Menikmati Jazz, Menyayangi Bromo

0
1392

”I Love Jazz, I Love Bromo”. Itu ungkapan pencinta jazz yang tertoreh pada spanduk yang direntangkan para Sahabat Bromo di lautan pasir Bromo, Jawa Timur, Sabtu (13/6). Begitulah Jazz mengajak penikmatnya mendekati, mengenal alam, dengan segala problemanya.

Pukul 03.30, hari masih gelap dan dingin di Desa Wonotoro, Kecamatan Sukapura, Kabupaten Probolinggo, Jawa Timur. Namun, saat itu puluhan jip tua Toyota Land Cruiser dengan perkasa merambati punggung gunung di kawasan Taman Nasional Bromo Tengger Semeru. Sepagi itu ratusan orang menyerbu puncak Penanjakan I dan Penanjakan II untuk menyongsong matahari terbit.

Saat yang ditunggu pun tiba. Matahari merekah di ufuk timur. Pelan-pelan sinarnya merambat. Pantulan cahanya menerangi lautan pasir, bukit-bukit, Gunung Batok, Gunung Widodaren, Gunung Bromo, dan Gunung Semeru. Itulah teater alam yang menakjubkan. Dan sinar matahari pagi adalah tata cahaya, lighting pentas teater akbar itu. Puncak-puncak Bukit Penanjakan itu adalah balkon alam tempat para penonton (turis) menikmati tontonan semesta. Pengunjung ramai berfoto-foto, ber-selfie ria, dan langsung berkirim foto-foto tersebut kepada teman-teman mereka.

Begitulah kawasan sekitar Bromo menjadi tujuan ribuan manusia. Belakangan Bromo makin populer dan makin banyak diserbu pengunjung. Taman Nasional Bromo Tengger Semeru mencatat pada tahun 2014 Bromo dikunjungi sebanyak 550.000 wisatawan. Bromo sendiri dikunjungi sekitar 450.000 orang per tahun. Bromo memang laris, tetapi alam diam- diam menangis.

Pasir berpola, ”seni rupa” agung karya sang alam itu, terinjak-injak ribuan kaki pengunjung, terlindas roda-roda kendaraan bermotor. Sigit Pramono, bankir dan fotografer itu, pada awal era 2000-an masih bisa menikmati keindahan pasir berpola dan mengabadikannya di buku fotografinya, Majestic Mystical Mountain. ”Sekarang saya tak bisa temukan lagi pasir berpola. Alam membentuk pola-pola itu lama sekali, tetapi sekarang rusak oleh manusia,” kata Sigit.

Sarmin S Hut selaku Kepala Wilayah I Balai Besar Taman Nasional Bromo Tengger Semeru menengarai hal tersebut akan mengakibatkan pemadatan pasir. Pada gilirannya akan berdampak mengurangi penyerapan air. Begitu pula keindahan savana, padang rumput yang begitu indah bagaikan karpet semesta itu juga terinjak-injak. Sampah menjadi dampak ikutan dari membanjirnya pengunjung. Pernah dalam suatu operasi pembersihan di sekitar kawah Bromo, menurut Sarmin, terkumpul dua truk sampah non-organik.

Menurut Sarmin, Bromo sebagai bagian dari kawasan konservasi seharusnya dikelola dengan pembatasan pengunjung. ”Tetapi di sini telah terjadi mass tourism. Kami akan menata supaya tidak terjadi kapasitas pengunjung yang berlebih,” kata Sarmin.

Membeludaknya pengunjung pada waktu-waktu tertentu juga mengakibatkan penumpukan orang di titik-titik tertentu. Hal tersebut selain akan mengganggu penikmatan keindahan juga berbuntut pada kemacetan panjang.

”Perlu tindakan untuk menyelamatkan tempat yang indah ini. Karena kalau tidak, mungkin 10 atau 15 tahun mendatang kita akan melihat Bromo yang berantakan,” kata Sigit Pramono.

Sahabat Bromo

Sebuah langkah simbolik untuk menyelamatkan Bromo pun diambil oleh komunitas yang menamakan diri sebagai Sahabat Bromo yang dibentuk tiga tahun lalu. Mereka terdiri dari beragam elemen, termasuk anggota Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI), para pelaku usaha penyewaan jip, kuda, ojek, juga pelajar, TNI, dan wisatawan.

Belakangan ikut bergabung pula para penikmat jazz yang datang ke Jazz Gunung, perhelatan musik yang digagas Sigit Pramono, dan digelar sejak tahun 2009 di Amphi Teater di kompleks Java Banana Bromo Lodge, Cafe & Gallery, di Wonotoro, Sukapura, Probolinggo. Sebulan sekali Sahabat Bromo melakukan aksi bersih-bersih gunung. Bersamaan dengan perhelatan Jazz Gunung, Sabtu lalu, Sahabat Bromo mengajak para penyuka jazz untuk membersihkan kawasan sekitar Bromo. Bagas Indyatmono, Ketua Sahabat Bromo, mencatat sekitar 100 orang penikmat Jazz Gunung turut serta dalam acara bersih gunung tersebut.

