Meski Kho Ping Hoo telah meninggal hampir 20 tahun silam, para pendekarnya terus mengembara di dunia persilatan. Tepatnya di dalam cersil atau cerita silat karyanya yang terus diterbitkan oleh CV Gema di kampung Mertokusuman, Solo, Jawa Tengah.
”Pada suatu senja, di kala angin pengantar malam tengah sibuk mengatur mega…” Demikian Kho Ping Hoo mengawali cersil Kisah Sepasang Naga atau Ji Liong Jio Cu.
Pendekar-pendekar rekaan Asmaraman Sukowati Kho Ping Hoo (1926-1994) itu bersemayam di gudang penerbit CV Gema, di kampung Mertokusuman 761, RT 002 RW 007, Solo. Tersebutlah antara lain Pendekar Tanpa Bayangan, Pendekar Bunga Merah, Pendekar Gila, Pendekar Pemabuk, Pendekar Super Sakti, Pendekar Mata Keranjang, Pendekar Budiman, dan barisan pendekar lain.
Tak kurang dari 111 judul cersil karya Kho Ping Hoo menjadi koleksi Gema. Sebanyak 82 judul merupakan cersil Mandarin dan sisanya adalah cersil Indonesia, plus serial lain. Di luar jumlah tersebut, Gema juga menerbitkan buku karya sejumlah penulis lain, termasuk di antaranya karya Suparto Brata dan Widi Widayat.
Di antara deretan judul tersebut, cersil yang paling banyak diminati sampai hari ini adalah karya Kho Ping Hoo. Menurut pimpinan CV Gema, Bunawan Sastraguna Wibawa (67), cersil yang paling banyak dipesan terutama serial Bu-Kek Sian-Su dan Pedang Kayu Harum (Siang Bhok Khiam). Serial Bu-Kek Sian-Su terdiri atas 17 judul, antara lain Suling Naga (29 jilid), Sepasang Pedang Iblis (50 jilid), dan Pendekar Super Sakti (42 jilid).
Pembaca Setia
Cersil karya Kho Ping Hoo mengalami zaman keemasan pada era 1960-1980-an. Ketika itu pembaca selalu menunggu lanjutan cerita yang sedang ditulis Kho Ping Hoo dengan mesin ketik Oliveti dan kemudian berganti dengan Brother. Di atas mesin ketik itulah dengan produktifnya jari-jari Kho Ping Hoo bergerak lincah bagai pendekar silat. ”Beliau mengetik dengan sepuluh jari, dan cepat sekali mengetiknya seperti senapan mesin, tret tet-tet-tet..!” kata Bunawan.
Secepat muntahan pelor dari senapan mesin pula cersil Kho Ping Hoo laris menyerbu pasar pada era tersebut. Bunawan memberikan contoh seri Pendekar Super Sakti yang untuk satu jilid saja sekali cetak 12.500 eksemplar. Jika seri itu terdiri atas 42 jilid, maka total untuk satu judul saja tercetak 525.000 eksemplar. ”Padahal, pengarang lain ketika itu untuk bisa mencetak 2.000 (eksemplar) saja sudah rekasa (susah),” kata Bunawan.
Sebagian pembaca cersil pada era 1960-1980-an itu hanya menyewa dari tempat persewaan buku atau taman bacaan. Sebagian lain, yang katakanlah ”lebih beruntung” secara ekonomi, bisa membeli langsung di toko buku.
Kini penikmat cersil Kho Ping Hoo di masa lalu itu berusia sekitar 40-an tahun ke atas. Pembaca itulah yang menjadi konsumen utama cersil Kho Ping Hoo. Mereka pula yang menghidupkan usaha CV Gema.
Para penggemar lama itu tentu tidak lagi menyewa buku, tapi membeli langsung. Dan, bukan hanya membeli eceran per jilid, tapi satu set serial. Gema memang menerbitkan karya per set. Begitu pula toko buku menjual buku per set. Satu set Kisah Sepasang Naga yang terdiri atas 10 jilid dipatok dengan harga Rp 35.000. Relatif murah bagi pembaca yang suka menikmati kopi di kedai yang harga segelasnya sebesar Rp 47.000. Di kota besar seperti Jakarta, cersil Kho Ping Hoo bisa dijumpai di toko buku seperti Gunung Agung dan Gramedia. Selain itu juga ada yang menjual secara online.
Sejak dulu format buku cersil Kho Ping Hoo tetap mungil dengan ukuran 14 X 11,5 sentimeter, atau seperempat kertas ukuran kuarto. Isinya pun hanya sekitar 64 halaman, cukup tipis. Sampulnya sederhana dengan satu atau dua warna yang digambar oleh Yohanes dan Antonius. ”Pernah kami coba cetak dengan format besar, lebih tebal, dan cover-nya full color, tapi ditolak sama agen. Kata mereka susah menjualnya,” kata Bunawan.
”Sisa-sisa Laskar Pajang”
Keberadaan Gema tak lepas dari produktivitas Kho Ping Hoo sebagai penulis. Ia menulis sejak 1958 di Tasikmalaya, Jawa Barat. Ketika itu karyanya diterbitkan oleh CV Analisa, milik Selecta Group, Jakarta, yang menerbitkan majalah Selecta. Tahun 1961, ia mendirikan penerbit sendiri bernama PU Jelita. Setelah kerusuhan di Tasikmalaya pada awal 1960-an, Kho Ping Hoo hijrah ke Solo. Di kota ini, ia mendirikan penerbit CV Gema tahun 1964.
Sampai tahun 1970, Kho Ping Hoo mengurus sendiri seluruh proses penerbitan, mulai dari mengarang sampai distribusi. Tahun 1973, urusan penerbitan Gema dipercayakan kepada menantunya, Bunawan. ”Beliau ingin konsentrasi menulis,” kata Bunawan.
Kho Ping Hoo sering menulis di Wisma Damai di Tawangmangu, daerah wisata sejuk di lereng Gunung Lawu, sekitar 40 kilometer dari Solo. Gema ketika itu memang kemudian berjaya dengan mengoperasikan percetakan offset. Mereka mempekerjakan sekitar 60 karyawan.
Kini, untuk pencetakan, Gema menyerahkan ke percetakan lain. ”Karena secara bisnis keuntungannya kurang memadai. Gema menerbitkan karena tanggung jawab moral kepada para penggemar,” kata Bunawan.
Kini hanya ada tujuh pekerja dengan masa kerja 35 sampai 45 tahun. ”Kami ini seperti sisa-sisa laskar pajang he-he…” kata Hardjo, karyawan bagian administrasi yang bekerja di Gema sejak tahun 1968.
Mereka kebanyakan warga kampung Mertokusuman. Suparni (66), yang sudah 36 tahun bekerja, suatu pagi pada awal September lalu tengah bekerja memasang sampul cersil berjudul Pendekar Kayu Harum. Untuk menempel sampul dengan buku diperlukan lem dengan bahan pati kanji atau tepung. Untuk mengoleskan digunakan sepet atau sabut kelapa yang dibentuk menyerupai kuas.
Bisa dikatakan serba sederhana. Sesederhana wujud buku cersil Kho Ping Hoo. Namun, buku mungil itu terbukti bisa membawa pembaca berkelana ke jagat fantasi, mengembara ke dunia persilatan di mana kejujuran dan kebaikan selalu menang.
Frans Sartono