Fuefuki

0
633

Kota di lereng Gunung Fuji ini menjanjikan kedamaian dan keceriaan di musim dingin.

Banyak orang berkunjung ke Fuefuki di musim semi karena pada saat itulah kota kecil ini seperti gadis bersolek. Penuh warna. Bunga mekar di mana-mana, ramai berbagai festival, dan cuaca ramah. Tetapi, di musim dingin pun, Fuefuki menebarkan pesonanya tersendiri. Damai merayapi. Itulah kesan saya ketika bersama para agen travel diundang pemerintah Fuefuki dan Kawaguchiko lewat Japan Travel Bureau (JTB) untuk mengunjungi Fuefuki.

 

09.23 Meluncur

Begitu tiba di Bandara Internasional Haneda, Tokyo, setelah terbang selama delapan jam, kami dijemput Anissa Dyah Setyowati, pegawai pada agen travel JTB. Kami diajak menaiki kereta cepat meluncur ke Fuefuki, salah satu kota kecil di Prefektur Yamanashi di Pulau Honshu. Dari Haneda, butuh waktu sekitar 1,5 jam dengan kereta cepat Keikyu Line, JR Yamanote Line, dan JR Kaiji.

 

10.53 Merendam Kaki dan Tangan

Begitu tiba di Stasiun Kereta Api Isawa Onsen, hawa dingin langsung menyergap. Saat itu, suhu mencapai 9 derajat celsius. Kami berada di pelukan dingin. Anissa langsung menggiring kami ke sebuah kolam kecil untuk merendam kaki dan tangan. Cespleng, hawa dingin itu pergi untuk sesaat ketika kaki dan tangan masuk ke dalam air hangat alami berbau belerang itu. Sayangnya tak bisa berlama-lama, hanya sekitar 10 menit. Padahal, kami butuh kehangatan.

 

 12.00 Dikagetkan Beduk

Memasuki waktu makan siang, kami mampir ke Hibiki No Sato, sebuah restoran eksotis yang memadukan kuliner dan musik. Menu andalannya adalah hoto yang terdiri atas beragam makanan, seperti tori motsu (sejenis kari ayam), juga ada sup yang demikian gurih. Sup ini tidak memakai penyedap makanan instan, tetapi rempah dan serpihan ikan katsuo, mirip ikan cakalang.

 

Pintu masuk restoran Hibiki no Sato tempat kami makan siang. Kompas/Mohammad Hilmi Faiq
Pintu masuk restoran Hibiki no Sato tempat kami makan siang. Kompas/Mohammad Hilmi Faiq

 

Begitu menyeruput sup, tiba-tiba terdengar bunyi beduk ditabuh. Kami kaget! Ternyata inilah konsep Hibiki No Sato yang menyajikan taiko (drum Jepang) saat para tamu makan. Ini untuk memperkuat kesan para tamu agar tak mudah lupa dengan tempat tersebut. ”Musik itu kami kemas dalam odoroki (kaget), yorokobi (kebahagiaan), dan kandou (kesan emosi mendalam),” kata pemilik restoran. Kami memang terkesan, sih, terutama dengan kagetnya itu, he-he-he.

 

 

13.40 Membungkus ”Mochi”

Fuefuki merupakan kota kecil dengan penduduk tak lebih dari 70.000 jiwa. Dua pertiganya bekerja di bidang pariwisata, sementara sisanya pada industri atau menjadi pegawai. Industri makanan kecil dikelola sepaket dengan wisata sehingga laku dijual. Mereka tidak hanya menjual barang, tetapi juga pengalaman. Ini kami rasakan ketika mengunjungi pabrik makanan Kikyouya yang memproduksi mochi dan dorayaki, kue kesukaan Doraemon. Kami melihat prosesnya lewat kaca jendela besar ketika para pekerja begitu cekatan, tetapi hati-hati, dalam membuat kue. Kami juga diajak membungkus kue-kue itu, kemudian membawanya pulang. Gratis? Tidak, setiap pengunjung membayar 220 yen.

Proses pengemasan mochi di pabrik Kikyouya. Kompas/Mohammad Hilmi Faiq
Proses pengemasan mochi di pabrik Kikyouya. Kompas/Mohammad Hilmi Faiq

 

15.00 Tergoda Anggur Lokal

Kekenyalan mochi belum hilang, kami diajak masuk lorong penuh dengan tong kayu oak yang berisi anggur tua milik Mars Wine. Ada, lho, anggur yang disimpan sejak 1961, lebih tua daripada Patung Pancoran. Anggur itu diproduksi dari anggur lokal. ”Kualitas anggur di Fuefuki termasuk yang terbaik di Jepang,” kata Director for International Tourism Relations Fuefuki Tourism Organization Koichi Kubota.