Di antara penyuka jazz yang mengikuti aksi Bersih Gunung itu adalah Erna Permana (27) beserta sang suami. Karyawan bank di Jakarta itu ikut berpanas-panas menyusuri lautan pasir untuk memunguti sampah. ”Harapannya, semoga dapat menciptakan kesadaran kita untuk lebih mencintai alam,” kata Erna.

Mereka tampak antusias menikmati jazz dan alam sekitar Bromo. Setidaknya hal itu terbaca dari ungkapan yang tertera dalam spanduk. ”Saya suka jazz dan saya suka dengan alam. Ini perpaduan menarik dan jarang. Saya ingin ikut andil menjaga alam Indonesia,” kata Fincent Ehud Lawrensa dalam spanduk Sahabat Bromo.

Penonton Jazz Gunung bergabung dengan sekitar 500 peserta yang berjalan menyisir dari pintu gerbang Cemoro Lawang, melintasi lautan pasir, hingga ke kawah Bromo. Mereka memunguti sampah non-organik di sepanjang lintasan. Di tengah indahnya lautan pasir itu didapati botol dan gelas plastik kemasan air mineral, botol bir, bungkus makanan, kantong keresek.

Ikut bergabung dalam aksi tersebut adalah para pelajar berikut guru pembimbing SMP, SMA, dan SMK dari Probolinggo, termasuk Paiton, Gending, Tongas, Leces, dan Sumber Asih. ”Di sekolah kami, tak ada makanan dalam bungkus plastik. Semua dari bahan organik,” kata Siti Mutmnainnah, guru SMPN 2 Sumber Asih.

”Mereka 10 atau 15 tahun ke depan akan menjadi para pengambil keputusan. Alangkah baiknya kalau mereka mempunyai wawasan lingkungan,” kata Tino, guru dari SMK Sumber Asih, yang mengajak murid-muridnya mengikuti aksi tersebut.

Di lautan pasir, di tengah terik matahari Sahabat Bromo mengadakan bincang-bincang dengan penyayang alam, Sha Ine Febriyanti. Ine menceritakan bagaimana keluarganya tidak lagi menggunakan plastik dan kertas tisu. Ine juga mengajak putrinya naik gunung dan memunguti sampah semampunya. ”Mengambil satu sampah itu melakukan satu kebaikan,” kata pemain teater itu.

Penyelamatan

Tindakan Bersih Gunung itu memang baru langkah awal. Ia menjadi gerakan simbolik untuk menumbuhkan kesadaran bahwa Bromo harus dijaga. Sigit Pramono yang mengenal benar kawasan Bromo mengusulkan perlunya pengaturan jumlah pengunjung agar pada satu waktu tidak terkonsentrasi pada satu titik. ”Misalnya, pada hari pertama diatur pengunjung datang di titik pandang Penanjakan I. Jumlahnya dibatasi sesuai kapasitas tempat parkir dan kenyamanan orang melihat supaya orang benar-benar bisa menikmati,” kata Sigit.

Dia juga mengusulkan adanya satu pintu gerbang yang saling terhubung atau one gate system. Selama ini Bromo bisa diakses dari empat pintu masuk, masing-masing di empat kabupaten yaitu dari Probolinggo, Pasuruan, Lumajang, dan Malang. Selama ini di antara pintu masuk tersebut belum terkoordinasi dalam pengaturan jumlah pengunjung. Prinsipnya adalah siapa yang datang terlebih dahulu itu yang mendapat kesempatan pertama dan seterusnya.

Sigit juga mengusulkan adanya pemasangan patok-patok pembatas untuk melokalisasi jalur kendaraan bermotor pengunjung, terutama pada lautan pasir dan savana. Dengan begitu, lautan pasir dan savana tidak diacak- acak.

”Kalau orang mau ke laut pasir atau ke savana bisa naik kuda atau jalan kaki,” tutur Sigit.

Dia yakin, pengaturan dan pembatasan tersebut tidak akan mengurangi rezeki para pelaku usaha di kawasan Bromo, tetapi justru diharapkan akan meratakan kemakmuran. Selain itu, kata Sigit, dengan penataan itu orang akan lebih nyaman menikmati keindahan Bromo. ”Seperti kita menonton teater di gedung kesenian, tetapi ini teater alam di alam terbuka,” kata Sigit Pramono.

Teater agung sang Bromo yang terlalu sayang untuk dibiarkan bubar dan tutup layar….

OLEH FRANS SARTONO


Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 21 Juni 2015, di halaman 24 dengan judul “Menikmati Jazz, Menyayangi Bromo”.