Tradisi “Nyadran”, Perlukah Dilestarikan ?

0
9370

Di tengah perkembangan zaman yang serba modern ini, pasti kita mengalami dampak yang namanya globalisasi. Pengaruh globalisasi ini membuat dunia seakan berada di dalam genggaman kita. Bagaimana tidak, semua informasi yang ada di belahan dunia ini dapat kita akses dengan mudah. Kita dapat mengetahui segala hal yang ada di dunia ini mulai dari gaya hidup, budaya dan lain sebagainya.

Maka tak jarang generasi muda saat ini cenderung menirukan gaya hidup budaya luar untuk sekedar menutupi rasa gengsi karena takut dianggap ketinggalan jaman. Budaya sendiri tak lagi dihiraukan, bahkan mungkin dilupakan. Sangat sayang, budaya Indonesia yang sangat terkenal dengan keindahan dan keanekaragamannya di mata dunia seharusnya membuat kita lebih bangga memilikinya.

Salah satu budaya yang masih berkembang di Indonesia adalah tradisi “nyadran”. Tradisi ini berasal dari daerah Trenggalek, Jawa Timur yang biasanya diperingati pada hari Jum’at  Kliwon,  bulan  Selo  dalam kalender  Jawa. Tradisi tersebut dilakukan sebagai simbol perwujudan agar kehidupan warga Trenggalek gemah ripah loh jinawi (subur, makmur dan sejahtera).

Namun tradisi ini ternyata juga menyimpan banyak kontroversi. Ada yang berpendapat bahwa tradisi “nyadran” ini dianggap masih mengandung unsur dinamisme dalam tata cara ritual dan rangkaian acara perayaannya. Lantas apakah tradisi ini masih perlu untuk kita lestarikan? Atau justru harus kita tinggalkan karena dianggap menyeleweng dari ajaran agama?

Untuk menjawab hal ini, kita harus lebih dahulu mengetahui bagaimana proses dari tradisi nyadran itu sendiri, apa saja nilai-nilai budaya yang terkandung didalamnya, serta apa maksud dan tujuan dari diadakannya prosesi nyadran ini.

Prosesi “nyadran”

Prosesi adat nyadran diawali oleh penyembelihan kerbau yang kemudian diambil kepala, kulit beserta tulangnya. Prosesi selanjutnya, pemberian sesajen yang biasanya dilakukan oleh dalang ketika ruwatan. Perlengkapan sesajen diantaranya, tumpeng yang melambangkan kesuburan, kemakmuran, dan kesejahteraan (harapan), ayam ingkung sebagai wujud rasa tunduk dan pasrah terhadap Tuhan yang Maha Esa, bunga sekar setaman sebagai simbol keharuman. Diharapkan manusia dapat menjaga “keharuman” di dalam dirinya.

Jenang abang putih (dodol merah-putih) melambangkan sikap hormat kepada orang yang lebih tua, pisang raja sebagai simbol raja yang adil dan bijaksana kita sebagai manusia diharapkan memiliki kedua sifat tersebut. Ada pula degan (kelapa muda) sebagai lambang pengharapan agar kita mampu berdiri sendiri dalam mencari rezeki, wedang kopi dan wedang susu melambangkan rasa persaudaraan (berbeda tapi tetap saling menghargai), jajanan pasar sebagai simbol tercukupinya kebutuhan manusia yang beranekaragam. Sedangkan wajik memiliki makna agar hubungan kita dengan keluarga yang sudah meninggal semakin erat.

Kue cucur dan jadah melambangkan persatuan, kerja sama dan gotong royong, daun tawa memiliki makana agar kita senantiasa bersikap dan berfikir dengan baik, daun dadap memiliki makna agar manusia dapat berfikir dengan tenang dalam menghadapi suatu masalah, serta becer kambing yang melambangkan alam tempat dimana kita menjalani kehidupan. Setelah acara sesajen akan dilakukan doa bersama di makam Minak Sopal sebagai bentuk penghormatan atas jasa-jasanya.

Setelah prosesi doa, iring-iringan bupati dan para warga akan meninggalkan makam dan menuju dam Bagong untuk melakukan prosesi larung. Disitu akan dilakukan pelemparan kepala, kulit serta tulang kerbau ke dalam sungai. Biasanya, banyak warga akan memperebutkan bagian tubuh kerbau tersebut karena adanya anggapan bahwa siapa yang bisa mendapatkan kepala kerbau akan memperoleh berkah dalam hidupnya.

Usai acara larung, para warga makan bersama dengan menu daging kerbau yang telah dimasak. Selain itu ada menu makanan yang  disiapkan berupa nasi gurih beserta lauknya. Setelah prosesi makan bersama selesai, prosesi selanjutnya adalah prosesi puncak yang ditutup acara ruwatan berupa pentas wayang kulit semalam suntuk.

Untuk kerukunan

Gotong royong yang biasanya dilakukan warga dalam mencari perlengkapan apa saja yang akan digunakan dalam prosesi upacara adat nyadran  ini secara tidak langsung membuat hubungan antar masyarakat menjadi lebih akrab serta lebih mempererat hubungan silaturahmi antar masyarakat.

Selain itu nyadran juga dianggap oleh sebagian besar warga masyarakat Trenggalek  sebagai salah satu wujud rasa syukur kepada Tuhan yang Maha Esa sekaligus sebagai wujud terima kasih atas jasa Minak Sopal yang telah membangun dam Bagong sebagai sumber pengairan bagi sawah-sawah para petani yang ada di Trenggalek kala itu sehingga para petani tidak perlu khawatir lagi apabila sawahnya akan kekurangan air. Hal inilah yang secara otomatis membuat pendapatan para petani di kota Trenggalek kala itu semakin meningkat.

Yang menjadi kontroversi tradisi  nyadran ini adalah tata cara upacara adat nyadran yang dianggap oleh sebagian orang sebagai tindakan musyrik. Itu berarti haram bagi umat Islam.  Mengapa demikian?  karena nyadran masih menggunakan ritual agama Hindu dalam tata cara prosesi adatnya. Sehingga untuk mengatasi hal ini, nama “Nyadran Bagong” kini diganti “Peringatan Dam Bagong” agar masyarakat tidak lagi salah persepsi, dan lebih mengerti bahwa prosesi adat ini hanyalah sebatas tradisi. Tujuan sebenarnya baik namun hanya tata caranya sedikit bertentangan dengan keimanan kita mengingat nyadran merupakan tradisi turun temurun dari nenek moyang.

Lantas bagaimana sikap kita sebaiknya ? Menurut penulis, tradisi nyadran harus kita lestarikan, karena itu tradisi warisan nenek moyang, yang mencerminkan keunikan dan identitas di setiap daerah. Lebih-lebih bangsa kita sendiri telah dikenal dengan keanekaragaman budayanya.

Sebisa mungkin kita sebagai generasi muda harus bisa melestarikan kekayaan budaya kita ini. Dengan tetap mempertahankan tradisi nyadran, berarti kita menciptakan kerukunan dan kebersamaan antar warga masyarakat. Acara itu juga bisa menjadi sarana promosi kekayaan budaya daerah kita yang bisa saja memberi keuntungan finansial bagi daerah dan warganya.

Bhinuka Anandani, mahasiswa Jurusan Manajemen Sumberdaya Perairan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Brawijaya Malang, Jawa Timur