Berawal dari ”mailing list”, komunitas para alumnus Swedia di Indonesia kini sudah menjadi sebuah ”paguyuban”. Tujuan awal komunitas ini sederhana saja; memelihara kenangan ketika pulang ke Tanah Air, membangun jaringan sembari mencoba memperkenalkan Swedia di Indonesia.
Tak seperti ikatan alumnus negara-negara ”arus utama” yang sudah mapan, sebagai sebuah organisasi, Alumni Swedia di Indonesia masih berusia seumur jagung. Komunitas ini baru terbentuk tahun 2013. Jumlah anggotanya pun masih relatif sedikit. Hingga awal 2014, baru ada sekitar 123 alumnus yang terdaftar dalam basis data Alumni Swedia. Jumlah itu diperkirakan jauh lebih kecil ketimbang jumlah orang Indonesia yang pernah bersekolah di negeri para Viking. Meski begitu, bagi anggota dan pengurus komunitas Alumni Swedia, komunitas yang terbilang masih ”mini” tak melulu berarti negatif.
”Justru karena masih kecil, hubungan antaranggota jadi begitu cair dan dekat,” ujar Juliana Harsianti (40), anggota Alumni Swedia, Kamis (23/7).
Malam itu, Juliana dan beberapa pengurus Alumni Swedia tengah fika alias kongkow sembari menyeruput kopi di sebuah kedai kopi di Pondok Indah Mall, Jakarta. Fika merupakan istilah dalam bahasa Swedia yang merujuk minum kopi sembari mengudap penganan. Tak sekadar menyeruput kopi, dalam budaya Swedia, fika juga berfungsi membangun ikatan sosial lantaran digunakan untuk bersosialisasi.
Selain bertemu untuk fika, Alumni Swedia rutin menggelar diskusi sekali tiap tiga bulan. Temanya macam-macam, sesuai dengan latar belakang para alumnusnya, mulai dari pendidikan anak usia dini, transportasi perkotaan, sampai technopreneurship alias kewirausahaan di bidang teknologi informasi. Para pematerinya merupakan anggota Alumni Swedia, sedangkan audiens-nya selain anggota komunitas, juga para kenalan. Lokasi kegiatan biasanya berpindah-pindah, terutama di rumah makan.
”Tapi kami biasanya bayar makanan sendiri-sendiri,” ujar Erlangga Arfan sembari tertawa. Ketua Alumni Swedia 2015-2017 itu lulus dari Chalmers University of Technology pada 2006. Ia menambahkan, komunitas Alumni Swedia masih bermodal saweran anggota.
Dalam diskusi itu para pemateri berusaha memaparkan apa yang mereka pelajari di Swedia sekaligus memetik contoh positif dari Swedia, lalu membumikannya dalam konteks Indonesia. Dengan kata lain, mereka mencoba mencari hal-hal yang memungkinkan untuk diterapkan di Indonesia.
Soal inovasi, misalnya, Swedia sungguh maju. Padahal, jumlah penduduknya, kata Erlangga, hanya sekitar sembilan juta jiwa. Jumlah penduduk Swedia hampir setara dengan jumlah penduduk Provinsi DKI Jakarta pada malam hari. Negara ini terkenal sebagai produsen mobil Volvo. Tidak hanya itu, Swedia juga dikenal mampu memproduksi pesawat tempur.
”Kami ingin memperkenalkan Swedia di Indonesia, terutama pola berpikirnya,” kata Erlangga.
Swedia terkenal dengan sistem organisasinya yang cenderung datar. Dengan begitu, hubungan antara pimpinan dan karyawan lebih cair. Hal ini memungkinkan pertukaran ide menjadi begitu mudah. Diskusi pun hidup. Jarang sekali ada diskusi yang sekadar ”asal bapak senang”. Ini pula yang diyakini menjadi lahan subur tumbuhnya inovasi.
