Sekarang belum lagi bulan Juni. Tetapi, seniman komik Man punya istilah yang mengagetkan ”komikalisasi puisi”. Di tangannya puisi, ”Hujan Bulan Juni” karya Sapardi Djoko Damono jadi benar-benar basah oleh gambar hujan.
Ide ”komikalisasi puisi”, kata seniman komik bernama lengkap Mansjur Daman, muncul dari seseorang. ”Saya disodori puisi ”Hujan Bulan Juni”. Ya saya reka-reka visualnya,” tutur Man sebelum pembukaan pameran Retro Man, 50 Tahun Berkarya, Kamis (11/4), di Bentara Budaya Jakarta (BBJ).
Dalam 12 bagian gambar, Man menginterpretasi puisi Sapardi dengan tiga tokoh: seorang perempuan berkursi roda, lelaki bertopi dan berkaca mata, serta seorang sopir. Kisahnya, dalam suasana hujan seorang perempuan berziarah ke pemakaman diantar sopir. Sementara lelaki bertopi mengamatinya dari kejauhan. Seikat bunga diletakkan pada sebuah pusara oleh perempuan di atas kursi roda. Tak lama lelaki bertopi mengambilnya. Peristiwa singkat itu terjadi di bawah guyuran hujan bulan Juni.
Itulah tafsir visual Man terhadap puisi. Ia tak hanya melakukan proses transformasi teks menjadi suguhan visual, tetapi mereka-reka tokoh lelaki bertopi dan berkaca mata. Tokoh itu sekilas mirip perawakan sang penyair, Sapardi Djoko Damono. ”Saya tidak pernah bertemu sebelumnya. Cuma mereka-reka, kalau hujan ada payung dan topi, he-he-he,” kata Man.
Saat pembukaan pameran yang akan berlangsung sampai 20 April 2013 ini, Man akhirnya benar-benar bertemu Sapardi. Penyair puisi-puisi bernuansa tenang, itu benar-benar mengenakan topi pet dan berkaca mata. Sapardi bahkan didaulat membuka pameran yang menampilkan perjalanan Man sebagai seniman komik yang pantang menyerah.
Jelajah visual
Man memilih jalan seniman komik pada usia 14 tahun, ketika ia melahirkan kisah Usman dan Jasin tahun 1960. Komik ini ia edarkan kepada teman-temannya. Garis-garisnya masih sangat sederhana, bahkan naif. Tetapi jejak goresan-goresan naturalis sudah sangat tampak. Pada periode ini ia juga melahirkan kisah horor Istana Hantu yang diterbitkan oleh penerbit Rose. Sejak itu cerita-cerita bergambar Man seperti tak pernah surut.
Jelajah visualnya terus berkembang. Man tak hanya melahirkan komik-komik bergenre horor, ia juga menjajal kisah-kisah roman, silat, dan petulangan. ”Di komik saya bisa jajal gambar manusia, pohon, dan binatang. Itu keuntungan sisi visualnya,” katanya.
Pada kisah-kisah belakangan seperti Roseta, Neraka Borneo, Bunuh Mandala, dan Dia, Man menunjukkan kematangan jelajah seni rupanya. Di tengah kecenderungan para komikus bekerja menggunakan komputer, Man tetap menggambar secara manual.
Ia menemukan teknik-teknik menggambar secara otodidak. ”Saya cuma belajar dari para komikus sebelumnya, terutama untuk anatomi dan perspektif,” katanya.
Man mungkin bukan seorang pengisah yang baik. Ia tak lihai memainkan kata sebagai narasi ceritanya. Tetapi andai pun tanpa kata-kata, kisah-kisahnya sudah bertutur dalam bahasa gambar yang mengagumkan. Tokoh seperti Mandala, misalnya, dibuatnya benar-benar hidup. Tak salah jika para penggemarnya beranggapan Mandala benar-benar ada. Padahal, Man mengaku, tokoh itu rekaan belaka.
Beda utama antara komik dan lukisan, komik punya kesempatan untuk menghidupkan karakter tokoh-tokohnya, bahkan lebih hidup dibandingkan pelukisan secara sastrawi. Itulah yang disadari oleh Man sehingga ia terus bekerja untuk menemukan teknik-teknik menggambar paling kontemporer.
Pada usia 67 tahun, Man tak mau berhenti. Ia terus melahirkan komik dengan gambar yang tidak saja makin menarik dari sisi visual, tetapi juga menggunakan material yang makin kompleks. ”Sekarang sudah pakai kuas Rembrandt dan cat akrilik, dulu cuma tinta bak padat yang diasah, he-he-he,” katanya.
Kini komik-komik yang digubah Man tidak saja menyuguhkan cerita, tetapi mengeksplorasi unsur-unsur perupaan. Penggambaran-penggambaran peristiwanya semakin menawan mata dan memenuhi selera visual terkini. Bahkan peristiwa dalam puisi seperti ”Hujan Bulan Juni” di tangan Man tidak kehilangan esensi puitiknya setelah terpapar dalam wujud visual. Man seperti menuntun kita pada peristiwa puitik yang lebih berwarna dan kaya imajinasi.
Putu Fajar Arcana & Frans Sartono