Negeri Di Atas Awan

0
1660

Keindahan Toraja terekam sempurna di Batutumonga di lereng Gunung Sesean yang merupakan gunung tertinggi di Tana Toraja. Dari ketinggian itu, gunung, awan, matahari, kabut, dan pepohonan bersekutu menghadirkan indahnya hamparan pemandangan yang membuat panca indera bergetar karena keindahannya.

Dari Batutumonga, Toraja Utara, kita dapat merekam keindahan alam Tana Toraja nan elok, termasuk panorama Kota Rantepao yang merupakan pusat kota Toraja. Batutumonga sekaligus penuh daya magis karena ia menjadi rumah bagi makam-makam batu kuno. Keindahan di pucuk-pucuk bukitnya semakin sempurna dengan hadirnya tongkonan, rumah khas Toraja.

Konon, nama Toraja mulanya diberikan oleh suku Bugis Sidenreng dan dari Luwu. Orang Sidenreng menamakan penduduk daerah ini dengan sebutan To Riaja yang mengandung arti ’Orang yang berdiam di negeri atas atau pegunungan’, sedang orang Luwu menyebutnya To Riajang yang artinya ’orang yang berdiam di sebelah barat’.

Dari Rantepao, Batutumonga dapat dicapai dengan dua cara, yaitu dengan menumpang angkutan umum dari Pasar Bolu atau menggunakan mobil sewaan. Perjalanan menuju Batutumonga membutuhkan waktu 30 menit-1 jam. Kewaspadaan tinggi dibutuhkan karena medan yang ditempuh memiliki tingkat kesulitan cukup tinggi. Selain jalanan yang berkelok dan sempit, hanya seukuran satu mobil, sisi kiri dan kanan jalan berupa jurang menganga.

Saat yang paling tepat untuk menyaksikan keindahan negeri di awan Batutumonga adalah di pagi hari, sesaat menjelang matahari terbit. Agar bisa menangkap momen istimewa itu, sebaiknya menginap semalam di Batutumonga sehingga esok harinya tak terlewatkan saat pertama matahari mulai muncul.

Beberapa guest house sudah dibangun di Batutumonga. Salah satu yang berada di titik tertinggi adalah Mentirotiku guest house. Mentirotiku bermakna ’pemandangan yang indah dan luas’. Dengan hanya berdiri di depan kamar, hamparan pemandangan yang penuh daya magis terpampang di depan mata. Semburat merah mentari pagi segera menyambut dengan hamparan awan yang seolah berada tepat di hadapan mata.

Tongkonan bersejarah

Selain pemandangan alamnya, Mentirotiku punya keistimewaan lain berupa kamar berbentuk tongkonan, yang konon merupakan rumah pahlawan Pong Tiku yang dijual oleh sang cucu. Rumah dari pahlawan nasional asal Toraja inilah yang kini dioperasikan menjadi guest housedengan penambahan sejumlah kamar.

Agar bisa menangkap seluruh keindahan, bersiaplah di luar kamar ketika waktu menunjukkan pukul 05.00. Berharaplah cuaca di luar cerah, agar matahari yang siap terbit tidak terhalang mendung. Jangan lupa kenakan jaket karena udara di ketinggian cukup dingin serta kamera untuk mengabadikan momen indah yang tak akan dijumpai di tempat lain.

Sinar matahari yang lamat-lamat muncul di balik awan, kabut tipis dan awan yang bergulung-gulung adalah lukisan alam tanpa cela. Kesiur angin dingin dan siluet pepohonan dari kejauhan dengan hamparan sawah yang luas membentang, menyajikan imaji yang nyaris seperti tak nyata. Indah! Sangat indah….

Keindahan yang tersaji seolah bergegas cepat menyergap seluruh panca indera. Sungguh sebuah keindahan yang nyata yang membuat napas seolah terhenti ketika menyaksikannya. Resapi dan nikmati hingga ke tulang sumsum, lalu dekap di dada sebagai sebuah pengalaman yang tak lekang.

