Band Payung Teduh mengeluarkan album perdana berjudul sama dengan nama band mereka pada 2010. Namanya semakin santer jadi perbincangan setelah meluncurkan album kedua Dunia Batas, dua tahun kemudian lewat label Ivy League. Album itu diproduseri Ramondo Gascaro, musisi solo yang pernah bergabung di band Sore. Tak disangkal ada warna pop vintage ala Sore di album itu.
Album Dunia Batas itu semacam pintu gerbang bagi Istiqomah Djamad (vokal, gitar), Abdul Aziz Turhan alias Comi (kontrabas), Alejandro Saksakame alias Cito (drum), dan Ivan Penwyn (gitalele). Jadwal pentas mereka makin sering, berkelindan dengan kesibukan masing-masing personelnya mencari nafkah, seperti Istiqomah yang mengajar musik dan Comi yang jadi dosen.
Is, panggilan Istiqomah, memulai perjalanan band ini saat kerap mengisi departemen musik untuk pementasan Teater Pagupon bersama Comi sekitar 2007. Mereka berdua juga sering mengisi waktu senggang dengan bermusik di kantin kampus Universitas Indonesia. Dalam perjalanannya, mereka lantas merekrut Ivan, untuk bermain gitalele, alat musik perpaduan antara gitar dan ukulele. Dari instrumen inilah terdengar warna Payung Teduh yang agak berkeroncong. Cito kemudian masuk untuk melengkapi kebutuhan band.
Liriknya puitis, banyak yang berlatar senja dan malam. Sebagian besar lirik ditulis Is. Ia bercerita tentang hubungan percintaan dari beragam dimensi dengan lembutnya. Simak saja tembang ”Angin Pujaan Hujan” ataupun ”Untuk Perempuan yang Sedang dalam Pelukan”.
Hampir setiap akhir pekan mereka berpentas. Selain mengunjungi kota-kota di Indonesia, mereka juga pernah manggung di Jepang. Bahkan, menjawab pertanyaan pembaca, pentas di Jepang itu memberi kesan tersendiri bagi Payung Teduh.
[soundcloud]https://soundcloud.com/payung-teduh-official[/soundcloud]
Belakangan ini, Payung Teduh sedang menggarap album ketiga mereka. Menurut Comi, ada delapan lagu yang selesai direkam, dan menunggu proses mixing serta penambahan bunyi instrumen untuk memperkuat nuansa. Ia belum memastikan berapa jumlah lagu yang akan dimasukkan di album itu.
”Kali ini, kami ingin mencoba memproduseri sendiri album baru nanti. Rencana awalnya akan diluncurkan di kuartal pertama 2015 ini, tapi seperti ada penundaan sedikit,” kata Comi.
Di album baru nanti, yang belum diberi judul ini, Payung Teduh masih bercerita tentang romansa yang tak hanya antarkekasih, tapi juga di dalam keluarga dan cinta pada lingkungan. Sebelum menunggu album terbaru mereka, simak tanya-jawab pembaca Kompas dengan mereka berikut ini.
Di mana saya bisa mendapatkan CD Payung Teduh di Bandung? Selama ini hanya bisa mendengarkan dari Youtube.(Dicky Wahyu)
Distribusi album di luar kuasa kami. Jujur kami kurang tahu perkembangan distribusi CD. Tapi yang sering kami dengar, CD kami dijual di Omuniuum, Bandung. Bisa kontak mereka melalui akun media sosial.
Apa genre musik Anda dan mengapa memilihnya? (Sunandar, Mahasiswa Agroteknologi-FPP Universitas Muhammadiyah Malang)
Sampai saat ini kami tidak menentukan jenis musik atau genre. Kami menyerahkan sepenuhnya kepada pendengar.
Mengusung musik lembut dan lirik puitis membuat Payung Teduh memberi warna baru bagi khazanah musik Indonesia. Apa rencana Payung Teduh ke depan untuk tetap eksis di belantika musik Indonesia? (Faris Yursanto, Universitas Lampung, Bandar Lampung)
Supaya tetap eksis, kami terus berkarya saja karena karya yang menjadikan eksistensi.
