Angkringan Urban - Konsep tempat makan bergaya angkringan saat menjadi tren seperti di Angkringan De'Museum di kawasan Tugu Muda, Kota Semarang, Jawa Tengah, Selasa (22/11). Menu makanan dan minuman yang disajikan sedekat mungkin dengan biasa yang dijajakan di angkringan seperti tahu, tempe, satu usus, dan nasi bungkus. Kompas/P Raditya Mahendra Yasa

Pernah menemukan menu puluhan jenis masakan nasi plus lebih dari 40 jenis lauk-pauk dan puluhan camilan di satu tempat? Kalau ya, mungkin itu angkringan.

Sejak lama angkringan menjadi tempat makan pilihan sejumlah warga Jawa Tengah terutama di Solo, Yogyakarta, dan sekitarnya. Selain gerobak dan nasi kucing (nasi bungkus mini), ciri khas angkringan ialah harganya yang cocok untuk ”kesehatan” kantong.

Belakangan ini angkringan juga punya fasilitas pertunjukan musik dan sambungan internet. Itulah angkringan semimodern yang digandrungi anak muda. Meski harga hidangan sedikit lebih mahal ketimbang angkringan biasa, pengunjung rela antre demi mendapat tempat duduk.

Angkringan model begini antara lain tumbuh di Semarang. Beberapa di antara Angkringan Blenduk di samping Museum Mandala Bhakti, Angkringan Ing Medoho di Jalan Medoho I Nomor 27, dan Angkringan Pandawa di Jalan Gajah Raya Nomor 25.

Di Angkringan Pandawa, setiap malam puluhan pengunjung bercengkerama dan melepas penat sepanjang hari. Alunan musik band mengiringi pengunjung yang masuk ke area angkringan. Mereka bisa memilih berbagai minuman, seperti teh manis, wedang, kopi, susu, hingga minuman bersoda.

Selain itu, mereka juga disodori berbagai macam makanan. Ada sekitar 30 jenis nasi kucing dan 45 sate. Bahkan, makanan ringan, seperti pastel, bakwan, hingga yang manis, seperti pisang aroma, pun tersaji.

Di angkringan di samping Museum Mandala Bhakti Semarang, setiap sore hingga tengah malam suasananya bak pesta makan. Segala golongan masyarakat terutama anak muda hadir di situ. Mereka gembira bersantap tanpa takut tak sanggup membayar.

Angkringan ini berlokasi depan bundaran Tugu Muda, tidak jauh dari gedung Lawang Sewu yang terkenal. Sebelum ada angkringan pun, lokasi itu sering menjadi tempat berkumpul anak muda Semarang pada malam hari.

Angkringan ini semula berlokasi di dekat Gereja Blenduk di Jalan Letjen Suprapto, area Kota Lama, Semarang. Setelah dua tahun meramaikan lokasi itu, angkringan itu pindah ke sekitar Museum Mandala Bhakti.

”Semula teman saya yang memiliki tempat di dekat Gereja Blenduk menawari saya untuk memakai tempatnya sebagai usaha. Saya bingung mau usaha apa, tetapi suami saya suka sekali makan di angkringan. Jadi, saya bikin usaha angkringan,” kata pengelola angkringan Blenduk, Acin Indrawati, di Semarang, Sabtu (19/11).

Dia tak pernah menduga usaha tersebut menarik minat banyak orang. Bahkan, hingga menjadi salah satu tempat nongkrong yang sangat populer di Semarang. Namun, setelah dua tahun mereka harus pindah dan pihak museum menawarkan lahan samping untuk membuka angkringan.

”Mulai Juni 2016, kami resmi pindah, berbarengan dengan bulan puasa. Tempat ini pun ramai seperti di tempat asalnya. Kelebihan lain, nyamuk jauh lebih sedikit ketimbang di Kota Lama,” tutur Acin.

Meski angkringan buka mulai pukul 17.00, persiapannya lumayan heboh dan berlangsung sejak sehari sebelumnya. Acin menyiapkan 13 jenis masakan nasi, seperti nasi pindang, nasi sambal udang, nasi goreng telur, dan nasi jambal. Masakan lainnya merupakan titipan dari berbagai pengusaha kuliner kecil-kecilan.

”Tidak sanggup kalau saya harus masak semua masakan. Masak nasi saja sudah repot. Saya juga tidak tahu persis berapa jenis lauk-pauk dan camilan yang ada. Pernah suatu kali saya iseng menghitung, ternyata paling tidak ada 40 jenis lauk, ha-ha-ha,” ujarnya.

