Luasan ruang terbuka hijau di Jakarta masih jauh dari yang disyaratkan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang. Aturan tersebut mengharuskan setiap wilayah kota atau kabupaten di Indonesia memiliki paling sedikit 30 persen ruang terbuka hijau dari total luas wilayah. Oleh karena itu, potensi ruang terbuka hijau perlu digali agar muncul kesadaran pemerintah dan masyarakat untuk terus menambah luasannya.
Saat ini, Provinsi DKI Jakarta hanya memiliki lebih kurang 9 persen ruang terbuka hijau (RTH) dari total luas wilayahnya. Luasan RTH sebesar 30 persen seperti yang diatur undang-undang adalah syarat minimum untuk menjamin keseimbangan ekosistem sebuah kota. Di dalamnya, keseimbangan sistem hidrologi yang berkaitan erat dengan banjir dan peningkatan ketersediaan udara bersih. Melihat kondisi tersebut, Jakarta sebenarnya jauh dari posisi ideal.
Beberapa waktu lalu, Yayasan Keanekaragaman Hayati Indonesia (Kehati) melalui Biodiversity Warriors bekerja sama dengan Komunitas Peta Hijau Jakarta Fakultas Biologi Universitas Nasional dan beberapa organisasi yang lain ingin melihat kembali potensi yang dimiliki ruang terbuka hijau di Jakarta melalui kegiatan Cap(na)ture. Kegiatan ini adalah upaya memperbarui peta hijau di Jakarta yang telah dibuat beberapa tahun yang lalu. Melalui peta tersebut, digali potensi keanekaragaman hayatinya.
Meskipun menjadi salah satu kota yang memiliki polusi cukup tinggi, Ibu Kota negara ini seharusnya masih menyimpan beragam spesies unik dan menarik di ruang-ruang terbuka hijaunya. ”Melalui kegiatan tersebut, diharapkan muncul apresiasi masyarakat terhadap ruang terbuka hijau sehingga ada kesadaran untuk menjaga, bahkan menambah luasannya,” kata Direktur Komunikasi dan Penggalangan Sumber Daya Yayasan Kehati Sinaryatie Saloh.
Keanekaragaman hayati yang masih tersimpan di ruang terbuka hijau Jakarta dapat menjadi daya tarik bagi masyarakat untuk datang dan memanfaatkannya secara positif. Selain itu, hal tersebut juga bisa menjadi pengingat bagi pemerintah untuk dapat menambah luasan ruang terbuka hijau.
Sebagai kegiatan awal Cap(na)ture, panitia mengadakan lokakarya ”Geledah Jakarta, Menguak Potensi Keanekaragaman Hayati Ibu Kota” di Universitas Nasional, Jakarta.
Dalam lokakarya tersebut, para peserta dikenalkan dengan keanekaragaman hayati di wilayah perkotaan beserta fungsinya, dilatih menulis dan fotografi sebagai modal berpartisipasi dalam membuat peta hijau Jakarta, serta dikenalkan dengan komunitas-komunitas yang memiliki kegiatan erat dengan pelestarian keanekaragaman hayati di Jakarta.
Ady Kristanto dari Komunitas Peta Hijau Jakarta mengatakan, kegiatan mengumpulkan data potensi keanekaragaman hayati yang melibatkan masyarakat umum (citizen scientist) sudah dilakukan di beberapa negara di Eropa dan Amerika. Salah satu bentuk pendataan tersebut adalah sistem peta hijau.
”Sistem tersebut adalah sebuah bentuk pemetaan potensi suatu wilayah yang melibatkan masyarakat ke dalam suatu peta dengan simbol-simbol yang menampilkan keterkaitan antara masyarakat dan lingkungannya,” tuturnya.
Cara baru nikmati kota
Tujuan peta ini adalah untuk menciptakan cara pandang baru bagi warga kota untuk menikmati kotanya, menjadi panduan wisatawan untuk menikmati potensi alam sebuah kota, membantu warga untuk menjelajahi dan mengenali suatu kota, serta membangkitkan kesadaran masyarakat untuk dapat ikut bertanggung jawab terhadap lingkungan.
”Pada 2010, kami sudah pernah membuat peta hijau keanekaragaman hayati Jakarta. Akan tetapi, setelah lima tahun, melalui kerja sama dengan Biodiversity Warriors dan beberapa organisasi lain, kami ingin melihat kembali apakah keanekaragaman hayati di Jakarta bertambah atau justru berkurang,” ujar Ady.
Cap(na)ture ”Geledah Jakarta, Menguak Potensi Keanekaragaman Hayati Ibu Kota” dimulai April lalu. Menurut rencana, ada sekitar 80 titik RTH yang akan diamati. Pengamatan keanekaragaman hayati di RTH Jakarta dibagi menjadi lima wilayah, yaitu Jakarta Barat, Jakarta Timur, Jakarta Selatan, Jakarta Pusat, dan Jakarta Utara. Sampai saat ini lebih kurang sudah 24 titik RTH yang diamati.
Keanekaragaman hayati yang diamati meliputi burung, capung, kupu-kupu, herpetofauna (reptil dan amfibi), jamur, dan vegetasi yang memiliki nilai unik. Kegiatan ini terbuka untuk umum, baik perorangan maupun kelompok, yang ingin belajar tentang keanekaragamana hayati Ibu Kota.
Seperti yang dilakukan Biodiversity Warriors-Yayasan Kehati pada 27 Juni 2015 yang mengamati keanekaragaman hayati di Taman Honda Tebet, Jakarta Selatan. Salah satu keanekaragaman hayati yang diamati, yaitu burung madu kelapa (Anthreptes malacensis), masuk dalam Peraturan Republik Indonesia Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya serta Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa.
Burung merupakan bioindikator yang baik untuk mengetahui kawasan yang keanekaragaman hayatinya berlimpah, termasuk juga perubahan dan masalah lingkungan yang ada.
Pada umumnya, suatu kawasan yang memiliki keanekaragaman jenis burung yang berlimpah, keanekaragaman hayati lain, seperti flora dan satwa lain, juga berlimpah. Burung dapat menjadi bioindikator yang baik untuk mengetahui bagus atau tidaknya suatu kawasan. Selain itu, berkurangnya keanekaragaman jenis burung di suatu kawasan juga mengindikasikan adanya degradasi lingkungan pada kawasan tersebut.
(Ahmad Baihaqi, Mahasiswa Fakultas Biologi Universitas Nasional, Jakarta)
Versi cetak artikel ini terbit di kolom ‘Liputan Kampus’ harian Kompas edisi 4 Agustus 2015, di halaman 35