”Escape from Alcatraz” itu film yang dibintangi Clint Eastwood tentang pelarian dari penjara sangar di Pulau Alcatraz. Kami tidak lari dari Alcatraz, tetapi malah menuju pulau legendaris di Teluk San Francisco itu.
Suara mesin kapal menderu di tepian Pulau Alcatraz. Kedatangan kami pagi itu mengusik burung-burung camar yang bermain di dermaga. Mereka terbang menjauh, menuju bangunan-bangunan tua di atas bukit berbatu yang tandus.
Sejenak kapal bersandar, kami berjalan menuruni dermaga. Matahari belum lama muncul. Sinarnya hangat mengusir dinginnya udara pagi itu. Di ujung dermaga, sebuah papan peringatan berdiri menghadang kami. ”Hanya kapal pemerintah yang diizinkan masuk. Lainnya harus menjaga jarak sekitar 200 yard (182 meter). Tak seorang pun dapat menepi kecuali sudah mendapatkan izin.”
Memang, tidak sembarang orang di masa lalu dapat menginjak pulau seluas 9 hektar yang berjarak hanya 1 mil dari Dermaga 33, San Francisco. Perjalanan menyeberangi teluk itu ditempuh hanya 15 menit.
Alcatraz dibangun tahun 1859 sebagai benteng militer pasukan Amerika Serikat. Selama perang sipil Amerika (1861-1865), Alcatraz merupakan benteng terbesar di wilayah barat Sungai Mississippi. Angkatan darat mulai memindahkan persenjataan dari pulau itu pada 1907, kemudian mendesainnya sebagai penjara militer. Namun, lagi-lagi pulau ini hanya terakses untuk kalangan terbatas. Penjara mulai dibuka bagi narapidana sipil tahun 1934. Selama itulah Alcatraz dikenal sebagai satu-satunya penjara bersistem keamanan tertinggi dan memiliki fasilitas penjara terlengkap.
Kelas Berat
Seorang wanita penjaga penjara menyodorkan satu set perlengkapan audio kepada pengunjung. Penelusuran menjelajahi penjara pun dimulai. Kami dapat melihat seluruh blok yang pernah menjadi tempat mendekamnya para penjahat kelas berat Amerika.
Gedung tua itu berlantai empat. Salah satu bagiannya berisi ratusan sel berukuran 2 meter x 3 meter berderet di sepanjang blok. Di lantai pertama terdapat 4 blok sel bercat hijau muda. Masing-masing memiliki fasilitas tempat tidur kecil dan selimut, serta kakus dan wastafel.
Di antara lorong-lorong penuh sel tersebut, blok D tampak misterius. Blok ini dikenal sebagai sel isolasi bagi penjahat yang paling bandel, misalnya yang mencoba lari atau berkelahi di penjara. Para napi menempati sel tertutup, gelap, dingin, dan lembab. Jeruji sel ditutup dua rangkap oleh pintu besi sehingga tak memungkinkan seberkas cahaya masuk. Para napi menyebut ruang itu ”The Hole”, karena rasanya seperti mendekam di lubang bawah bumi. Hanya bila mereka mampu bertahan selama 19 hari dalam sel ini dapat kembali ke selnya semula. Pembunuh terkenal sekelas Robert Strout pernah tinggal di The Hole, sebelum kembali dan meneliti burung-burung Alcatraz yang membawa dunia mengenalnya lewat film Birdman from Alcatraz.
Seorang napi menceritakan pengalamannya lewat audio: Selama di blok D, kami tinggal dalam sel selama 24 jam sehari. Kami hanya dapat mandi dan berolahraga satu kali dalam sepekan. Udara dalam sel sangat dingin. Angin dari luar bertiup hingga ke dalam sel, tanpa penerangan sedikit pun. ”Satu-satunya cara untuk melihat cahaya adalah tutup matamu dan berkonsentrasilah.”
Di Alcatraz kini kita dapat merasakan lebih jelas bagaimana kehidupan para napi, mulai dari keseharian dalam sel dan ruang isolasi, barak makan, ruang penyimpanan senjata, dan ruang berkunjung. Puluhan kakus dan pancuran mandi berderet dalam ruangan besar, menunjukkan ketiadaan privasi dalam penjara. Salah satu yang menarik perhatian pengunjung adalah sel milik George Heck. Di dalam sel terdapat banyak lukisan dan karya seni miliknya selama mendekam dari tahun 1944-1952.
Pelarian
Kita juga diajak memahami bagaimana kehidupan para napi di pulau yang hanya berjarak 1 mil dari pusat kota San Francisco. Riuhnya musik dari seberang dapat terdengar hingga di pulau itu. Dari balik kaca bangunan, para napi dapat mengintip kerlap- kerlip kota dan Jembatan The Golden Gate yang tersohor itu persis di seberang pulau. Namun, itu semua tak mungkin dapat mereka datangi. Meski jaraknya dekat, gelombang tinggi di perairan dan dinginnya air diyakini tak mungkin dapat dicapai dengan cara berenang.
Tercatat setidaknya 15 kali upaya pelarian melibatkan 36 napi. Sebagian besar pelaku tertangkap atau tertembak mati petugas. Namun, dalam sejarah Penjara Alcatraz, satu-satunya upaya pelarian paling misterius terjadi pada Juni 1962. Pelarian itu dilakukan dua bersaudara Clarence dan John Anglin, serta Frank Morris yang merupakan perampok bank dan penjahat narkoba. Ketiganya merancang usaha pelarian selama sembilan bulan bersama napi lainnya, Allan West. Selama berbulan-bulan mereka membuat lubang pada bagian bawah dinding setiap sel untuk menerobos lubang ventilasi yang terhubung hingga bagian atap penjara.
Pelarian ketiga napi ini tak tercium. Hingga keesokan paginya, para petugas sipir berteriak memanggil napi yang masih terbaring di balik selimut. Petugas kaget membuka selimut, teronggok kepala boneka dari sabun di atas kasur. Ketiga napi itu sudah menghilang, sedangkan West tidak ikut dalam pelarian karena gagal keluar dari lubang di dinding kamarnya.
Kasus pelarian itu masih menjadi misteri hingga tahun 1990-an Biro Investigasi Federal tetap mencari ketiganya. Seiring berjalannya waktu, standar pengamanan dan fasilitas dalam penjara dinilai kian membebani keuangan negara. Jaksa Agung Robert Kennedy akhirnya menutup penjara itu pada 1963.
Pulau Alcatraz dimasukkan sebagai bagian dari area rekreasi nasional Golden Gate dan resmi dibuka kepada publik pada 1973. Alcatraz kini menjadi salah satu destinasi wisata tertinggi, dengan jumlah kunjungan hampir 1,5 juta wisatawan per tahun.
Wisatawan yang tertarik dengan kehidupan burung dapat menikmati ribuan camar barat, pelikan, dan sejumlah jenis lain singgah di sekitar pulau dan pantai. Kehadiran satwa itu sesuai nama yang diberikan penjelajah asal Spanyol, Jual Manuel de Ayala, saat berlayar menuju Teluk San Francisco pada 1775, yaitu ”La Isla de Los Alcatraces”, alias pelikan.
Sebuah keindahan di balik salah satu sisi kelam masa lalu Amerika.
(Irma Tambunan)
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 26 April 2015, di halaman 25 dengan judul “Melarikan Diri ke Alcatraz”