Lokalitas sejatinya adalah benteng kuat penahan identitas terhadap gempuran globalisasi. Bahkan, lokalitas dapat menjadi amunisi untuk melambungkan rasa percaya diri sebagai bangsa.
Itu pesan mencolok yang disampaikan Balawan & Batuan Ethnic Fusion saat tampil dalam rangkaian Forum World Music Salihara 2015, Rabu (5/8). Balawan dan rekan-rekannya itu menjadi penampil pembuka yang disusul pertunjukan bertajuk Tribute to Trisutji Kamal, Sinta Wulur, Suarasama, dan Malacca Ensemble pada malam-malam berikutnya.
Malam itu Balawan & Batuan Ethnic Fusion tak sekadar bermain musik, tetapi seolah berteater. Mereka menampilkan sepuluh nomor dalam balutan cerita yang bertema balada seniman tradisi. Seniman tradisi kesulitan bertahan akibat desakan dan pengaruh musik Barat, juga oleh rendahnya apresiasi terhadap musik tradisi.
Tersebutlah seorang pengamen di Ubud, Bali, bernama Made Marley yang berambut kribo. Dia mengais receh dengan menyanyikan lagu-lagu pop Barat terbaru, tapi tak menolak memainkan lagu lama asal bayarannya cocok. Lagu-lagu Bruno Mars hingga Justin Bieber dia hafal dengan baik. Bahkan, Made mampu menyanyi dengan ceria lagu jadul ”Never on Sunday” milik Chordettes.
Ketika asyik ngamen, datang penjual seruling, topeng, hingga sopir taksi. Muncul juga pemuda Bali yang tengah teler karena alkohol. Dalam pertemuan yang tak sengaja itu, terkuak fakta bahwa sebagian besar dari mereka adalah seniman tradisi. Mereka pemain gendang, gamelan, dan suling yang sulit bertahan hidup karena sepi apresiasi. Mereka akhirnya meninggalkan dunia seni dan menjual cendera mata maupun mengamen untuk sekadar menyambung hidup.
Pada titik itulah, Made sadar perlu mengajak mereka kembali bermusik untuk mempertahankan musik tradisional. ”Jangan sampai orang luar yang malah menguasai kendang atau gamelan Bali. Masa nanti kamu mau menikahkan anakmu harus impor pemain gamelan dari Belanda,” kata tokoh Made setelah mengetahui seorang bule Belanda mahir memukul kendang.
Ucapan Made menyindir banyaknya generasi muda yang malu mendalami tradisinya sendiri, sementara warga asing begitu giat mempelajari seni tradisi. Ironis memang.
Di sanggar Made itulah, akhirnya mereka kembali bermain musik. Made juga menjelajahi kemungkinan kelompoknya itu dapat tampil di acara-acara tertentu. Dua jadwal pementasan dibatalkan penanggap. Kemudian Made memberi tahu kabar gembira dari Pak Sali yang mengizinkan mereka main di sebuah teater di Jakarta. ”Main sak karepe sak enek udele. Di mana lagi kita dapat tempat begitu,” kata Made kepada rekan-rekannya menggambarkan tentang peluang bermain musik di tempat Pak Sali sesuka hati Made.
Akting
Balawan yang berperan sebagai Made Marley mampu menyampaikan cerita di atas dengan gaya kocak dan natural. Balawan beberapa kali bermain teater. Ini kali ketiga main teater maupun teater musikal. Belakangan dia menikmati bermain teater dan tidak menolak jika ada tawaran untuk bermain film meskipun belum pernah ikut kelas akting. ”Saya ingin banget diajak main film. Film horor. Semoga ada film leak versi modern. Ikut nanti saya,” kelakar Balawan menjelang manggung.
Balawan memainkan sepuluh nomor dalam balutan balada seniman tradisi tadi. Dia mengajak serta beberapa seniman seperti penggebuk drum Dion Subiakto, gitaris Aria Baron, dan Tya Subiakto. Baron sempat diberi kesempatan memainkan satu nomor blues. Ini menjadi semacam jeda di antara nomor-nomor Balawan yang begitu kental aroma etnisnya.
Seperti biasa, Balawan memainkan gitar dengan iringan gamelan Bali dan kendang bernuansa etnis-jazz. Balawan juga menunjukkan betapa gamelan jika dimainkan secara kontemporer tidak kalah menarik dengan musik kontemporer dari belahan bumi lain.
Simaklah nomor-nomor ”Spirit of The Rhythm” atau ”Sun Rise”. Balawan mampu menyuguhkan keelokan bermusik dengan tempo sedang hingga cepat yang menghasilkan 17 nada dalam satu detik. Bukan rahasia lagi bagi penikmat musik mengingat Balawan yang begitu tenar dengan teknik delapan jari atau touch tapping style-nya itu saat memainkan gitar berleher ganda.
Kematangan teknik itulah yang membuat sajian malam itu memukau. Berulang kali terdengar tepuk tangan panjang sebagai bentuk apresiasi penonton terhadap sajian Balawan & Batuan Ethnic Fusion.
Namun, bagi Balawan, itu saja belum cukup. Dia ingin menyuguhkan kesan yang lebih provokatif. Maka pilihannya jatuh pada konsep teater musikal tadi. ”Saya tidak ingin penonton hanya mendengarkan lagu per lagu. Kesannya tidak mendalam,” ujar lulusan Australian Institute of Music di Sydney yang sejak kecil akrab dengan musik ini.
Lewat sajian ini, Balawan menegaskan kembali bahwa musik tradisi tidak akan mati jika memang digeluti dan dimainkan dengan hati. Itu sebagai bentuk kritik dia terhadap para seniman tradisi yang selama ini cenderung sebagai ornamen. Mereka hanya komunitas pariwisata yang terasing di kampung sendiri. Berbaju mengilap saat di atas panggung, tetapi kesulitan menyambung hidup.
Bersama Batuan Ethnic Fusion, Balawan bertekad merevitalisasi gamelan sebagai musik tradisi yang agung. ”Saya ingin mendidik anak muda bahwa main musik gamelan itu keren. Bisa keluar negeri,” kata seniman yang berulang kali pentas di luar negeri ini.
Pesan Balawan sangat jelas, lokalitas harus terus berkembang meniti zaman. Hidup atau matinya lokalitas bergantung pada generasi. Makanya Balawan tak lelah mencari bibit baru pemain musik tradisi untuk bergabung di sanggarnya di Bali.
(Mohammad Hilmi Faiq)
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 9 Agustus 2015, di halaman 29 dengan judul “Lokalitas Menolak Mati”