Kenangan Manis Setelah Semua yang Pahit

0
1506

Aku dibesarkan oleh angin dan gelombang, aku dibesarkan oleh api dan batu karang, oleh sio sayang e, rasa sayang badan e….

Film inspiratif ini mengangkat kisah nyata tentang bagaimana sepak bola mengobati jiwa anak-anak yang terluka. Film ini berlatar Kota Ambon dan Desa Tulehu (Maluku Tengah) di tengah konflik berdarah pada 1999-2000 dan beberapa tahun setelah konflik berakhir.

Sani Tawainella (diperankan Chicco Jerikho) sehari-hari bekerja sebagai tukang ojek di Tulehu, sebuah desa di tepi laut, di luar Kota Ambon, Maluku. Ketika konflik pecah, hatinya tergerus melihat anak-anak ikut jadi korban. Perseteruan antar-umat agama, juga penjarahan, jadi tontonan, bahkan ”permainan”, buat anak-anak meski itu menyeret mereka ke pusaran petaka.

Sani sebelumnya pernah mewakili Maluku sebagai atlet sepak bola yunior meski kariernya tak berlanjut. Lama tak menyentuh bola, ia bertekad ”menjauhkan” anak-anak di kampungnya dari pusaran konflik dengan melatih mereka bermain bola tiap sore. Risikonya, waktunya mengoperasikan motor ojek berkurang, pendapatan berkurang, dan istrinya, Haspa (Shafira Umm), pun jadi kerap marah.

Lima tahun berlalu, konflik Maluku mereda. Perkumpulan sepak bola yang dibina Sani—dibantu kawannya, Rafi—kini mewadahi pemain-pemain yunior berbakat. Mereka pun ditawari berlaga di kompetisi daerah.

Menjelang kompetisi, Rafi ”mengambil alih” klub itu, mengabaikan peran Sani bertahun-tahun membina anak-anak. Karena patah hati, Sani memutuskan mundur. Ia menerima tawaran membina klub dari Passo yang warganya didominasi umat Kristiani. Pilihan itu membuatnya disoroti karena ia seorang Muslim.

Kiprah Sani membina anak-anak ini membuat ia dipercaya membentuk tim untuk mewakili Maluku berlaga di Indonesia Cup Usia 15 Tahun di Jakarta. Tim yang dibentuk Sani menggabungkan anak-anak dari Tulehu yang Muslim dan anak-anak Passo yang Kristen. Rekonsiliasi memang tengah digiatkan saat itu. Namun, tidak serta-merta luka batin anak-anak itu sepenuhnya sembuh.

Pergulatan Emosi

Seorang anak Tulehu, Salim, misalnya, tak bermasalah dengan teman-teman satu timnya yang beragama Kristen, tetapi ia sangat marah ketika tahu teman satu timnya anak polisi. Baginya, itu berarti mereka anak pembunuh ayahnya.

Meski begitu, langkah Sani tak terhenti. Ia meyakini, perjalanan berkompetisi di Jakarta akan menyatukan anak-anak asuhannya. Kenyataannya, keyakinan itu harus diuji berulang-ulang.

”Waktu tak akan cukup untuk mencari siapa yang betul dan siapa yang salah. Yang pasti, kalian harus hidup lebih baik,” kata Sani kepada anak-anak itu. Bukan hal mudah buat Sani karena ia sendiri didera lara. Ia merasa telah mengorbankan istri dan keluarganya demi mengajari anak-anak itu mengejar mimpi lewat bola.

Film ini kaya dengan pergulatan emosi yang kuat. Penonton diberi ruang untuk juga mengenal anak-anak binaan Sani. Sebagian besar pemeran film ini merupakan warga asli Maluku. Mereka berdialog dalam bahasa Maluku dengan terjemahan bahasa Indonesia. Selain dialog menarik, latar musik dan lagu ikut memberi roh dalam cerita ini. Glenn Fredly yang menjadi produser film ini menggandeng musisi-musisi Maluku untuk menggarap latar musik.

Film ini juga tak lupa mengingatkan bahwa Maluku merupakan tanah air yang cantik rupawan. Sudut pengambilan gambar merekam dengan baik keindahan ini.

Beri satu kenangan manis setelah semua yang pahit. Itu pesan yang tersampaikan kepada anak-anak ini lewat sepak bola. Pesan yang juga dirasakan masyarakat Maluku. Beta Maluku, bukan Passo, bukan Tulehu.

Cahaya dari Timur: Beta Maluku

Sutradara: Angga Dwimas Sasongko | Skenario: Swastika Nohara dan M Irfan Ramly | Pemeran: Chicco Jerikho, Shafira Umm, Abdurrahman Arif, Jajang C Noer | Produksi: Visinema Pictures

(DAY/EKI)