Membantu mahasiswa
Bagi Kedutaan Besar Swedia di Jakarta, komunitas alumni ini merupakan mitra. Amreta Sidik, petugas bidang informasi Kedutaan Besar Swedia di Jakarta, menuturkan, Duta Besar Swedia selalu menyampaikan bahwa para alumnus Swedia di Indonesia sebenarnya merupakan ”duta” Swedia yang sesungguhnya karena mereka mengenal Swedia dan Indonesia sekaligus. Ia mencontohkan, seorang alumnus di Yogyakarta menginisiasi kerja sama pengolahan sampah menjadi listrik antara Borås di Swedia dan Yogyakarta.
”Alumni juga kerap membantu promosi pendidikan. Justru pengunjung lebih banyak bertanya ke alumni karena mereka dinilai pernah mengalami sendiri. Kepercayaan pengunjung juga jadi lebih besar,” tutur Amreta.
Alumni Swedia juga tak hanya terlibat di pameran pendidikan. Menjelang keberangkatan mahasiswa Indonesia ke universitas-universitas di Swedia, Alumni Swedia juga menggelar pembekalan. Isi pembekalan tersebut lebih pada hal-hal yang praktis, semisal bagaimana cara mencari akomodasi, tip beradaptasi dengan lingkungan baru, dan tips mencari toko kebutuhan harian yang murah di kota tempat mereka tinggal.
Pembekalan tersebut bisa menyediakan informasi yang detail karena Alumni Swedia membagi diskusi per wilayah. Semisal, mahasiswa yang akan berangkat ke Lund bertemu dengan alumni dari Lund, sedangkan mahasiswa di Stockholm bertemu alumni dari Stockholm. Kegiatan ini berlangsung tanpa pungutan bayaran, tetapi para peserta harus membayar makan dan minum sendiri-sendiri.
Primadi (33) ingat betul betapa berguna panduan yang diberikan alumni pada saat ia hendak berangkat ke Jönkoping, Swedia, pada tahun 2009. Ia setahun mengikuti pertukaran pelajar di Jönkoping Universtiy. Ketika itu, Alumni Swedia masih berbentuk ”milis alumni”, belum menjadi sebuah paguyuban. Primadi pun banyak bertanya soal cara mengurus izin tinggal, akomodasi, dan meminta kontak Persatuan Pelajar Indonesia di Swedia.
”Manfaatnya bisa dapat jaringan sejak dini dan jalan-jalan keliling gratis (akomodasi) he-he-he,” tuturnya.
Sekembalinya dari Swedia, Primadi mendapati wadah alumni membantunya ketika menghadapi masa-masa readaptasi dengan lingkungan di Indonesia. Tinggal selama setahun di Swedia mengubah sebagian cara pandang dan pola hidupnya. ”Saya tertolong dengan saling berbagi pengalaman yang sama (dengan alumnus lain),” tutur Primadi.
Mengembangkan alumni
Erlangga mengaku, para pengurus Alumni Swedia mempunyai mimpi besar untuk pengembangan komunitas ini di masa mendatang. Ia sungguh berharap Alumni Swedia mampu membuat kompetisi inovasi bagi para pelajar Indonesia. Hal ini akan menjadi sumbangsih Alumni Swedia untuk mendorong inovasi di Indonesia. Namun, ia mengakui komunitas yang dinakhodainya masih menghadapi keterbatasan tenaga dan sumber dana.
Oleh karena itu, ia berharap orang-orang Indonesia yang pernah menempuh pendidikan di Swedia yang belum tahu soal komunitas para Alumni Swedia ini bisa turut bergabung. Salah satu cara yang bisa ditempuh dengan menghubungi melalui situs web Alumni Swedia di http://alumniswedia.org/.
”Kami sangat terbuka menyambut para alumnus karena kami juga membutuhkan lebih banyak sumber daya manusia,” tuturnya.
(Antony Lee)
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 28 Juli 2015, di halaman 24 dengan judul “Memelihara Kenangan, Membangun Jaringan”.
Comments are closed.