Kalau mengandaikan ini dunia industri, puisi tak pernah berhenti diproduksi. Terdengar kasar, tetapi itulah kenyataannya. Dunia sepi ini seolah tak pernah mati. Barangkali jutaan puisi ditulis setiap hari, oleh penyair mumpuni atau mereka yang baru belajar menjinakkan diksi.
Setiap hari barangkali juga ada antologi puisi diterbitkan oleh para penyair yang tersebar di seluruh pelosok Tanah Air. Apalagi, dalam satu dekade belakangan dunia teknologi menyediakan begitu banyak kemungkinan untuk berekspresi. Maka, puisi pun merembes di laman-laman media sosial, panjang atau pendek, penyair kemarin sore atau karatan, karyanya tetap bisa disebut puisi.
Belakangan hari, setidaknya ada beberapa kumpulan puisi yang dikirim para penyair, lengkap dengan tanda tangan. Buku-buku antologi itu misalnya, Dari Sebuah Pengabdian (Yesmil Anwar), Suramadu dan Pesan Pendek Tuhan (BH Riyanto), Kopi, Kretek, Cinta (Agus R Sarjono), Pelajaran Berlari (Didik Siswantono), Menulis Puisi Lagi (Majelis Sastra Bandung),Puisi untuk Reformasi: Grafiti di Tembok Istana (Kurnia JR), Tahilalat (Joko Pinurbo), Puisi-puisi Cinta dan Sebayanya (Ishadi SK), Setiap Rindu Mungkin Diciptakan Tuhan dari Seekor Ulat Bulu yang Bermetamorfosa Jadi Kamu (Neni Muhidin), dan Haiku Sunrise of Java(Samsudin Adlawi). Barangkali masih banyak lagi yang tersimpan di laci meja kerja.
Pertanyaan mudah saja, jadi untuk apa semua itu ditulis lalu dikirimkan kepada orang-orang yang juga penyair atau penulis? Mengapa masih keras kepala membuat antologi puisi yang di toko buku dilirik pun tidak oleh para pembaca? Jelas para penerbit berpikir berlipat-ganda untuk menerbitkan antologi puisi karena dipastikan tidak laku. Mungkin lantaran itulah para penyair memilih menerbitkan buku puisinya sendiri lalu dibagi-bagi.
Budi Darma, peneliti dan sastrawan yang amat kritis terhadap karya-karya sastrawan Indonesia, beranggapan, sastra khususnya puisi takkan pernah mati. ”Ini ibarat mewadahi ekspresi paling dasar dari manusia. Jadi manusia yang hidup membutuhkan ekspresi dan biasanya itu lewat seni, terutama puisi,” katanya.
Penyair seperti Didik Siswantono dan Agus R Sarjono bisa bikin puisi bagus kalau sedang berada di luar negeri. Ambillah puisi Didik yang dimuat dalam buku antologinya berjudul ”Sebiji Pena di Harrods”. //dan Kakek benar/sesuatu yang berlebihan itu tak baik/bisa mengaburkan ingatan/dan membelokkan keinginan//bersanding dengan teman-teman/menuju toko Harrods begitu lekas/sungguh mahal koleksi yang dijual/lantai demi lantai sampai hafal/akhirnya, aku beli sebiji pena/demi menulis sajak dan prosa/dengan sederhana dan apa adanya//karena kuingat pesan Kakek:/sesuatu yang berlebihan itu tak baik//.
Joko Pinurbo yang memberi kata pengantar buku Didik sampai bertanya: Mengapa di toko yang menyediakan barang-barang mahal itu si ”aku” memilih membeli sebiji pena? Kata Joko jelas pena berhubungan dengan menulis dan untuk bisa menulis orang harus berhenti. Di luar negeri, Didik dan Agus seperti ”berhenti”, mereka digenangi perasaan sendiri sepi dan jauh dari negeri sendiri.
Puisi bagi penyair sekaliber Agus R Sarjono memang seperti ladang ekstase. Karena itulah, ia rela jauh dari keluarga untuk mengikuti kata hati. Hari-hari belakangan ini ia sedang
berada di kota Wiepersdorf, sebuah kota kecil dan sunyi di Jerman. ”Ini seperti desa yang sunyi,” tulis Agus
dari kejauhan. Hari-harinya akan dihabiskan untuk berjalan menyusuri
kota dan kemudian berhenti untuk menulis puisi. Seromantis itukah para penyair?
Ada sisi romantisisme memang di balik kekerasan hati para penyair dalam menulis puisi. Intinya sebenarnya ada perasaan meledak-ledak yang segera harus dibagi kepada siapa saja yang peduli. Buat yang tidak peduli itu bukan masalah benar. Puisi akan terus ditulis selama orang-orang membutuhkan komunikasi lewat hati. Ia ibarat biografi yang ditulis dari kedalaman dasar nurani. Dan oleh sebab itu, penuh simbol, metafor, dan diksi yang mengundang debar. Siapa yang mengirim antologi berikutnya? Meja ini masih lapang buat menyimpan buku-buku dari para penyair, yang pemula atau yang karatan.