Ketika para jurnalis kesulitan mengambil gambar Hercules C-130 yang jatuh di Jalan Jamin Ginting Medan, Yudha Lesmana Pohan mengakalinya dengan menggunakan multirotor. Fotonya kemudian menghiasi halaman utama sejumlah media massa.
Multirotor sebenarnya mengacu pada drone yang kini tengah mewabah di kalangan pencinta remote control ataupun fotografi. Namun, Multirotor Medan lebih sreg menggunakan istilah multirotor karena itu lebih pas. ”Kalau drone itu pesawat tanpa awak yang sepenuhnya dikendalikan secara komputerisasi. Sementara multirotor masih menggunakan manusia dan remote control. Kami lebih sreg memakai istilah multirotor atau multicopter,” kata Azhari (33), salah satu pengagas berdirinya komunitas Multirotor
Medan.
Azhari menjelaskan, banyak penghobi multirotor tidak sepenuhnya paham kode etik menggunakan alat canggih itu. Sebab, saat ini memang belum ada sosialisasi yang memadai mengenai multirotor. Multirotor Medan digagas untuk menjembatani itu.
Yudha memilih strategi itu karena sebelumnya sudah mendapat beberapa informasi mengenai kerawanan mengoperasikan multirotor di wilayah krisis. Yudha dan anggota Multirotor Medan semakin paham rambu-rambu yang harus dipatuhi jika tak ingin berurusan dengan aparat. Rambu tersebut antara lain tidak menerbangkan multirotor si atas ketinggian 150 meter. Jika di atas ketinggian tersebut, harus mendapat izin dari otoritas penerbangan setempat atau dianggap terbang secara ilegal yang berkonsekuensi secara hukum.
Selain itu, mereka juga dilarang menerbangkan multirotor di atas wilayah privasi orang atau perusahaan. Ini sangat penting karena dengan kecanggihannya, multirotor dapat dengan mudah disalahgunakan. Ini juga untuk menghindari masalah dengan pihak lain yang bisa saja merasa terganggu.
Berbagai keuntungan
Multirotor Medan terbentuk bermula dari komunikasi secara daring para penghobi multirotor. Baru pada Juni lalu mereka bertatap muka dilanjutkan petemuan rutin sepekan sekali untuk menerbangkan multirotor. Biasanya mereka berbagi tentang informasi multirotor yang baru dirilis atau mengenai keluhan-keluhan selama latihan penerbangan.
Anggotanya berasal dari berbagai latar belakang, seperti videografer, fotografer, dan jurnalis televisi. Motifnya pun beragam, mulai sekadar mencari kesenangan sampai untuk meningkatkan keterampilan guna menunjang pekerjaan. Jumlah anggota mereka masih belasan orang, tetapi terus mengajak pemilik multirotor bergabung untuk berbagi. ”Barang kali bersedia diskusi tentang etika mengoperasikan multirotor atau tentang kendala teknis. Kami siap,” kata Azhari.
Mereka biasanya berkumpul di lapangan Taman Setiabudi Indah Medan, Lapangan Universitas Sumatera Utara, atau Candika Medan. Ada yang sekadar mencari kesenangan. Ada juga yang meningkatkan keterampilan untuk menunjang profesi.
Sebutlah Jhony Siahaan (52), fotografer yang sudah hampir setahun mengakrabi multirotor. Dia tertarik bergabung dengan Multirotor Medan untuk meningkatkan kemampuan mengendalikan benda yang bisa terbang itu. ”Dengan multirotor ini, banyak klien yang senang dengan hasil kerja saya karena foto-foto yang dihasilkan terlihat baru dari sisi sudut pandang,” ujar Jhony.
Dengan bantuan multirotor, seorang fotografer ataupun videografer dapat mengabadikan gambar dengan sudut pandang mata elang. Sudut-sudut yang selama ini sulit dijangkau dengan kamera tangan kini dengan mudah diambil dengan bantuan multirotor. Kebetulan Jhony sangat sering memotret Danau Toba. Dengan multirotor, dia dapat mengambil gambar dengan posisi kamera belasan meter di atas danau, sesuatu yang mustahil dia lakukan sebelumnya.
Zen Setia, anggota multirotor, menjelaskan, jasa pengguna multirotor banyak digunakan untuk pemetaan tempat, pernikahan, ataupun pembuatan profil perusahaan.
Meski demikian, Multirotor Medan selalu siap melakukan misi-misi sosial. Mereka tak akan menarik tarif jika dibutuhkan untuk urusan kemanusiaan atau keilmuan, seperti penelitian atau pemetaan daerah rawan bencana. Mereka mencoba mendayung kesenangan sekaligus sisi kemanusiaan.