Kita adalah apa yang kita makan. Masa depan kesehatan tubuh kita ditentukan oleh apa yang kita konsumsi dulu dan kini. Tak hanya itu, apa yang kita makan kini turut menentukan kualitas manusia yang akan datang. Sayangnya, sebagian dari kita tidak sadar tentang hal itu.
Globalisasi telah mengubah pola perilaku masyarakat, terutama dalam konsumsi makanan. Itu membuat peningkatan kasus penyakit tak menular di Tanah Air kian mengkhawatirkan. Sejumlah penyakit yang beberapa dekade lalu banyak diderita orang lanjut usia kini juga menyerang kaum muda.
Dengan kadar kolesterol normal (di bawah 190), risiko terkena penyakit kardiovaskular di usia 70 tahun hanya 10 persen. Jika kadar kolesterol berlebih (di atas 300), risiko penyakit jantung dan pembuluh darah 30 persen terjadi di usia 40 tahun.
Data Riset Kesehatan Dasar menunjukkan, prevalensi stroke naik dari 0,83 persen (2007) menjadi 1,21 persen (2013) dan hipertensi dari 7,6 persen menjadi 9,5 persen (2013). Hal itu terkait kadar kolesterol dari konsumsi makanan yang tinggi kadar lemak jahat.
Prof Ratna Djuwita Hatma dalam pidato pengukuhan sebagai Guru Besar Tetap Ilmu Epidemiologi Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia (FKM UI), Rabu (24/9), menjelaskan, tiap makanan memiliki komposisi nutrisi berbeda, termasuk kandungan lemak. Pemilihan makanan apa yang dikonsumsi akan menentukan kadar lemak dalam darah kita.
Ada empat jenis lemak, yakni asam lemak jenuh, asam lemak trans, asam lemak tak jenuh ikatan tunggal, dan asam lemak tak jenuh ikatan ganda. Jenis lemak yang biasa disebut lemak jahat adalah asam lemak jenuh dan asam lemak trans.
Salah satu sumber lemak trans ialah mentega keras. Mentega sebenarnya merupakan protein nabati bagus bagi tubuh, tetapi kandungan lemak trans naik saat produk olahan susu itu dipanaskan dan mengeras.
Konsumsi lemak trans meningkatkan kadar kolesterol dalam darah. Dibandingkan mentega keras, mentega lunak memiliki kandungan lemak trans lebih rendah. Mentega lunak tetap lunak meski disimpan di tempat berbeda, seperti lemari es dan pada suhu kamar.
Makanan digoreng
Menurut Guru Besar Ilmu Gizi FKM UI Prof Ratu Ayu Dewi Sartika, lemak trans bersumber dari tiga jenis makanan, antara lain produk ruminansia, misalnya daging rawon, sop buntut, burger isi keju dan daging sapi, sate daging, serta daging rica. Jenis makanan lain adalah produk minyak nabati terhidrogenasi (HVO), contohnya cokelat, biskuit, kue black forest, dan sukro kacang.
Lemak trans juga ada dalam makanan yang digoreng dengan suhu tinggi, di antaranya sambal goreng ati, tempe goreng, ayam goreng tepung, paru goreng, dan telur goreng. Contoh lain adalah pisang goreng (memiliki kandungan lemak trans 2,32 persen dari lemak total), ubi goreng (1,82 persen), kroket dan tempe goreng (9,08 persen), singkong goreng (2,38 persen), dan ayam goreng tepung (2,39 persen).
Padahal, di Indonesia, orang biasa memasak dengan minyak goreng. Tak heran jika asam lemak jenuh umumnya bersumber dari makanan gorengan, yakni digoreng dengan suhu amat panas, di atas 180 derajat celsius. Lemak trans juga berlipat kadarnya jika minyak goreng dipakai berulang.
”Kalau dipakai menggoreng makanan kaya protein, seperti daging, maksimal tiga kali pemakaian. Sementara kalau menggoreng umbi-umbian bisa sampai empat kali,” kata Ratu Ayu.
Menggoreng bahan makanan dinilai tak salah asalkan tidak dengan suhu terlalu tinggi. Indikator sederhana untuk mengetahui minyak goreng terlalu panas adalah muncul titik asap. Karena itu, orang biasanya akan menambahkan minyak goreng baru atau menurunkan tingkat panas kompor jika minyak goreng mengeluarkan asap.
Masakan bersantan
Adapun kadar lemak jenuh paling besar terdapat pada santan dibandingkan daging dan minyak goreng. ”Bukan tak boleh mengonsumsi makanan mengandung lemak, karena lemak bermanfaat bagi metabolisme tubuh. Namun, frekuensi dan porsi dibatasi, terutama bagian yang mengandung lemak jahat tinggi, seperti otak, jeroan, dan kulit ayam,” kata Ratna.
Asupan lemak yang dianjurkan adalah 25-35 persen dari total energi dan 8-10 persen di antaranya ialah lemak jenuh. Tak mudah mengubah kebiasaan makan, apalagi jika terkait latar belakang etnis. Orang Minang, misalnya, terbiasa makan masakan bersantan yang mengandung lemak jenuh tinggi sehingga kadar lemak dalam darah mereka umumnya tinggi.
Dalam penelitian Ratna, dibandingkan orang Sunda, Bugis, dan Jawa, orang Minang memiliki kadar kolesterol tertinggi. Tak berarti kadar kolesterol pada etnis lain rendah. Meski orang Sunda gemar mengonsumsi sayuran, jika sayuran yang disantap bersantan, itu bisa menyebabkan kadar kolesterol tinggi.
Protein hewani kaya lemak jenuh juga ditemui pada masakan daerah Minahasa. Hasil studi menunjukkan, risiko penyakit jantung koroner pada mereka yang sering makan sate babi kotey 12 kali lebih tinggi dibandingkan yang jarang makan sate babi kotey. Begitu juga mereka yang sering makan paniki kelelawar 6,4 kali lebih berisiko kena penyakit jantung koroner dibandingkan yang jarang memakan paniki.
Maka dari itu, pola makan perlu dijaga sejak awal masa kehamilan. Menurut Ratu Ayu, di sejumlah negara, pola makan tak sehat pada ibu hamil bisa meningkatkan risiko terkena penyakit jantung koroner pada anak saat beranjak dewasa. Karena itu, selain gaya hidup, periode 1.000 hari pertama kehidupan tak boleh diabaikan agar tak terkena berbagai penyakit.