 

16.00 Kebun Anggur

Kami lalu ke salah satu perkebunan anggur. Batang-batang tanaman anggur yang menjalar seperti akar merayapi langit. Tak ada daun tak ada buah. Tampaknya di musim dingin, anggur-anggur itu istirahat, menyimpan tenaga untuk menghasilkan buah nanti di bulan September. Saat itulah digelar pesta petik anggur dan minum anggur. Tak apa tak bisa memetik anggur, yang penting bisa mencicipi wine.

 

 

16.30 Menikmati Senja

Keliling kota setengah hari penuh ternyata menyisakan lelah. Apalagi suhu dingin menusuk kulit, sampai 8 derajat celsius. Kami menginap di Hotel Fujinoya Yutei. Dari jendela kamar terlihat cahaya matahari menyepuh puncak-puncak pegunungan yang mengelilingi kota kecil ini.

Menjelang malam, kami berkesempatan berdiskusi dengan para pengelola hotel ataupun tempat wisata. Mereka sangat antusias menjelaskan fasilitas di setiap tempat. Sayangnya, kebanyakan brosur mereka berbahasa Jepang dan ditulis dalam huruf Kanji. Jarang sekali yang menggunakan bahasa Inggris.

Namun, ada beberapa yang memakai bahasa Indonesia. Sebab, Indonesia menjadi pasar menarik bagi mereka. Dalam setahun, sedikitnya 35.000 orang Indonesia ke Jepang dan hanya sekitar 15 persen yang mampir ke Fuefuki. ”Kami ingin lebih banyak lagi orang Indonesia ke sini,” kata Jiro Okiyama, Managing Director Fujinoya Yutei.

Selepas makan malam, kami menyempatkan diri berendam di onsenOnsen merupakan tempat pemandian air panas tradisional Jepang, terutama Fuefuki, yang dikelilingi gunung. Konon,onsen tidak hanya mengusir dingin ketika kota dikepung salju seperti saat itu, tetapi juga menghilangkan beragam penyakit. Tak tahu juga persisnya. Yang jelas, sehabis mandi, kami bisa tidur pulas. Bahkan ada yang sampai mendengkur.

Seni tradisional Jepang di Hotel Fujinoya Yutei. Kompas/Mohammad Hilmi Faiq

 

Seni tradisional Jepang di Hotel Fujinoya Yutei. Kompas/Mohammad Hilmi Faiq
Seni tradisional Jepang di Hotel Fujinoya Yutei. Kompas/Mohammad Hilmi Faiq

 

07.20 Sarapan Sinar Matahari

Pagi ini begitu cerah, matahari mengintip dari puncak pegunungan dan sinarnya menerobos jendela kamar. Ada kehangatan merayap mengusir kuasa dingin. Kami lalu sarapan dengan baluran sinar matahari sebelum berangkat ke Fuefuki City Hall untuk bertemu Wakil Wali Kota Kobayashi Akira.

 

08.20 Keramahan Wakil Wali Kota

Kobayashi menyalami kami dan bercerita pernah beberapa kali ke Indonesia. Dia senang berkunjung ke Jakarta, tetapi tak tahan dengan hawa panasnya. ”Makanya, orang Indonesia perlu ke sini menikmati kesejukan,” katanya berpromosi.

 

09.23 Pesta Stroberi

Perjalanan kami akhirnya sampai di perkebunan stroberi yang dibudidayakan secara mandiri oleh warga. Stroberi yang menggunakan pupuk ramah lingkungan tanpa residu ini sangat menggoda. Ukurannya termasuk jumbo, sebesar bola golf. Kami lalu dipersilakan memetiknya dan memakannya dengan mencolekkan ke dalam susu kental. Hhhmmm… sudah manis bertambah manis. Lagi, dong!

 

Memetik stroberi di Fuefuki. Kompas/Muhammad Hilmi Faiq 27-01-2016
Memetik stroberi di Fuefuki. Kompas/Muhammad Hilmi Faiq
27-01-2016

 

Mohammad Hilmi Faiq


 

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 6 Maret 2016, di halaman 29 dengan judul “AVONTUR 24 jam: Fuefuki”