Mulai seratus tahun yang lalu, Basoeki Abdullah masih saja merayu. Dengan ketampanannya, dengan aura dan tingkahnya yang flamboyan, dan tentu saja dengan karya-karyanya. ”Rayuan maut” itu dimampatkan dalam pameran Rayuan 100 Tahun Basoeki Abdullah.
Begitu mautnya ”rayuan” seorang Basoeki Abdullah, hingga kurator Mikke Susanto kelabakan meringkas ”rayuan” sang maestro lukisan potret itu dalam pameran yang dikurasinya. ”Tidak ada tempat yang cukup bagi imajinasi besar bagi seorang Basoeki Abdullah. Demikian pula ruang pameran ini. Pasti kurang, dan pasti kurang,” tutur Mikke dalam pembukaan pameran Rayuan 100 Tahun Basoeki Abdullah, Senin (21/9).
Biarpun mengaku kelabakan, Mikke dan Bambang Asrini W yang bersama-sama menjadi kurator pameran itu cukup piawai membangun tujuh ”jalan potong” untuk memahami Basoeki Abdullah. Tujuh ”subtema” pameran yang mengurai sekaligus membangun benang merah di antara ribuan lukisan karyanya.
Salah satu ”jalan potong” terbaiknya adalah ”subtema” bertajuk ”Basoeki Abdullah dan Tiga Negara di Asia Tenggara”. ”Subtema” itu tak hanya menghadirkan bagaimana Basoeki menjadi pelukis kesayangan orang besar semacam Raja Thailand Bhumibol Adulyadej, pasangan diktator Filipina Ferdinand dan Imelda Marcos, atau Sultan Brunei Hassanal Bolkiah, tetapi juga menghadirkan dengan jelas berbagai kecenderungan rupa lukisan potret karya Basoeki.
Sang maestro kelahiran Solo, 27 Januari 1915, itu sudah mulai melukis potret Raja Bhumibol Adulyadej dan Ratu Sirikit sejak tahun 1960. Ia kembali melukis keduanya pada 1963, sama-sama lukisan yang seluruh kanvasnya penuh dengan warna, menggambar seluruh anatomi tubuh tokoh yang dilukis, dan kaya ornamen.
Sepasang lukisan itu (beberapa dihadirkan berupa cetak digital repro lukisan aslinya) sama sekali berbeda dengan lukisan lain Basoeki pada 1981, ketika ia menggambar sang raja dan ratu dengan garis-garis ”seadanya”, hanya menggambar wajah. Pada dua lukisan terakhir, sapuan cat minyak yang tegas dan minimal justru lebih menghadirkan kekuatan Basoeki menghidupkan lukisan potretnya.
Basoeki melukis pasangan Ferdinand dan Imelda Marcos sejak 1977, tetapi lukisan tercantik Imelda Marcos dilukis sang maestro pada 1981. Begitu pula lukisan Ferdinand Marcos dilukis pada 1981. Pun lukisan potret terbaik Sultan Hassanal Bolkiah. Ketiga lukisan itu sama-sama hanya melukis wajah, kekuatan utama Basoeki. Ketiga lukisan yang sama-sama tidak menghadirkan garis anatomi tubuh, yang seperti memang bukan kekuatan Basoeki.
Basoeki dan pahlawan
Indonesia punya maestro lainnya, S Soedjojono, yang tak hanya disebut-sebut sebagai ”bapak seni lukis modern Indonesia”, tetapi juga seorang kritikus seni yang ”kejam” mengomentari lukisan Basoeki Abdullah. Basoeki adalah pelukis naturalis, khususnya pelukis potret, yang sangat piawai, dielu-elukan oleh publik Indonesia dan mancanegara. Namun, Soedjojono justru menyebut Basoeki ”cuma” pelukis Mooi Indie yang kebarat-baratan, cuma punya ”kebagusan”, tetapi tanpa roh. Basoeki juga berjarak dari Affandi, maestro ekspresionis yang pernah ditolaknya menjadi murid karena dianggap tak berbakat.
”Perang dingin” ketiganya didamaikan oleh Ciputra. Sang kolektor lukisan ketiga maestro itu mempertemukan Basoeki, Soedjojono, dan Affandi pada 1989, dan dokumentasi ”perdamaian” itu pun dihadirkan dalam pameran yang berlangsung di Museum Nasional pada 21-30 September itu. Lukisan ketiga maestro juga disandingkan di sana.
