Boogie Lesmana, Waria Aktivis Pendamping Penderita HIV

    0
    797

    Siang itu  pikiran saya campur aduk, antara penasaran dan rasa grogi. Ini adalah pengalaman pertama saya menemui seorang transgender. Jika membayangkan seorang transgender, pikiran saya langsung menuju sosok waria berpakaian seksi yang kebanyakan mengamen dengan suara yang sangat tidak enak di dengar sembari bergoyang meliuk-liukan pinggang.

    Siang itu di Taman Badak, Balai Kota Bandung, saya menunggu sembari masih memikirkan orang yang akan saya temui ini. Tidak berselang lama, dari kejauhan sosok perempuan berambut panjang terurai menggunakan kacamata hitam berjalan ke arah saya. Tingginya semampai, tubuhnya kurus, terlihat staylish dengan balutan kemeja beludru dan jeans berwarna dongker.

    Semakin mendekat, ia membuka kacamata hitamnya, sembari tersenyum ramah, ia menyapa saya. Sekilas ia terlihat seperti perempuan pada umumnya, wajahnya tirus, lengkap dengan riasan. Ia berucap “haloo, maaf menunggu lama,”. suara berat seorang laki-laki keluar dari bibirnya yang diriasi lipstik.

    Sehari-hari ia biasa dipanggil Boogie, lengkapnya Boogie lesmana. Dia berasal dari Cimahi, Jawa Barat. Sejak menyadari bahwa dirinya berbeda, ia lebih akrab disapa dengan nama “Boogie” dari pada nama aslinya. Ia menuturkan, kala itu nama “Boogie” diambil karena terinspirasi dari sebuah film yang diperankan oleh Paramita Rusadi dan Rano Karno.

    Pada film tersebut, karakter “Boogie“ ialah seorang laki-laki yang dididik untuk menjadi seorang perempuan. Jadilah hingga sekarang nama “Boogie” melekat pada dirinya. Menjadi seorang transgender tidak membuat potensi yang ada dalam diri Boogie padam, justru dengan apa ada dirinya ia bisa berkembang dan bisa memberikan dampak positif untuk orang lain.

    Menjadi seorang waria bukanlah sebuah pilihan. Boogie menganggapnya sebagai sebuah takdir yang tidak bisa dielakkan. Ia menceriterakan awal ia merasa berbeda dari yang lain itu saat kelas 1 Sekolah Menengah Pertama (SMP). Pada saat itu ia merasa ada yang berbeda pada dirinya yang terlahir sebagai seorang laki-laki, karena saat itu ia menyadari bahwa ada jiwa perempuan dalam dirinya.

    Hal ini juga berdampak kepada hal-hal lain, termasuk pada rasa ketertarikan. Peristiwa SMP yang paling ia ingat yaitu pada suatu kegiatan ia disuruh memakai celana pendek di atas lutut, Boogie menolak karena merasa malu, tidak berani. Sama halnya dengan seorang perempuan yang ingin menutupi auratnya. Padahal saat itu siswa laki-laki umumnya memakai celana pendek. Tidak hanya itu, malahan saat kegiatan ekstrakulikuler olahraga renang, ia selalu absen dengan alasan sakit.

    Mencari jati diri

    Semenjak menyadari ada hal berbeda dalam dirinya, Boogie belum bertemu dengan komunitas yang sama dengannya. Sejak beranjak SMP, ia selalu ngumpul dan nongkrong dengan teman perempuan, jarang dengan laki-laki. Bahkan teman geng pun perempuan semua. Karena dirinya yang berbeda inilah, di sekolah ia sangat di kenal oleh orang-orang, yang mungkin ia sendiri tidak kenal dengan mereka.

    Memasuki tahun pertama kuliah, ia mulai mencari orang-orang yang juga sama dengannya. Terkadang saat berada di bus perjalanan  Cimahi-Bandung, ia pernah bertanya-tanya apakah pengamen-pengamen pria yang sering masuk keluar bus menggunakan pakaian dan riasan perempuan itu ialah komunitasnya ? Sejak itulah ia mulai mencari jati dirinya.

    Di tengah kegalauan hati dalam mencari jati diri, Boogie dikenalkan pada salah seorang teman kakaknya yang juga sama dengan dirinya. Pada saat teman kakaknya berkunjung ke rumah dan melihat Boogie, ia kemudian diajak untuk main ke sebuah salon. Dari situlah ia mulai mengenal dan menapaki dunia salon, mengasah keterampilan di salon, bertemu dengan komunitas yang sama dengannya, dan mulai berani mengekspresikan diri.

    ada suatu malam ia ketahuan bapaknya saat sedang mangkal di tempat pangkalan. Mengetahui hal ini, orangtua Boogie tidak menerima

    Boogie mulai memakai alat-alat rias sederhana seperti bedak, lipgloss, dan maskara. Jadilah pada tahun 1990-an, ia mulai belajar salon, mengenal komunitas, yang sering ngumpul di tempat “pangkalan” pada malam hari. Oleh karena itulah setiap malam minggu, atau setiap libur kuliah, Boogie akan ke salon untuk berdandan dan pergi ke tempat pangkalan. Uang jajan untuk kuliah pun ia gunakan untuk membeli lipstik, baju, dan alat tata rias.

