Sentuhan Indonesia Chitra Subyakto

0
1948

Siapa bilang seni berpakaian Indonesia tak bisa menjadi gaya hidup mengikuti perubahan waktu? Chitra Subyakto (36) tidak pernah berpaling dari kecintaannya pada segala yang berbau tradisi Indonesia tanpa terperangkap menjadi tradisional.

Selasa lalu, misalnya, Chitra memakai kebaya hitam bergaya antik buatan Bin House dengan sarung dari Bali yang dililit seperti rok balon, kaus Topshop bercorak garis hitam-putih, dan “ikat pinggang” dari retsleting kulit bergigi logam.

“Aku pakai seperti ikat pinggang, dapat dari Pasar Gedebage di Bandung,” papar Chitra tentang “ikat pinggang” itu.

Untuk alas kaki, penata busana film antara lain Badai Pasti Berlalu, Kuntilanak 3, Drupadi, Under the Tree, dan Laskar Pelangi serta pertunjukan Megalitikum Kuantum dan Opera Kali ini memilih sepatu kain datar warna hitam, seperti sepatu “big boss” yang pernah populer tahun 1970-an. Kalung logamnya dari Flores.

Dengan rambut berpotongan bob, ibu dari Naradiya (10) dan Narayana (8) ini mewakili citra perempuan modern metropolitan yang berkepribadian dan mandiri.

Itulah Chitra. Orangtuanya, Laksamana R Subyakto dan Raharty, mengajari anak-anaknya mencintai seni budaya Indonesia sejak mereka masih kanak-kanak. “Kami harus bisa main gamelan, sering diajak jalan- jalan ke museum, mengenal kain Indonesia,” papar Chitra.

Ibunya membuka mata Chitra pada keindahan kain Indonesia, seperti batik Go Tik Swan dan Iwan Tirta. “Waktu kecil aku melihat, oh batik juga bisa berwarna-warni, ada hijau toska, merah. Apalagi waktu Ayah jadi duta besar, sehari-hari Ibu selalu pakai kain dan tidak pernah kelihatan membosankan. Ibu juga menjadi yang pertama menerima penghargaan berbusana terbaik. Semua itu bikin aku tertarik (pada yang berbau Indonesia),” tambah Chitra.

Padu padan

Chitra menyebut gaya berpakaiannya selalu memiliki sentuhan Indonesia. Dia mengandalkan rasa, tanpa suatu aturan baku, dan membuat padu padan.

Yang pasti, pendiri dan Direktur Now/Dress yang bergerak dalam konsultan citra dan penampilan untuk film, sinetron, iklan, pertunjukan panggung, hingga pribadi ini tidak ingin dari ujung rambut ke ujung kaki tampil satu nada, misalnya feminin. Itu sebabnya, dia memadukan kebaya dan sarung rok balon dengan retsleting kulit logam yang lebih maskulin dan sepatu bersol datar.

“Tidak selalu harus mencolok dari atas sampai bawah, tetapi selalu ada sentuhan Indonesianya. Bisa hanya gelang, kalung, atau tasnya,” kata creative buyer untuk toko produk Indonesia, Alun-Alun Indonesia.

Selera itu ikut memengaruhi cara dia memilih kostum untuk klien. Di setiap film yang dia tangani, sepanjang memungkinkan, dia pasti memasukkan unsur Indonesia.

Dalam Under the Tree, misalnya, Marcella Zalianty sebagai karakter konservatif dari Jakarta memakai rok atau sarung yang dibuat dengan proses batik, dalam Laskar Pelangi, tokoh Sahara pakai rok batik dan lurik, serta dalam Heart Acha Septriasa memakai tas ikat dan batik.

“Jadi, tetap modern, tetapi ada sedikit aksen Indonesianya. Supaya tetap cinta produk Indonesia, he-he-he,” tutur Chitra.

Meski begitu, bukan berarti Chitra antimerek dari luar. Hanya, dia mencari yang bukan semua orang pakai sehingga dia suka Comme des Garçon dan Issey Miyake.

“Yang penting, aku harus merasa nyaman memakainya. Aku tidak antimerek, tetapi tidak mau menjadikan merek sebagai cara mencari pengakuan dari lingkungan,” kata Chitra.

Kompas/Ninuk M Pambudy