Namun, tudingan Soedjojono bahwa Basoeki cuma seorang ”Mooi Indie” telanjur tercatat linimasa sejarah seni rupa Indonesia. Mungkin itulah sebab Mikke dan Bambang menyandingkan dokumentasi ”perdamaian” Basoeki, Soedjojono, dan Affandi dengan belasan cetak digital lukisan para pahlawan karya Basoeki—yang ternyata lekat diingat.
Ya, lukisan pahlawan nasional yang sejak dahulu selalu tertempel di dinding-dinding kelas sekolah dasar—Pattimura, Teuku Umar, Diponegoro, dan RA Kartini—adalah lukisan karya Basoeki. Basoeki juga melukis banyak pahlawan kemerdekaan—Penerbang Adi Sutjipto, KH Agus Salim, I Gusti Ngurah Rai, Wolter Monginsidi, banyak lagi. Yang terbanyak, tentu saja lukisan potret Soekarno, sang proklamator sekaligus kawan dekat Basoeki.
Perupa yang terayu
Salah satu gambar potret Soekarno karya Basoeki, menggambar sisi kiri wajah Soekarno, menjadi gambar prangko ikonik Orde Lama. Gambar yang lekat dalam ingatan hati publik, tanpa pernah disadari asal-usulnya. Perupa Teguh Ostenrik membuat instalasi patung besi turunan gambar charcoal di atas kertas yang dibuat Basoeki pada 1942 itu, yang juga dipamerkan sepanjang pameran Rayuan 100 Tahun Basoeki Abdullah di Museum Nasional.
Instalasi patung besi ”Nambawan” (2015) itu terdiri atas bongkah-bongkah besi yang terpisah, sekilas tak merangkai rupa. Dilihat dari jarak sekitar 6 meter, tiap-tiap bongkah tersusun serupa torehan garis-garis charcoal dalam gambar Basoeki, membentuk wajah samping Soekarno, sang ”number one”.
Teguh adalah satu dari sebelas perupa dan komunitas seni lintas generasi yang terayu pesona karya Basoeki Abdullah. Karya-karya mereka—Agus Novianto, Jerry Tung, Kelompok 12 Pas, Mata Seni Art Space, Paul Hendro Nugroho, Sudigdo, Komunitas Wedha’s Pop Art Potrait, Yani Mariani Sastranegara, Farhan Siki, Budi Pradono, dan Teguh Ostenrik—membuat rayuan maut karya Basoeki Abdullah hadir dalam kekinian seni rupa kontemporer.
Agus Novianto, misalnya, membuat instalasi media baru, ”Sumeleh”, berupa akuarium tipis yang dipasangi sensor suara yang mengatur jumlah gelembung yang terlepas dari dasar instalasi. Agus memproyeksikan garis-garis cahaya yang bergerak mengejar gelembung-gelembung udara yang dilontar gendhing Jawa, akar tradisi Basoeki Abdullah.
Komunitas Wedha’s Pop Art Potrait (WPAP) juga memberi kesegaran dari kekhasan lukisan potret Basoeki, dengan membuat instalasi tiga dimensi bidang-bidang geometris khas genre portrait seniman Wedha, membentuk wajah Basoeki Abdullah. Komunitas WPAP mengajak publik berpartisipasi menempelkan stiker berwarna menyala, bersama-sama membangun rupa wajah sang maestro dalam langgam budaya populer yang dekat dengan anak muda.
”Pencapaian kesebelas perupa menunjukkan kualitas Basoeki Abdullah. Sejarah dan kritik seni rupa pernah tidak utuh memahami Basoeki Abdullah yang dicibirkan. Tidak ada satu genre yang bisa meniadakan genre lainnya. Termasuk pilihan Basoeki Abdullah yang konsisten sebagai perupa naturalis, yang ternyata mampu memantik kreativitas 11 perupa kontemporer yang diundang dalam pameran ini,” kata Bambang Asrini W.
(Aryo Wisanggeni)
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 27 September 2015, di halaman 26 dengan judul “Rayu-merayu dan Basoeki Abdullah”