepas dari kebudayaan sebuah negara. Perancang busana muda memperlihatkan rasa cinta kepada Tanah Air dengan menggali lebih banyak kain warisan Nusantara (wasantara). Hasil pengenalan dan perenungan terhadap kebudayaan lokal di Kalimantan, Bali, dan Nusa Tenggara Timur melahirkan karya apik yang mereka sajikan di Jakarta Fashion Week 2016 di Senayan City. Lima alumnus sekolah mode Esmod Jakarta pada 24 Oktober lalu menampilkan busana yang terinspirasi dari budaya suku Baduy di Banten, tenun ikat Bali, dan tato yang biasa dimiliki warga suku Dayak di Kalimantan.
Adalah Savlavin ”Arduous” Savira Lavinia, alumnus Fashion Design and Creation 2013 Esmod Jakarta yang mengangkat patern tato suku Dayak ke atas pentas peragaan busana. Cewek juara kompetisi di Indonesia Fashion Week 2014 itu menggunakan satin silk, kulit, dan sulaman (embroidery) yang membuat karyanya tampak mewah dan elegan. Siti Mahmudah, alumnus tahun 2014, menyuguhkan busana yang menunjukkan sisi kewanitaan pemakainya dari kain ikat Bali.
Tenun Flores
Pada 27 Oktober, 10 mahasiswi Jurusan Fashion Design and Fashion Management of Binus Northumbria School of Design memamerkan karya bertajuk ”Past Modern, Voyage to Flores”. Busana perempuan dan lelaki itu lahir dari inspirasi yang mahasiswa peroleh saat berkunjung ke Flores dan Pulau Sumba, Nusa Tenggara Timur. Warna-warni khas Flores dan Sumba yang ngejreng atau serba warna natural, krem, coklat, dan abu-abu tampak jelas pada busana karya Selena Fitriani dan Nadya Amanda. Bahkan dua mahasiswi Binus Northumbria School of Design asal London, Kate Skelton dan Hollie Newton, yangkesengsem kepada kain wasantara asal wilayah timur Indonesia itu menciptakan busana lelaki yang simpel tetapi menawan. Apabila Nadya terinspirasi tebing di bukit di Flores sehingga membuat busana unik dengan rimpel yang sulit pembuatannya, Kate menggambar aneka motif dari tenun Flores yang ia padukan dengan denim untuk membuat baju dan celana pria. Sementara Hollie merasakan ada koneksi kuat dengan tenun ikat Flores yang dibuat secara tradisional. Dari ikatan itu, ia kemudian membuat baju etnik yang apik.
(Soelastri Soekirno)
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 30 Oktober 2015, di halaman 36