Alunan suara tahuri, alat tiup dari cangkang kerang itu, menyambut tetamu yang berkunjung ke Ambon manise. Hari menjelang sore. Sinar matahari di Pantai Halong, Kota Ambon, Maluku, semakin redup. Panas tak lagi menyengat.
Sekelompok anak muda berkumpul di pinggir pantai. Mereka sibuk membopong berbagai jenis alat musik khas Ambon yang terbuat dari cangkang kerang berukuran besar beraneka rupa. Warga menyebut alat musik dari kerang itu kulit bia. Lagu ”Rasa Sayange” dan ”Nona Manis” mengalun merdu.
Selain kulit bia, ada pula tifa, seruling, bambu gesek, bambo toki, hingga toleng-toleng. Semuanya berpadu harmonis. Beradu dengan suara angin di pinggir pantai yang menderu-deru. Suara kulit bia yang ditiup kadang terdengar nyaring, kadang lamat-lamat karena memainkan nada-nada rendah, ditingkahi suara seruling, tifa, dan alat musik lainnya yang saling mengisi.
Ketua Sanggar Kokoya, Carolis Horhoru (68), yang mengomandani anak-anak muda itu menuturkan, alat musik dari kulit bia dikenal oleh masyarakat Maluku dengan nama tahuri. Alat tradisional masyarakat Maluku dimainkan di acara-acara adat atau upacara yang digelar di balai adat serta saat menerima tamu.
Cangkang kerang yang berukuran kecil memainkan nada-nada tinggi, sedangkan yang berukuran besar memainkan nada-nada rendah. Pada setiap kulit kerang terdapat lubang untuk meniup alat musik tersebut. ”Saat ini, untuk menghasilkan musik yang lebih lengkap, tahuri juga dimainkan dengan alat musik lain seperti seruling, tifa, bambu gesek, bambu toki, dan toleng-toleng. Kulit kerang yang kami gunakan, berukuran besar, banyak terdapat di laut Maluku,” papar Carolis.
Untuk membuat tahuri, Carolis kadang juga mencari kulit bia hingga ke Dobo dan Saumlaki guna mendapatkan kulit bia berkualitas bagus. Dari Ambon ia harus berlayar ke Dobo yang terletak di Kepulauan Aru.
Tahuri dengan ansambel dari alat musik lain kini digunakan memainkan lagu-lagu rohani. Carolis telah beberapa kali membawa musik tahuri memainkan lagu rohani di sejumlah gereja di Ambon dan Maluku.
Sore yang semakin jatuh mengakhiri lantunan musik tahuri yang seolah mengucapkan selamat datang bagi para pendatang. Rasa hangat yang ditinggalkan menambah semangat untuk mengenal Kota Ambon yang kini dicanangkan sebagai kota musik itu.
Pantai Manise
Selain musik, Ambon juga kaya dengan pantai-pantai indah. Ke mana pun kaki melangkah, pantai-pantai cantik siap menyambut. Semilir angin, pasir yang lembut, batu karang, dan pemandangan saat matahari terbit dan terbenam merupakan pesona yang eksotis. Warga kota kerap menghabiskan waktu di pinggir pantai, menikmati angin dan detik-detik menjelang matahari tenggelam.
Di Pantai Natsepa, pengunjung bisa menikmati suasana pantai sambil menikmati rujak buah berbumbu kacang tanah yang melimpah. Berbeda dengan rujak buah yang juga dijajakan di Jawa, bumbu rujak Pantai Natsepa umumnya tidak menggunakan terasi. Para penjual sengaja tidak menggunakan terasi untuk membedakan cita rasa rujak Jawa dengan rujak khas Ambon.
Di Pantai Tanjung, debur ombak yang menabrak batu-batu karang di bibir pantai menjadi hiburan tersendiri. Ombak yang datang cukup besar. Lokasi sekeliling pantai yang sunyi memberi kesempatan kita untuk menikmati suasana sepi. Lewat senja, siluet pepohonan di pinggir pantai menyajikan panorama yang indah.
Apabila ingin menjejak pantai berpasir putih dengan airnya yang biru jernih, Pulau Liang dan Pulau Pombo yang jaraknya cukup terjangkau, 20-30 menit menggunakan perahu cepat, bisa menjadi tujuan yang tepat. Di Pombo, jika beruntung, kita bisa menemukan burung pombo, atau yang lebih dikenal dengan sebutan burung dara, sebagai satwa asli Pulau Pombo.
Sementara di Pulau Liang, sekali lagi apabila kita beruntung, kita bisa berjumpa dengan lumba-lumba, penyu, atau juga ikan duyung di sana. Kabarnya, kawanan lumba-lumba paling sering terlihat pada periode Januari-April, saat angin barat bertiup.
Kerajinan Maluku
Kembali ke pusat kota Ambon, kerajinan besi putih dan mutiara air tawar khas Maluku yang banyak ditemui di pusat kota Ambon bisa menjadi pilihan. Variasinya sangat beragam, mulai dari cincin, gelang, hingga kalung. Harganya pun variatif, mulai dari yang berkisar Rp 50.000 hingga ratusan ribu rupiah.
Desain dan modelnya cukup menarik karena beberapa perajin di Ambon menjalin kerja sama dengan perajin dari luar Ambon, antara lain Surabaya. Beberapa toko besi putih dan mutiara kini juga menjual batu akik, sebagaimana demam yang melanda masyarakat saat ini.
Ditambah sajian ikan dan pepeda serta aroma kopi yang menggoda selera, sungguh Ambon manise memberi pengalaman manis tak terlupakan. Seperti tahuri yang mengalun merdu di pinggir Pantai Halong.
(Dwi As Setianingsih)
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 9 Agustus 2015, di halaman 36 dengan judul “Merdu Tahuri di Pinggir Pantai “