Bagaimana tanggapan kalian jika saat tampil, suara penonton yang ikut bernyanyi lebih nyaring daripada suara vokalis sendiri? Bagaimana mengatasinya? (Udji Kayang Aditya Supriyanto, Surakarta)
Dengan begitu, kami tentunya senang. Tidak bisa digambarkan dengan kata-kata karena penonton sangat antusias merespons lagu kami. Tidak jarang kami berhenti membunyikan alat musik untuk mendengar penonton bernyanyi bersama.
Siapa orang yang paling berkesan yang ikut membantu membangun kemajuan grup musik Payung Teduh? (Nurfatun Munawarah, Universitas Proklamasi 45, Yogyakarta)
Yang paling berkesan bagi kami adalah teman-teman, keluarga, dan semua yang terlibat selama pembuatan album, terutama akar kami bermula, yaitu Teater Pagupon Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya UI. Dari kelompok teater itulah kami berkembang.
Sebagai mahasiswa dari universitas ternama di Indonesia dan sekaligus pemain band, tentu jadwal kuliah dan jadwal pentas sering bertabrakan. Di sisi lain, sekarang pemerintah sudah memberlakukan peraturan menuntut ilmu di bangku kuliah maksimum lima tahun. Mana yang didahulukan oleh grup Payung Teduh, jadwal ujian atau jadwal pentas yang menjanjikan keuntungan finansial yang berlimpah. Pertanyaan ini penting karena masyarakat Indonesia masih mengagumi seorang penyanyi tenar sekaligus sarjana dari universitas ternama. (Arundati Shinta, Yogyakarta)
Masa kuliah kami sudah lewat lama, sebetulnya. Kami angkatan 2002, dan yang paling muda angkatan 2006, yaitu Ivan. Kami hanya mengatur jadwal sebisa kami. Kalau bertabrakan dengan pekerjaan inti kami, mau tidak mau kami tidak manggung.
Dear Kompas, mau tanya nih untuk Payung Teduh. Apa makna dari lagu ”Kita adalah Sisa-sisa Keikhlasan”? (Dwi Kurnianto)
Maknanya adalah kita harus ikhlas, dan tidak ada kata ”tapi”.
Payung Teduh ini, kan, ibaratnya mempunyai misi ”meneduhkan”. Apa dasar Anda mempunyai misi tersebut dan bagaimana respons listener sejauh ini? Menurut Anda, apa yang membuat grup Anda berbeda dari yang lain? (Hana Lutfi A)
Kami tidak membangun image tersendiri. Karakter kami muncul begitu alamiah. Prinsip meneduhkan tidak kami rancang atau karang. Respons pendengar tidak kami bayangkan sebelumnya. Bagi kami, sering manggung itu adalah efek dari respons pendengar, misalnya. Kalau pendengar tidak antusias, tidak mungkin kami seperti sekarang.
Seberapa dekat hubungan Payung Teduh dengan band Sore, sebagai band dan pribadi personel? Apakah lagu ”Menuju Senja” sengaja ditujukan untuk band Sore? Apa makna lagu itu bagi hubungan Payung Teduh dan Sore? Terima kasih. (Adi Wiyono, Surabaya)
Kami memang berteman dan saling mendukung. Sore adalah band yang sangat inspiratif. Lagu ”Menuju Senja” dari kami, contohnya, seolah-olah melanjutkan lagu ”Setengah Lima” milik band Sore.