    Kegiatan mangkal itu terus berlangsung tanpa sepengetahuan orangtuanya. Pada tahun 1995, orangtuanya mulai curiga pada Boogie yang selalu pulang malam, bahkan terkadang subuh. Hingga akhirnya hal yang ia lakukan selama ini pun diketahui oleh orang tuanya. Pada suatu malam ia ketahuan bapaknya saat sedang mangkal di tempat “pangkalan”. Mengetahui hal ini, orangtua Boogie tidak menerima. Saat itulah Boogie mulai buka suara memberanikan diri untuk bicara.

    “Saya adalah orang yang begini, silahkan saja kalau tidak dianggap. Saya dianggap mati, atau nama  saya dicoret dari kartu keluarga pun saya tidak akan mempermasalahkan. Saya akan keluar dari rumah ini,” ujar Boogie pada orang tuanya saat itu.

    Mendengar hal itu, ibunya menangis. Akhirnya orangtua Boogie mau menerima keadaanya, dengan syarat ia tidak boleh berhubungan dengan narkoba, polisi, kejahatan, kriminal, dan segala hal yang bisa merugikan dirinya. “Tunjukin kalau kamu itu bisa, kamu tidak bergantung pada orang lain,” ujar ibunya.

    Ratu Waria

    Sejak ketahuan orangtua, selama dua minggu ia tidak keluar kamar. Ia mengurung diri mencoba menenangkan hati. Selama mengurung diri di kamar, Boogie mendapat panggilan untuk mengikuti suatu kontes Ratu Kebaya.  Karena saat itu ia sedang proses menenangkan diri, dan tidak berani keluar kamar, apalagi keluar rumah. Namun kemudian ia memberanikan diri keluar rumah untuk persiapan kontes Ratu Kebaya.

    Selama persiapan kontes, ia menyiapkannyanya sendiri, termasuk baju yang akan digunakan. Dari kontes inilah ia mulai memberanikan diri untuk meminta restu orangtua, yang meridhoinya. Ridho dari orang tua ialah hal yang sangat membuat Boogie merasa lega, dan merdeka. Pada kontes tersebut, ia mendapatkan gelar Ratu Kebaya Miss Fotogenik.

    Dari situlah ia mulai berfikir, bahwa ia tidak boleh menyusahkan orangtua, dan mulai mencari cara bagaimana agar bisa  mengangkat derajat orangtua. Akhirnya ia kuliah tanpa meminta uang kepada orangtua. Ia mulai kerja, magang, meskipun hanya mendapat upah kecil.

    Tahun 1997, Boogie memberanikan diri minta doa ridho lagi pada orangtua untk mengikuti lomba Ratu Waria se-Indonesia. Hasilnya ia membawa piala juara tiga Ratu Waria se-Indonesia. Piala yang ia bawa pulang itu merupakan salah satu bentuk bukti yang ia perlihatkan bahwa ia mampu, walaupun berada di komunitasnya.

    Pelopor Hiwaci

    Menyadari bahwa di Cimahi saat itu belum ada komunitas waria, maka saat itu Boogie merekrut beberapa waria yang punya hobi yang sama, yakni bola voli. Berawal dari dua sampai tiga orang, akhirnya anggota grup bertambah, maka terbentuklah sebuah grup bola voli yang diberi nama Hiwaci, Himpunan Waria Cimahi. Saat itu grup Hiwaci baru bergerak di bidang bola voli saja, mulailah Boogie dan anggota grup berpikir bagaimana caranya agar organisasi ini mendapat pendapatan dan berjalan.

    Untuk mendapatkan penghasilan, Boogie dan teman-temannya mencoba mengasah setiap keterampilan yang dimiliki oleh setiap anggota grup. Mulai dari menjadi MC, menari, dan sebagainya. Dari hasil latihan dan pemberdayaan anggota, grup Hiwaci akhirnya mendapatkan penghasian dari 10 persen penghasilan masing-masing anggota.

    Adanya grup Hiwaci ini juga tidak hanya sebatas diisi oleh waria saja. Hiwaci membuka kesempatan untuk setiap orang yang ingin bergabung di grup bola voli ini. Keberadaan Hiwaci awalnya sempat ditolak oleh masyarakat, akan tetapi seiring berjalannya waktu dan berbagai macam hal positif yang mereka lakukan membuat masyarakat menerima keberadaan organisasi itu. Bahkan komunitas tersebut diundang di acara 17-an sebagai bintang tamu untuk memeriahkan acara sekaligus menjadi  daya tarik  masyarakat untuk datang.

