Aroma kopi wangi langsung menggoda selera begitu kaki menapak masuk pabrik kopi Aroma, Bandung. Berdiri pada tahun 1930 di sudut Jalan Banceuy, Bandung, sampai hari ini kopi Aroma masih menguarkan sedapnya kopi.
”Maoe minoem koffie selamanja enak? Aromanja dan rasanja tinggal tetep, kaloe ini koffie soeda di boeka dari kantongnja harep dipindahken di stopfles atawa di blik jang tertoetoep rapet.”
Begitulah petunjuk cara penyimpanan kopi yang tertera pada bungkus kopi Aroma, Bandung. Bungkus kopi menggunakan kertas minyak yang dirangkap plastik. Nama produk dan merek masih tertulis dengan ejaan seperti digunakan sejak 85 tahun lalu, yaitu Koffie Fabriek Aroma Bandoeng.
Bungkus itu merupakan jejak kecil dari pabrik kopi Aroma yang didirikan Tan Houw Sian pada tahun 1930. Jejak besarnya berupa pabrik, gudang, sekaligus toko yang berdiri di Jalan Banceuy 51, Bandung. Usaha itu kini dijalankan anak tunggal Tan Houw Sian, yaitu Widyapratama (62). Tampak depan kopi Aroma yang bergaya arsitektur art deco itu menjadi ”artefak rasa” kopi terus yang mengundang penikmat kopi.
Selasa (28/4) sekitar pukul 09.30, pembeli kopi sudah mengantre. Karyawan di toko sibuk melayani pembeli, sementara di belakang karyawan sibuk menggarang atau me-roasting biji kopi. Widyapratama, yang kami panggil Pak Widya, mengantar kami berkeliling pabrik. Tampak tumpukan karung kopi berusia antara 7 tahun sampai 8 tahun. Timbunan biji kopi itu berasal dari petani kopi, antara lain dari Preanger, Jember, Bengkulu, Lampung, dan Toraja.
Biji kopi itu tersimpan di Aroma selama sekitar 5 atau 8 tahun. Setelah dipetik, kopi akan disimpan oleh petani selama dua minggu. Sesampai di Aroma, kopi akan dijemur selama tujuh jam. ”Kami tidak menggunakan oven karena Tuhan sudah kasih kita sinar matahari yang mengandung sinar ultraviolet. Bayi kan juga dihangatkan dengan sinar matahari, tidak ada bayi yang di-oven, ha-ha-ha,” kata Widya.
Setelah penjemuran itu kopi akan disimpan selama lima tahun untuk jenis robusta dan delapan tahun untuk arabika. Dengan waktu penyimpanan selama itu, kadar air dan keasaman biji kopi akan menurun secara alami. ”Penyimpanan harus dengan karung goni karena ada sirkulasi udara.”
Widya menggunakan cara organik. Kopi ditanam tanpa pupuk berbahan kimia. Proses pembakaran tidak menggunakan gas atau oven, tetapi dengan limbah kayu karet. Biji kopi yang berwarna putih dimasukkan ke dalam bola besi yang diputar di atas tungku. Bola besi itu digarang di api warna kuning hasil pembakaran kayu karet. Sekitar dua jam kemudian terciumlah aroma wangi kopi. ”Penggarangan harus pelan-pelan supaya kopi wangi. Yang modern cuma perlu waktu 15 menit,” kata Widya yang ikut menangani penggarangan dibantu sejumlah karyawan.
Tidak ada yang instan di Aroma. Proses penjemuran, penyimpanan, dan penggarangan yang relatif lama tersebut, menurut Widya, secara hitung-hitungan matematika ekonomi memang tidak ideal. ”Kopi untuk masuk ke perut kan tidak boleh buru- buru. Tak boleh dipercepat,” kata Widya.
Kasih Sayang
Kejujuran dalam bekerja memang menjadi filosofi tukang kopi yang digariskan ayah Widya. ”Tujuan kami adalah mencari laba secara wajar. Itu semua untuk kelangsungan hidup perusahaan, untuk kesejahteraan karyawan, dan untuk menghasilkan produk spesial,” kata Widya yang adalah dosen di Fakultas Ekonomi Universitas Padjadjaran, Bandung.
”Jangan mengejar materi. Hidup kan tidak untuk itu saja. Hidup harus seimbang. Kalau kita berusaha secara tulus, ikhlas, dan bersih, rezeki pasti akan mengalir,” kata Widya yang menyumbangkan sebagian penghasilan pada Yayasan Bhakti Mitra Utama yang menyantuni para penyandang cacat ganda.
Prinsip usaha Aroma ia formulasikan dalam apa yang ia sebut sebagai 7 M yang terdiri dariMan, Metode, Material, Money, Mesin, Market, dan Manajemen. Ia memberi contoh tentang mesin yang sengaja menggunakan mesin ”konvensional” karena jika diganti, rasa kopi akan berubah. Mesin yang dioperasikan itu adalah mesin yang digunakan sejak 80 tahun silam. Ada dua mesin masing-masing berkapasitas menggarang 60 kilogram dan 100 kilogram kopi.
Untuk manajemen Widya menyebut menggunakan manajemen kasih sayang. ”Memimpin dengan kasih sayang. Kami mengajak petani menanam kopi yang baik agar pembeli bisa menikmati kopi enak dengan harga murah,” kata Widya.
Seperti diajarkan sang ayah, Widya juga tidak menggunakan perantara dalam pembelian kopi. Ia langsung membeli dari petani sehingga bisa menekan harga jual ke konsumen. Untuk jenis arabika kemasan 250 gram misalnya dijual dengan harga Rp 20.000. Adapun untuk robusta kemasan 250 gram dipatok Rp 15.000.
Jejak kerja keras selama lebih 85 tahun itu tampak dari sepeda kayuh yang dipasang di tembok pabrik. Sepeda itu dulu digunakan ayah Widya untuk mengurus usaha perkopian. Widya ikut aktif membantu kerja sang ayah sejak tahun 1971. ”Saya mulai bantu sebagai kenek.”
Widya kini dibantu istrinya, Maria Lousa, dan putri bungsunya, Hilda (26). Anaknya yang lain adalah Monica dan Adelia. Sebagai ”pemegang kekuasaan” di kopi Aroma, Widya menyerahkan urusan keuangan kepada istrinya. ”Supaya godaan setan tidak datang, he-he-he.”
Yang tidak pernah hilang adalah sedapnya aroma kopi. Kepada setiap pembeli, Widya dan karyawan akan menjelaskan cara menyeduh kopi. ”Karena ini kopi tua, maka harus diseduh dengan air panas 100 derajat….” Ah….
(Frans Sartono)
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 2 Mei 2015, di halaman 30 dengan judul “Filosofi Tukang Kopi dari Banceuy”