Ada beberapa pertanyaan untuk Payung Teduh. Apakah lagu-lagu yang dibuat oleh Payung Teduh berdasarkan kisah nyata yang pernah dialami salah seorang personel? Terinspirasi dari manakah nama Payung Teduh? Adakah keinginan Payung Teduh untuk berkolaborasi dengan musisi lain? Di manakah penampilan Payung Teduh yang sangat berkesan dan selalu diingat? (Anisah Novitarani, Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, Semarang)
Ya, lagu Payung Teduh dibuat berdasarkan kisah nyata. Nama ”Payung Teduh” adalah pemberian dari teman. Tentu saja kami ingin berkolaborasi dengan musisi lain. Semua pentas berkesan, tapi mungkin pentas di Jepang lebih berkesan karena penonton Jepang ikut antusias.
Dari mana inspirasi membuat lagu berasal? Dan mengapa bisa sampai sedalam itu arti dari liriknya? (Auliya, Bekasi)
Inspirasi dalam penulisan lagu kami berasal dari keluarga, lingkungan, momen, dan lain sebagainya.
Terima kasih Kompas menjadikan Payung Teduh sebagai tokoh pilihan Kompas Kita kali ini. Saya adalah penggemar mereka. Pertanyaan saya untuk mereka, mana pentas yang paling berkesan dari semua pentas kalian? Adakah kota di Indonesia dan luar negeri yang ingin dikunjungi dan berpentas, dan apakah ada alasan khusus? Misalnya, kalian membuat konser khusus untuk penggemar Payung Teduh yang setia mengikuti kalian, bagaimana konsep konser yang kalian inginkan? (Aniesa Norma Dantie)
Pentas yang paling berkesan adalah saat kami meluncurkan album untuk pertama kali di halaman kantin Fakultas Sastra UI. Negara yang ingin kami kunjungi dan berkonser di sana, kemungkinan adalah Jepang. Sudah ada pihak yang mewacanakan itu. Kami ingin membuatkan konser untuk penggemar yang berkonsep teatrikal dan intim dengan penonton.
Mengapa Payung Teduh di dalam sejumlah lirik lagunya kerap memakai tema malam, apakah karena malam mewakili suatu kesunyian puitis? Mengapa lirik-lirik Payung Teduh begitu puitis? Apakah karena sering membaca buku-buku sastra dan filsafat? (Aldo Fernando, Universitas Padjadjaran, Bandung)
Tanpa kami sadari, banyak lagu yang tercipta karena terinspirasi dari indahnya malam. Lirik kami sedemikian rupa, mungkin karena kami dari teater kumpulan anak sastra dan penikmat sastra.
Pertama dengar lagu ”Untuk Perempuan yang Sedang dalam Pelukan” langsung jatuh cinta sama lagu yang supersyahdu itu. Kalau boleh tahu, siapa perempuan spesial yang menjadi inspirasi hingga tercipta lagu itu? Terima kasih. (Ninda Kusuma)
Inspirasinya dari anak dan istri Is yang sedang tertidur lelap.
Mengapa Payung Teduh sebagai kelompok musik yang sedang naik daun dan laku di acara pentas seni (pensi) tetap bertahan di jalur atau label independent (indie)? (Cleovano Reinhard)
Karena dari awal kami memang ingin ada di jalur indie.
Bagi Payung Teduh, terutama penulis liriknya, kapan saat paling tepat untuk menulis lagu? Bagaimana penciptaan lagu kalian? (Ardi)
Saat yang paling tepat untuk menulis lagi tidak bisa ditargetkan, mengalir begitu saja. Dari lirik dan nada yang muncul, kami akan jamming, lantas menggubahnya.
Menurut saya, lirik lagu kalian terdengar sangat sastrawi. Apa literatur sastra yang paling berpengaruh bagi personel Payung Teduh? Bagaimana membagi waktu antara kesibukan kerja sehari-hari, bermusik, dan membaca karya sastra? (Yopi Firmansyah, Sukabumi)
Literatur yang paling berpengaruh adalah naskah-naskah pementasan Teater Pagupon Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya. Dari situ banyak tercipta lagu. Dari awal, Is dan Comi bertemu sebagai pemusik di kelompok teater itu. Lagu ”Resah”, misalnya, tercipta dari naskah pementasan. (hei)