    Aktivis bidang HIV

    Sekitar tahun 1998 dan 1999, Boogie dikenalkan oleh seorang teman kepada Yayasan bernama Priyangan, sebuah yayasan yang bergerak di HIV khusus transgender dan gay. Berkenalan dengan Yayasan Priyangan, menjadikan Boogie sebagai peer educater (PE), atau pendidik teman sebaya.

    Informasi yang ia peroleh  ia sampaikan kepada teman-temannya di tempat pangkalan. Saat menjadi pendidik teman sebaya di Yayasan Priyangan, Boogie pernah mengikuti Jambore Nasional khusus peer educater se-Indonesia mewakili Bandung di Jakarta. Hasil dari jambore tersebut sangat membanggakan, ia membawa peringkat pertama yang turut mengharumkan nama Kota Bandung.  

    Di Yayasan Priyangan ini pula biasanya orang-orang yang diduga terinfeksi HIV akan diperiksa, termasuk Boogie. Anehnya, setiap kali ia cek kesehatan dan cek HIV, selama empat tahun hasil pemeriksaannya selalu negative, hasilnya bersih. Bermakna ia tidak terserang HIV.

    Hal ini justru membuat ia dan tim cek kesehatan bingung, padahal Boogie merupakan sosok waria yang sering menerima “tamu”, namun ia tidak terdeteksi HIV. Melihat hal inilah akhirnya Boogie dijadikan sebagai role model, dan sejak saat itu ia aktif di bidang HIV, seperti sosialisasi kepada ODHA mengenai kesehatan seperti pola hidup sehat, pentingnya olahraga, mencuci tangan dengan baik dan benar.

    Menjadi seorang aktivis HIV memberikan pengalaman berharga bagi Boogie. Terutama saat ia diminta untuk mendampingi orang yang sudah terinfeksi HIV. “Ada suatu kesedihan, kebanggaan, ketika melihat mereka bisa berpijak di atas kaki mereka sendiri. Ketika mereka nge down, drop, sampai harus bangkit lagi. Ketika saya bisa membangkitkan semangat dia untuk hidup,” tutur Boogie.

    Srikandi Pasundan 

    Boogie menuturkan pada saat itu anggota waria ingin memberikan gap atau pemisah antara transgender dan gay. Hal ini karena dua unsur tersebut sangatlah berbeda. Maka dari itu terbentuklah suatu komunitas transgender bernama Srikandi Pasundan. Dari Srikandi Pasundan, Boogie mengenal dan belajar seputar orientasi seks, transgender, heteroseksual, biseksual, dan berbagai pengetahuan tentang HAM dan kemanusiaan.

    Pada tahun 2013, Srikandi Pasundan dipecah menjadi dua cabang, Srikandi Perintis yang ada di Cimahi sebagai srikandi yang mengawali, dan Srikandi Pasundan di Bandung. Karena ia mengetahui hal-hal yang berhubungan dengan kekerasan terhadap perempuan, dan juga pernah mengikuti pelatihan tentang HAM, akhirnya ia dipercaya berada di bidang advokasi.

    Menjadi seorang waria dan menjadi aktivis HIV dan membantu ODHA, bukan berarti membuat Boogie tidak punya penolakan dan diskriminasi dari masyarakat. Stigma dari masyarakat bahwa transgender diasosiasikan sebagai orang yang memberikan dampak negative bagi orang lain, apalagi didukung dengan tayangan waria yang muncul di televisi.

    Menghadapi diskriminasi dari masyarakat tak membuat Boogie patah arah. Justru malah ia bertekad bagaimana caranya agar masyarakat dapat merubah pandangan buruk terhadap  transgender. Seperti sosialisasi dan menunjukkan kepada masyarakat hal-hal yang bersifat positif, sehingga mengikis pandangan buruk tersebut, meskipun hingga saat ini belum sepenuhnya pandangan buruk itu lenyap.

    Contoh hal positif yang ditunjukan Boogie bersama rekan-rekannya yaitu membentuk suatu organisasi yang membentuk kader-kader masyarakat, seperti warga peduli air sungai, membentuk pusat informasi kesehatan masyarakat sehingga memudahkan masyarakat agar tidak perlu datang jauh-jauh ke rumah sakit. Jadi kegiatan ini akhirnya membuka pandangan masyarakat bahwa transgender ternyata tidak hanya bisa mangkal saja.

    Boogie menyampaikan dirinya selalu bilang kepada masyarakat yang mungkin cuma mendengar dan melihat dari televisi, mendengar dari radio, memperoleh informasi dari media sosial dan internet, atau apapun itu. Melihat orang-orang transgender dengan pandangan negatif, melakukan kejahatan dan kriminal. “Tidak semua transgender seperti itu. Jadi jangan pukul rata semuanya, karena hanya beberapa oknum yang begitu,” pungkas Boogie.

    Suci Wulandari Putri, mahasiswa Jurusan Jurnalistik Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran Bandung