Angkringan Urban - Konsep tempat makan bergaya angkringan saat menjadi tren seperti di Angkringan De'Museum di kawasan Tugu Muda, Kota Semarang, Jawa Tengah, Selasa (22/11). Menu makanan dan minuman yang disajikan sedekat mungkin dengan biasa yang dijajakan di angkringan seperti tahu, tempe, satu usus, dan nasi bungkus. Kompas/P Raditya Mahendra Yasa
Angkringan Urban – Konsep tempat makan bergaya angkringan saat menjadi tren seperti di Angkringan De’Museum di kawasan Tugu Muda, Kota Semarang, Jawa Tengah, Selasa (22/11). Menu makanan dan minuman yang disajikan sedekat mungkin dengan biasa yang dijajakan di angkringan seperti tahu, tempe, satu usus, dan nasi bungkus.
Kompas/P Raditya Mahendra Yasa

Menikmati angkringan

Shara Nurkusuma (20), warga Tlogosari, Semarang, menikmati suasana angkringan semimodern sambil bersantai dengan teman-temannya. ”Konsep ini menarik. Di angkringan biasa, perempuan umumnya beli sesuatu untuk dibungkus dan dibawa pulang, tetapi di sini bisa sambil nongkrong,” kata Shara, Rabu (23/11).

Sementara Wagiono (28) asal Bandarharjo memanfaatkan pertunjukan musik di Angkringan Pandawa untuk bersantai setelah bekerja. Dia menikmati musik sambil minum kopi dan berbagi cerita dengan teman-teman yang lama tidak bersua karena kesibukan masing-masing.

Meskipun tersedia berbagai fasilitas, harga makanan dan minuman di angkringan ini cukup bersahabat. Harga semua jenis nasi kucing Rp 2.500, sedangkan nasi bakar yang berukuran lebih besar Rp 4.500. Adapun minuman, seperti teh dan wedang dijual Rp 3.000-Rp 9.000.

Angkringan Pandawa yang mulai dibuka sejak Maret 2016 merupakan hasil kerja sama Gilang Pesona Tamtama dan empat rekannya. Kelimanya penggemar kuliner. Mereka mendirikan Angkringan Pandawa karena terinspirasi angkringan model serupa di Kota Solo.

Beberapa makanan yang paling laku, yaitu nasi bakar ayam, nasi bakar campur (ati ampela, jamur, ayam), nasi empal, nasi ayam bakar, dan nasi ayam geprak. Sementara itu, sejumlah minuman yang paling diminati ialah es teh manis jumbo dan wedang nakula serta wedang sadewa.

Menurut Gilang, dalam sehari biasanya 320-350 jenis makanan terjual, khususnya ketika akhir pekan. ”Paling ramai Sabtu karena untuk memesan pun harus antre. Kami sudah memesan meja-meja lagi di Jepara untuk menambah kapasitas pengunjung,” katanya.

Bangun kedekatan

Angkringan berkonsep semimodern lainnya ialah Angkringan Ing Medoho yang berdiri sejak Juni 2015. Angkringan yang menyediakan pertunjukan musik, Wi-Fi, dan televisi untuk nonton bareng menjadi salah satu tempat tujuan mahasiswa.

Pemilik angkringan tersebut, Puspa menuturkan, membangun kedekatan dengan pelanggan adalah strateginya sejak awal usaha. Selain bersantap, pelanggan juga boleh menyanyi bersama band yang tampil.

Puspa selalu terbuka jika ada pelanggan yang ingin menitipkan makanannya untuk dijual di Angkringan Ing Medoho. ”Selain makanan angkringan, seperti nasi kucing dan sate-satean, di sini ada pula ayam bakar dan pempek,” ujarnya.

Konsumen lebih suka camilan, seperti goreng-gorengan dan aneka sate ketimbang nasi kucing. Minuman favorit pelanggan tergantung tanggal. ”Saat tanggal tua, pilihan terbanyak es teh. Namun, saat tanggal muda, banyak yang memesan minuman bersoda,” katanya.

Di Angkringan Ing Medoho, harga nasi kucing Rp 2.500 per bungkus dan goreng-gorengan Rp 1.500. Adapun 80 persen makanan tersebut disuplai dari temannya yang juga memiliki usaha serupa. Sementara minuman hasil racikan tim dapurnya.

Cahyo Dwi (22), mahasiswa Jurusan Pendidikan PPKN Universitas PGRI Semarang senang dengan suasana di angkringan semimodern. ”Di sini, ada lesehannya juga. Nyaman untuk kumpul dengan teman-teman sekalian mengerjakan tugas kuliah,” ujarnya.

Yuk kita ngangkring!

TIA/DIT


Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 02 Desember 2016, di halaman 24 dengan judul “TEMPAT NONGKRONG SEMARANG:  Pesta Murah di Angkringan”