Batas antarnegara semakin memudar di era globalisasi ini. Identitas pemusik berdasarkan asal negara tak perlu dipusingkan lagi. Selama punya karya bagus dan jaringan kuat, panggung festival di berbagai negara bisa jadi lahan bermain untuk siapa pun yang mau gigih berupaya.
Hingga pertengahan 2015, banyak kabar menggembirakan dari ranah musik Indonesia. Band Burgerkill, Jasad, dan The Changcuters diundang pentas di festival bergengsi di luar negeri.
Burgerkill, yang sudah tenar di kancah metal internasional, mencicipi panggung Wacken Open Air 2015 di Jerman pada akhir Juli. Memang panggung yang mereka dapat adalah panggung sampingan dan berada di urutan buncit.
Dari laporan Deutsche Welle, kelompok asal Ujungberung, Bandung, itu beraksi pukul dua dini hari. Walau begitu, lagu macam ”Atur Aku” dan ”Under the Scar” tetap disaksikan ratusan metalheads. Di ujung penampilan, penonton meminta encore dan meneriakkan ”Burgerkill! Burgerkill!”
Pentas di luar Indonesia telah Burgerkill jalani sejak 2009 dengan menggelar Australia Tour. Tur itu berjalan sukses dan dilanjutkan dengan menyambangi sejumlah negara di Asia. Namun, pengalaman main di Wacken Open Air adalah hal lain. Burgerkill adalah band Indonesia pertama yang main di festival metal akbar itu.
The Changcuters, yang awet bertahan di bawah label Sony Music Indonesia, diundang pula beraksi di Summer Sonic Festival Jepang, pertengahan Agustus ini. Festival itu menampilkan nama besar industri hiburan macam Pharrell Williams, The Chemical Brothers, Marilyn Manson, dan Manic Street Preachers.
Sementara itu, band indie pop/rock Lightcraft asal Jakarta aktif mendaftar beragam festival di luar negeri. Upaya itu berbuah positif. Mereka tampil di Saarang Festival di Chennai, India, Canadian Music Week di Toronto (Kanada), dan segera bertolak ke Zandari Festa 2015 di Seoul, Korea, Oktober nanti. Imam Wisaya Surataruna, vokalis dan gitaris Lightcraft, berujar, mereka punya keinginan kuat menyebarluaskan musik yang mereka buat, melampaui batas negara.
”Pengalaman manggung di festival besar dan bertemu orang baru juga pengalaman tak ternilai harganya,” ujar Imam.
Duo Senyawa asal Yogyakarta juga melangkahkan kaki mereka ke festival internasional bermula di Australia. Setelahnya, Rully Shabara dan Wukir Suryadi lebih banyak bermain di luar negeri daripada di Indonesia. Mereka bisa berbulan-bulan keliling Eropa. Rully bahkan pernah berkata, hampir semua negara Eropa telah mereka singgahi.
Di Jepang, Senyawa pentas dengan musisi eksperimental Kazuhisa Uchihashi yang karyanya diakui di kalangan musik kontemporer. Pentas itu direkam dan diedarkan dalam bentuk cakram padat di Jepang. Kazuhisa sempat membalas lawatan Senyawa ke Yogyakarta dan kembali berpentas bareng.
Senyawa memiliki tim manajemen yang berjejaring dengan kurator festival di banyak negara. Mereka memanfaatkan alat sehari-sehari seperti garu dan sendok pengaduk dodol yang diperlakukan layaknya gitar. Dengan modal kreasi itu, keduanya mendapat bayaran penuh. Biaya perjalanan, akomodasi, dan fee manggung dibayar utuh penyelenggara festival. Seniman musik Djaduk Ferianto bahkan menyebut Senyawa sebagai band muda produk Yogyakarta yang paling sibuk. ”Mereka sudah ke mana-mana. Ruang pementasan mereka luar biasa,” kata Djaduk.
Terlalu panjang menuliskan daftar pemusik Indonesia yang pernah pentas di luar negeri. Ada yang tampil untuk ”kalangan sendiri”, tetapi banyak juga yang beraksi di festival besar. Djaduk, dengan kelompok Kua Etnika, juga kenyang pengalaman manggung di sana-sini.
Mental inferior
Dengan daya jelajah yang demikian, seberapa penting lagi mendengungkan jargon go international? Pemusik Rizky Sasono, penggawa kelompok Risky Summerbee and The Honeythief, tak sepakat dengan istilah go international itu. ”Istilah itu mengandung inferioritas. Padahal, kita (orang Indonesia) adalah bagian dari dunia internasional,” ujarnya.
Djaduk tak memungkiri hal itu. Ia menilai, salah satu kendala pemusik Tanah Air dan seniman pada umumnya adalah kegagalan ”menjual diri”. ”Mental orang kita (Indonesia) itu enggak bisa sombong, padahal karyanya bagus,” kata Djaduk. Solusinya, ujar Djaduk, adalah berusaha membuka diri. Hal itu bukan berarti meninggalkan identitas karyanya. Artinya, pemusik harus yakin pada karya yang ia hasilkan. Setelah itu tercapai, upaya untuk menawarkan diri, kepada penyelenggara festival maupun perusahaan rekaman luar negeri, bisa berlangsung.
Leonardo Pahkovic, pendiri label MoonJune Records, menyayangkan masih terlalu sedikit talenta bagus yang mengemuka. Ia yakin, Indonesia punya banyak pemusik dengan karya jempolan. Label yang ia dirikan di New York, AS, itu mengedarkan album musik dari banyak negara, termasuk Indonesia seperti milik Tohpati, Ligro, dan Dewa Bujana.
Kata Leonardo, di era ini sudah tak sulit lagi memperdengarkan karya di lintas negara. Pindah dari Indonesia ke negara lain yang kultur musiknya lebih sehat tak bisa disalahkan. Namun, itu memakan biaya banyak dan urusan administrasi yang ruwet. Medium internet, kata dia, adalah sarana paling logis. ”Sayangnya, koneksi internet di Indonesia lambat,” ujarnya.
Keterbatasan kecepatan internet itu masih bisa dimanfaatkan. Ia mendorong pemusik untuk bergabung dengan forum musik yang warganya berasal dari berbagai negara. Lewat forum itu, karya bisa dipertukarkan.
Leonardo mengisahkan, ia berkenalan dengan gitaris muda dari Yogyakarta, Reza Ryan. Reza meminta Leonardo mendengar lagu dari band yang ia bentuk, I Know You Well Miss Clara, yang sebelumnya direkam memakai gitar rusak. Gayung bersambut. Reza diminta memperbaiki rekamannya.
Akhirnya, pada 2014, album perdana I Know You Well Miss Clara, Chapter One, diedarkan ke seluruh dunia oleh MoonJune Records. Baru setahun kemudian album itu akan diedarkan Demajors untuk pasar Indonesia. Menurut Leonardo, album Reza dan kawanannya itu sudah santer dibicarakan kalangan musik progresif dan jazz internasional. Mereka bahkan diundang main di sebuah festival di Seattle, AS. Sayangnya, mereka terantuk pengurusan visa yang rumit dan mahal.
Begitulah Indonesia. Kreativitas masih ”harus tunduk” pada administrasi birokrasi. Walau begitu, kata Leonardo yang selalu optimistis itu, masih banyak siasat yang bisa ditempuh daripada sekadar menunggu kemudahan dari pemerintah.
(Herlambang Jaluardi)
Versi cetak artikel ini terbit di rubrik ‘Kompas Kampus’ harian Kompas edisi 11 Agustus 2015, di halaman 35