Memastikan warisan budaya Indonesia tetap hidup dan berkembang adalah salah satu cara merayakan kemerdekaan. Di pentas mode, para desainer muda ini mementaskan keindahan kain warisan budaya Indonesia.
Dalam suasana peringatan Hari Ulang Tahun Ke-70 Kemerdekaan Republik Indonesia, Fashion First menyuguhkan ”The Legacy”. Peragaan busana yang digelar di Skye, Jakarta, awal Agustus lalu, ini sekaligus menjadi ”pesta” ulang tahun ke-2 butik mode yang kini bekerja sama dengan lebih dari 30 desainer muda Indonesia itu.
”Kami ingin merayakan kemerdekaan Indonesia melalui fashion yang menggunakan kain tradisi Indonesia. Koleksi seperti ini juga sekaligus untuk memastikan tradisi budaya kita terus hidup dan dikembangkan oleh generasi baru desainer sebagai penerus,” ujar Deli Makmur, Chief Executive Officer House of
Fame, yang mengembangkan Fashion First.
Peragaan ini terutama menampilkan batik sebagai salah satu kain warisan budaya Indonesia. Empat desainer, yaitu Amelia Kartikasari, Anthony Tandiyono, Krishandi Hartanto, dan Luthfia Tjakraamidjaja, menyuguhkan busana berbahan batik dalam cita rasa yang kaya. Mereka menunjukkan bahwa batik juga bisa mengakomodasi beragam gaya dan selera yang berbeda. Sementara Aulia Rusdy melengkapi empat koleksi busana itu dengan clutch (tas dompet) yang mengeksplorasi materi kain tenun songket.
Anthony Tandiyono memulai kariernya di pentas mode Indonesia sejak 2014 dengan membangun label miliknya sendiri ”AT”. Meski begitu, ia merintis karier ini di Australia. Setelah menamatkan studi desain mode di Royal Melbourne Institute of Technology, ia pernah bekerja di sebuah rumah mode Couture dan perusahaan mode di Australia.
Studi desain serta pengalaman ini menggeluti proses produksi menjadi bekal bagi Anthony membangun labelnya di Jakarta. Meski begitu, koleksi bertajuk ”Era Gelora” yang ia tampilkan dalam peragaan The Legacy menjadi tantangan baru. Kata Anthony, ia baru berkenalan dengan batik ketika menyiapkan koleksi ini. Proses membuat batik dan cerita tentang motifnya memikat Anthony.
Desainer muda ini mengeksplorasi batik lasem pada koleksi busana yang siluetnya terinspirasi paduan budaya Barat dan budaya peranakan pada era 1960-an. ”Saya suka warna-warna batik Lasem, juga motifnya yang tersebar dan penuh sehingga memudahkan kainnya untuk digunakan semaksimal mungkin,” ujarnya.
Bekerja dengan batik yang merupakan karya tangan berketerampilan tinggi membuat Anthony berusaha untuk meminimalkan sisa kain. Upaya meminimalkan sisa itu ikut menentukan cara potong, tata letak, dan desain busana.
Modifikasi motif
Sementara Amelia Kartikasari terinspirasi aliran lukisan Mooi Indie yang menggambarkan Indonesia sebagai negeri Timur nan indah. Sebelumnya, pemenang pertama Lomba Perancang Mode (LPM) Femina Grup pada 2002 ini sudah akrab dengan batik. Awal tahun ini, ia meluncurkan dua label busana siap pakai berbahan batik, yakni Ananya Batik, yang khusus menggunakan batik tulis dan Anara Batik yang menyasar remaja dengan batik cap.
Amelia yang bekerja di Surabaya mengolah batik Cirebon dan batik Solo untuk koleksi busana yang ditampilkannya dalam peragaan The Legacy. Motif klasik Jawa seperti parang, misalnya, ia buat dengan modifikasi warna seperti pink dan hijau lemon. Sebaliknya, motif kontemporer, seperti polkadot besar dan garis geometrik, ia buat dengan teknik batik dalam warna klasik, seperti hitam putih dipadukan pula dengan motif klasik.
Batik cirebon dan batik solo klasik juga diolah Amelia dalam busana yang bersiluet kontemporer. Batik berwarna sogan, misalnya, ia buat untuk padu padan celana pendek, blus tanpa lengan, dan jaket yang berpotongan menggantung pendek di depan dan lebih panjang di belakang badan. Untuk mempermanis koleksi ini, Amelia juga memberi aksen renda putih. ”Lace juga pengaruh Belanda yang bisa ditemukan pada era Mooi Indie itu,” ujarnya.
Batik cirebon dalam gaya yang berbeda juga digunakan Krishandi Hartanto. Desainer muda lulusan Istituto Europeo di Design (IED), Milan, Italia, ini menampilkan paduan bahan batik dengan tenun dobi atau materi kain polos lainnya dalam siluet bervolume dramatik. Meski begitu, rok batik panjang itu tetap terkesan nyaman, antara lain karena panjangnya dibuat sedikit di atas mata kaki.
Sebaliknya rok batik berpotongan simpel seperti span pendek, midi, atau celana pendek, dipadukan Krishandi dengan blus polos yang mencuri perhatian karena aplikasi aksen manik-manik, rhinestone atau lempengan metal.
Dengan takaran yang tepat, aplikasi aksen itu tak terkesan berat, juga tidak menenggelamkan keindahan kain batik yang jadi paduannya. Sejak tahun 2014, Krishandi yang karyanya pernah ditampilkan majalah Vogue Italia ini mengusung label miliknya, Rakriz.
Sementara itu, Lutfhia Tjakraamidjaja mengangkat batik Tasik dalam siluet yang berkesan simpel, kasual, sekaligus bergaya etnik. Dalam garis rancangan Lutfhia, blus longgar berpotongan asimetrik berpadu dengan bawahan seperti kain atau sarung yang dikenakan dengan diikatkan di bagian depan atau samping. Atasan dan bawahan ini dibuat dari batik bercorak sama atau setidaknya berwarna senada.
Desainer lulusan Marymount University’s School of Fashion Merchandising di Washington DC, Amerika Serikat, ini menunjukkan variasi gaya berbusana batik yang dibuat seperti layaknya berkain atau bersarung, tetapi tetap praktis dan nyaman, tanpa kehilangan cita rasa modern. Seperti Krishandi dan Anthony, Lutfhia juga baru mendirikan label modenya sendiri, Almaina, pada 2014 lalu.
Kain warisan budaya negeri ini memang inspirasi yang tak akan kering, sejauh ada semangat muda untuk terus menghidupinya.
(Nur Hidayati)
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 16 Agustus 2015, di halaman 19 dengan judul “Aksen : Merdeka dalam Gaya”