Apabila matahari semakin tinggi, keindahan itu tetap ada. Terekam di hamparan sawah yang luas menghijau, sosok Gunung Sesean yang berdiri kokoh di antara awan dan panorama Rantepao dari kejauhan. Kehidupan warga yang bersahaja, melengkapi keindahan yang ada.

Salah seorang penjaga Mentirotiku guest house, Paulus Payung (25), menuturkan, satu tahun terakhir, semakin banyak wisatawan berkunjung ke Batutumonga. Tidak hanya pada saat akhir pekan, kunjungan wisatawan juga tercatat di hari-hari biasa. ”Biasanya mereka menginap dua-tiga hari untuk menikmati pemandangan Toraja dari Batutumonga,” kata Paulus.

Tak hanya tongkonan milik Pong Tiku, ratusan tongkonan lain tersebar di bukit-bukit Batutumonga. Banyak dari tongkonan itu merupakan bangunan baru yang dibangun oleh orang-orang Toraja yang merantau di perkotaan. Mereka biasanya pulang pada akhir tahun, meluangkan beberapa hari tinggal di tongkonan sebelum kembali merantau.

Tokoh masyarakat Toraja yang menerima anugerah kebudayaan 2004 dari pemerintah pusat Tinting Sarungallo (63) yang telah beberapa kali membuat tongkonan—salah satunya di museum nasional Jepang—menyatakan bahwa nenek moyang orang Toraja sengaja membuat rumah tongkonan berbentuk mirip kapal. ”Kakek kami dari langit, nenek dari dalam air. Ketemu di sumur lahirlah saya. Banyak anak Toraja walau hidup di gunung, tapi jadi pelaut andal,” tambah Tinting.

Tongkonan ini memiliki perbandingan ukuran satu banding 2-3 (panjang banding lebar). Untuk membuat tongkonan berukuran 4 meter x 10 meter butuh total biaya hingga Rp 400 juta. Ruang di tongkonan terdiri tiga bagian yang biasanya difungsikan sebagai dapur, ruang tidur, dan ruang makan.

Awal tahun 1960-an, tongkonan sempat dianggap sebagai rumah berhala. Seiring munculnya kesadaran untuk melestarikan tradisi diiringi membaiknya perekonomian, semakin banyak generasi muda Toraja tertarik membangun Tongkonan. ”Mereka mulai mencintai tongkonannya. Kembali ke Toraja melihat tongkonan seolah melihat orangtuanya,” tambah Tinting.

Makam tua

Di Batutumonga pula, wisatawan bisa dengan mudah berkunjung ke makam-makam kuno yang berceceran di kiri kanan jalan. Makam tua yang menarik untuk disinggahi adalah Bori Parinding di Kecamatan Sesean dan Lo’ko Mata di Kecamatan Sesean Suloara.

Bori Parinding adalah sebuah kompleks pemakaman tua yang mulai dipakai pada tahun 1717. Jenazah yang dimakamkan di Bori Parinding merupakan keluarga bangsawan keturunan Nenek Ramba. Salah satu yang unik di pemakaman ini adalah keberadaan batu-batu menhir berukuran raksasa yang terletak di halaman depan Bori Parinding.

Batu-batu menhir tersebut digunakan sebagai tiang untuk mengikat hewan-hewan yang akan disembelih saat upacara pemakaman atau rambu solo digelar. Hewan-hewan tersebut antara lain kerbau, anoa, dan sapi. Untuk kalangan bangsawan, kerbau yang disembelih jumlahnya 24 ekor dengan harga kerbau mulai dari Rp 20 juta hingga Rp 1 miliar per ekor.

Di Bori Parinding, selain terdapat makam-makam tua untuk orang dewasa, juga terdapat makam untuk bayi yang ditanam di dalam tubuh pohon tarra. Usia pohon tarra diperkirakan sudah mencapai ratusan tahun. Berbeda dengan Bori Parinding, Lo’ko mata hanya menyajikan bongkahan batu sebesar satu bukit kecil yang bisa memuat ratusan makam dengan 30-40 jasad per lubang.

Kompas/Dwi As Setianingsih

Kompas/Mawar Kusuma