Harmoni Paduan Hati Eunice

0
1868

Dari baton, atau tangkai konduktornya, Eunice Tong menghadirkan indahnya paduan suara. Harmoni yang keluar dari paduan getaran hati. Nyanyian tanpa hati hanyalah bunyi-bunyi tanpa arti.

Sosoknya terkesan pendiam. Tetapi, anggota kelompok paduan suara yang dipimpinnya di Aula Simfonia Jakarta justru menyebutnya galak. Namun, semakin dalam perbincangan kami, kesan pendiam itu perlahan pudar.

Matanya terus berbinar manakala topik pembicaraan berpusar pada musik klasik, piano, dan pilihan hidupnya menjadi konduktor. Kalimat-kalimatnya seolah tak pernah putus menjawab berbagai pertanyaan. Kadang dia terdiam, mencari kata-kata yang pas, kadang tertawa tergelak, eh tapi menertawakan dirinya sendiri.

Eunice, perempuan kelahiran Malang, Jawa Timur, yang dibesarkan di keluarga religius dan pencinta musik ini, menguasai piano sejak kecil. Eunice fasih memainkan berbagai komposisi musik klasik karya komposer dunia.

”Dulu sih yang paling menarik Beethoven sama Mozart. Waktu mulai belajar piano, belajar lagu mulai dengan sonata-sonata Beethoven sonata, lalu sonata Mozart. Tapi, saya paling suka yang tekniknya tinggi kayak Chopin,” ujar Eunice.

Kami berbincang di Aula Simfonia Jakarta, sebuah gedung konser dengan sistem akustik yang prima, di bilangan Kemayoran. Gedung itu didirikan sang ayah, Stephen Tong.

Hingga usia remaja, Eunice masih terus terpikat pada piano dan musik klasik. Dia bahkan mengambil jurusan piano saat kuliah S-1 dan terpikir untuk melanjutkannya hingga level S-2.

”Tetapi, terus saya rasa, persiapan lulus kan harus dengan resital. Kalau piano saya rasa kok menyendiri sekali, latihannya saja paling tidak 10-12 jam per hari. Sepertinya saya tipe orang yang lebih sosial,” kata Eunice.

Di sisi lain, Eunice yang sejak kecil juga sudah kerap mengikuti koor jatuh cinta pada dunia tarik suara. Dia menemukan keindahan pada suara manusia yang harus dicapai dengan banyak perjuangan. ”Suara setiap orang berbeda dan enggak bisa kita kontrol. Yang bisa kita lakukan hanya mengarahkan. Beda dengan suara piano, meski suaranya bagus, beda sekali dengan suara manusia,” kata Eunice.

Dia ingat betul, hingga menjelang akhir pendaftaran S-2 pada Desember 2002, Eunice belum juga bisa memutuskan pilihannya. ”Saya mau ambil piano lagi karena dari kecil tahunya piano. Tapi, ketertarikan pada conducting juga muncul karena saat ambil kelas conducting, dosen-dosen bilang saya oke. Tapi, saya belum pede—percaya diri,” kenang Eunice.

”Saya mikir, pelayanan di gereja bisa membangun orang untuk pelayanan bersama. Kalau piano kan lebih individual, tidak melibatkan banyak orang. Kalau koor lebih ke kesaksian pujian, jadi lebih hidup,” kata Eunice yang kemudian mantap memilih menjadi seorang konduktor.

Baginya, koor sangat indah karena semua orang bekerja sama, tidak ada yang lebih mencolok. ”Yang suaranya lebih bagus, vibratornya lebih besar justru harus turn down. Kalau enggak, dia mencolok sendiri. Jadi setiap orang kerja samanya ada.”

Eunice pernah menjadi konduktor untuk 120 orang. Namun, saat ini, setidaknya jumlah anggota paduan suara yang dipimpinnya bertahan di kisaran 80-90 orang.

”Kesulitan yang paling terasa adalah mengenal setiap orang. Saya di depan, sebagai leader, tapi kalau enggak mengenal orang susah. Kayak mengajar tanpa menyayangi. Jadi saya harus bersosialisasi untuk memahami kelebihan setiap orang,” terang Eunice.

Eunice selalu menekankan agar setiap orang yang terlibat dalam paduan suara bernyanyi menggunakan hati. ”Kalau dia hanya mau menonjolkan diri sendiri, lagu apa saja yang dia bawakan akan sama saja. Tapi, kalau dia ada hati, untuk tunjukkan komposer punya mau, dan dia bergumul untuk itu, hasilnya akan lain,” kata Eunice.

Kompas/Lucky Pransiska
Kompas/Lucky Pransiska

Seperti teka-teki

Sempat merasa kesulitan saat pertama kali memulai, Eunice kini sangat menikmati profesinya. Dia juga kemudian merasa lebih percaya diri karena meski mengaku dirinya tak pintar berbicara, namun di depan paduan suara, Eunice bisa berubah 360 derajat.

”Di depan koor, saya bisa cerita atau menjelaskan sesuatu. Misalnya mereka perlunya digarapnya di mana, jadi kayak teka-teki gitu lho setiap kali. Ada keasyikan tersendiri,” ujar Eunice.

Dengan komposisi para anggota yang jarak usianya jauh, mulai belasan hingga 70 tahun lebih, Eunice memang menghadapi kendala. Namun, dia selalu menegaskan kedua belah pihak bisa saling belajar. ”Saya salut dengan para anggota yang sudah dewasa karena komitmen mereka meskipun dari sisi teknik kadang masih kurang. Justru yang muda harus terus belajar, jangan datang dan menganggap dirinya baik, pintar bisa baca not balok, tapi sikapnya buruk,’’ kata Eunice.

Dia tak keberatan dikatakan galak. Di balik sikapnya itu dia ingin para penyanyi belajar lebih keras karena banyak di antara mereka yang belum terbiasa membaca not balok. ”Sejak saya pegang, saya mulai ajari teori musik, jadi mereka mengerti latar belakangnya, enggak cuma nyanyi,” katanya.

Eunice tak pernah merasa inferior dengan pilihan profesinya. Menurut dia, selama seseorang mencintai bidang yang digeluti, dan melakukan yang terbaik, apa yang dipikirkan orang tidak seharusnya menjadi masalah. ”Semua harus dilakukan dengan hati. Tanpa hati, semua selesai,” ucapnya.

(Dwi As Setianingsih)

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 2 Agustus 2015, di halaman 17 dengan judul “Harmoni Paduan Hati Eunice”.