Bagaimana cara Tuhan menciptakan Pianemo? Kami yang berdiri di ketinggian pulau karang tak henti-henti mendesis untuk mengungkapkan rasa kagum. Keajaiban itu seperti surga, penuh misteri, tetapi membangkitkan keindahan tiada tara.
Menjejak dua ratus lebih anak tangga menuju puncak tebing, seperti menapaki jalan firdaus. Kini, gugusan Kepulauan Pianemo terhampar bagai cuatan-cuatan makhluk gaib dari kedalaman lautan. Air laut yang biru kehijauan adalah hamparan karpet semesta. Mungkin tak ada yang bisa menduga di mana pangkal dari pulau-pulau karst yang tumbuh di perairan itu. Bentuknya bisa begitu beragam, dari kuncup melancip, menggaris lengkung parabola, sampai memanjang menyerupai seorang putri yang sedang tidur.
Waktu dua jam melayari Selat Dampier dari Pulau Waigeo, tempat tim ekspedisi Galeri Indonesia Kaya (GIK) Jakarta menginap, menuju Kepulauan Pianemo tak sia-sia. Kami beruntung. Selain dikaruniai cuaca yang cerah, juga medan pendakian ke bukit karang telah dipasangi anak tangga dari kayu. ”Ini seperti keberuntungan. Surga itu kini di depan mata…,” ujar Direktur Program Djarum Bakti Budaya Renitasari Adrian, lembaga yang menaungi GIK, pertengahan Juni 2014.
Eksplorasi Kepulauan Raja Ampat, Papua Barat, menjadi medan terakhir ekspedisi GIK. Sebelumnya tim yang dipimpin Erick Moreno sudah mengeksplorasi Kabupaten Wamena dan suku Asmat di Kabupaten Asmat serta beberapa daerah dengan tradisi kental suku Papua. Ekspedisi ini tidak saja dalam rangka mendokumentasi kekhasan adat-istiadat dan cara hidup orang Papua, tetapi lebih dari itu menunjukkan keberagaman kebudayaan dan peradaban yang menyatukan Indonesia.
Dengan speedboat berkapasitas 12 orang, Jumat (20/6) pagi, kami menuju Pulau Myoskun, berjarak sejam perjalanan dari penginapan di Raja Ampat Dive Resort, Pulau Waigeo. Perjalanan menuju lokasi diving site terdekat cukup menegangkan. Angin yang berembus kencang membawa gelombang cukup tinggi. Beberapa kali empasan air laut masuk ke dalamboat. ”Biasanya gelombang tak setinggi ini. Mungkin karena angin tenggara sudah bertiup,” ujar pemilik Raja Ampat Dive Resort Andy Candrawinata sebelum kami berangkat.
Pulau Myoskun, warga lokal menyebutnya sebagai Pulau Peniki, tak lebih dari pulau karang dengan diameter sekitar 50 meter. Tetapi di situ hidup ribuan kelelawar yang bergantungan di pohon-pohon cemara. ”Peniki itu artinya kelelawar,” kata pengendali speedboat kami.
Di perairan Pulau Myoskun tim sempat melakukan penyelaman sekitar 1 jam. Instruktur penyelaman Didik Fitriadi mengatakan, perairan itu hanya satu dari puluhan tempat menyelam yang asyik di Raja Ampat. Perairan sekitar kepulauan Raja Ampat sejak 1993 sudah ditetapkan sebagai Suaka Margasatwa Laut. Tak heran, karena di sekitar Selat Dampier yang meliputi wilayah 60.000 hektar, terdapat 450 jenis karang laut. Bahkan identifikasi yang pernah dilakukan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia mencatat terdapat 540 jenis karang keras di seluruh perairan Raja Ampat. Jumlah itu sudah mencapai 75 persen dari total jenis karang di seluruh dunia.
Di situ juga terpendam 1.000 jenis ikan karang dan 700 jenis moluska. ”Katanya, Raja Ampat menjadi satu dari 10 perairan terbaik di dunia untuk diving,” kata Didik.
Pasir Timbul
Kami kembali ke resort di Pulau Waigeo untuk makan siang. Perjalanan menuju Pianemo akan ditempuh setelah tengah hari sambil menunggu angin mereda. Kira-kira pukul 13.00 WIT gelombang menyurut dan matahari sangat cerah. Cuaca cenderung panas, suhu mencapai hampir 40 derajat celsius. Tak berapa lama speedboat sudah meraung memecah gelombang menuju Pianemo. Perjalanan ini benar-benar diberkati. Air laut yang biru kehijauan melandai, hampir-hampir tak ada gelombang. Kami menyusur pantai Waigeo, tempat resort–resort bagi wisatawan berdiri di bawah tebing karang. Beberapa kali pula kami melintasi pulau-pulau kecil tak berpenghuni.
Kira-kira pukul 15.00 kami memasuki perairan, di mana pulau-pulau kecil tumbuh berdekatan. Sebagian besar pulau karang yang tersebar di Pianemo tak berpenghuni. Tetapi di sebuah hutan bakau kita menemukan penginapan bernama Piaynemo Resort, di bawahnya ikan-ikan hiu seperti jinak berkeliaran. Di balik hutan bakau menghampar pantai asri dengan pasir putih yang alami. Pantai tak bernama ini menghadap langsung ke Samudra Pasifik dengan airnya yang biru pekat.
Raja Ampat tak habis-habis membuat kagum. Setelah mengintip surga dari puncak tebing karang, kami berlayar menuju Pasir Timbul di dekat Pulau Koh. Keindahan ini tak bisa setiap waktu direguk, sangat tergantung dari pasang-surut air laut. Kira-kira pukul 17.00 kami tiba di satu hamparan pasir putih. Pasir itu meninggi dikitari perairan dangkal yang penuh keasrian biota dan karang laut. Kami menghabiskan sisa senja dengan mengitari Pasir Timbul. Beberapa kelompok wisatawan memiliki cara unik mengabadikan momen spesial dalam hidup mereka.
Tampak tiga wisatawan asing dibantu pemandu lokal melompat tinggi-tinggi sambil diabadikan dengan kamera. Gambar-gambar mereka seperti sedang terbang dengan latar belakang Pulau Koh. Sekelompok wisatawan lokal memilih menerobos perairan menujuspeedboat mereka. Bahkan kemudian seluruh rombongan mengenakan baju pelampung untuk berfoto bersama sembari berendam dalam air laut.
Raja Ampat harus kami tinggalkan di hari Sabtu. Kami menggunakan kapal feri Express Bahari 88 B dari Pelabuhan Waisai menuju Pelabuhan Rakyat Sorong. Kapal seperti bergerak lamban di atas permukaan Selat Dampier yang nyaris tanpa gelombang. Seperti juga hati kami yang telanjur tertambat di tepian surga bernama Raja Ampat….
(Putu Fajar Arcana)
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 6 Juli 2014, di halaman 25 dengan judul “Cerita dari Tepi Surga”