Sejarah tidak pernah kering untuk dijadikan ”latar” sebuah cerita, termasuk novel. Sejarah diibaratkan kotak pandora yang menyimpan kepingan-kepingan peristiwa dan kenangan pada masa lampau. Sekalipun tidak semua kepingan peristiwa itu memiliki nilai penting.
Tugas pengaranglah yang harus memilah kepingan-kepingan cerita yang terserak di antara bongkahan batu karang literer sejarah itu. Selanjutnya, ia menyuguhkan kembali dengan capaian estetis kendati meniti jalan berkelok dalam melakukan penafsiran.
Tak berlebihan jika dari kepingan-kepingan itu pengarang dapat merekonstruksi, bahkan memberikan ”tafsir baru” atas fakta pada masa lalu. Namun, pada sisi yang lain, bisa jadi pengarang hanya ingin mengabadikan sekeping kisah dari kehidupan seseorang yang pernah menorehkan ”warna” dalam peta sejarah. Dalam anggapan pengarang, tokoh itu layak dijadikan panutan karena keteladanan dan kepemimpinannya.
Setidaknya, itu yang ingin dilakukan oleh Eiji Yoshikawa ketika menulis novel berjudul Taira no Masakado. Memang, Masakado bukanlah tokoh penting dan istimewa dalam peta sejarah Jepang. Dia dianggap tokoh yang hidup di pinggiran dan jauh dari kekuasaan pusat (istana). Tetapi, spirit di balik perjuangan hidup dan keberanian Masakado dalam melawan ketidakadilan yang dilakukan oleh ketiga pamannya telah menyeretnya pada pusaran politik dan kekuasaan. Bahkan, kaisar menjadi berang akibat ulah Masakado.
Sang Pemberontak
Masakado dituduh sebagai pemberontak, membuat kerusuhan di negeri Timur setelah dia berhasil menguasai delapan negeri di Timur—di antaranya Hitachi, Kozuke, Shimotsuke, Sagama, Musashi, dan Kazusa. Istana lebih berang lagi ketika Masakado dipaksa menjadi kaisar oleh orang-orang di sekelilingnya yang memiliki ambisi kekuasaan (hlm 577).
Meskipun Masakado masih memiliki titisan darah kaisar, cucu generasi keenam kaisar Kanmu, hal itu justru merupakan puncak dari rentetan kesalahan yang diderita Masakado. Tak pelak, kalau pihak istana kemudian mengirim jenderal besar penundukan di bawah Tadabumi untuk menumpas Masakado. Padahal, Masakado sebenarnya tidak memiliki ambisi untuk berkuasa. Dia terlibat rentetan perang tak lebih ingin menuntut hak atas harta warisan yang ditinggalkan oleh ayahnya, seorang penguasa Shimosa. Jadi, semula ia berperang untuk mempertahankan wilayah dan kehormatan keluarga.
Akan tetapi, keberanian Masakado untuk menuntut harta warisan itu justru dianggap ketiga pamannya sebagai bentuk perlawanan. Padahal, ketiga pamannya itu telah memperlakukan Masakado dengan tidak adil, bahkan berniat hendak membunuhnya. Ketika upaya pembunuhan itu tidak berhasil, ketiga pamannya kemudian mengirim Masakado ke ibu kota untuk menjadi pelayan di kediaman Fujiwara no Tadahira—yang waktu itu jadi Menteri Sayap Kanan. Rentetan perlakuan tidak adil dan kesewenang-wenangan pamannya itu justru membuat Masakado didewasakan oleh penderitaan dan kehinaan.
Masakado semakin menjadi pemimpin yang kuat ketika ia berhasil membalas dendam—mengalahkan pamannya dan menjadi penguasa delapan negeri di Timur. Padahal, Masakado itu lugu, bodoh, mudah panik, bahkan mudah menitikkan air mata. Namun, ia memiliki jiwa kepemimpinan yang dicintai banyak orang. Bahkan, Masakado sejatinya setia dan cinta damai. Tak pelak jika Eiji Yoshikawa menganggap Masakado dipermainkan oleh zaman (hlm 635).
Subyektif Pengarang
Dengan mengangkat tokoh Masakado ini, Yoshikawa setidaknya ingin merekonstruksi bahkan memberikan ”tafsir baru” atas fakta pada masa lalu.
Pertama, tidak dimungkiri bahwa selepas Masakado meninggal, pemimpin yang pernah menguasai delapan wilayah negeri Timur itu diliputi mitos. Berbagai peristiwa buruk yang menimpa orang-orang yang berkaitan dengan kematian Masakado, misalnya, dianggap terkena ”kutukan”. Bahkan, tatkala ada wabah penyakit, juga kejadian bencana alam pun disebut-sebut sebagai kutukan Masakado. Pada konteks ini, Eiji Yoshikawa menggambarkan bagaimana kuatnya mitos pada masa kehidupan Masakado (abad ke-10), itu lantaran Jepang masih primitif.
Kedua, dalam novel ini Eiji Yoshikawa menggambarkan Masakado jauh dari sosok pemberontak. Bahkan, dengan mengutip data sejarah, pengarang kenamaan Jepang ini pun mengamini pendapat penasihat besar Karasumaru Mitsuhiro yang dengan tegas berkata, ”Tidak benar jika Masakado disebut sebagai pemberontak besar atau setan. Itu kebohongan besar.” (hlm 631). Dalam hal ini, perjuangan dan keberanian Masakado dalam melawan ketidakadilan menjadi ”latar belakang” pemberontakan yang menjadikan dia harus berperang, melawan, dan tidak mau ditindas.
Ketiga, lewat novel ini, Yoshikawa tidak menepis jika politik dan kekuasaan itu tidak lepas dari keberadaan elite politik yang culas dan licik. Tak berlebihan, jika Eiji Yoshikawa berpendapat bahwa meskipun beberapa elite politik—seperti Sadamura dan Hidesato—memiliki nama baik hingga sekarang, tetapi sosok mereka hanya jadi patung. Namun, Masakado lain. Di bagian akhir novel ini Eiji Yoshikawa menulis, kita tetap merasakan sosok kemanusiaannya yang asli sampai kini. Walau dia dituduh pemberontak dan pernah mengaku kaisar, sebagian besar orang nyaris tak percaya cerita itu.
Hal itu menandakan bahwa Masakado—di mata Yoshikawa—sebagai pemimpin heroik dan selalu dikenang sepanjang zaman. Akan tetapi, di sinilah justru pandangan subyektif Yoshikawa cukup kentara. Dalam novel ini, dia nyaris tidak melihat belang atau keburukan Masakado. Dia menggambarkan Masakado sosok yang nyaris sempurna dan kuat. Kecuali kadang jika dirundung masalah, Masakado jadi cengeng dan mudah menitikkan air mata.