Dua Jam Menguji Kepekaan Rasa

0
1180

Frau menggelar seri ketiga pertunjukan musik berjudul Konser tentang Rasa di Gedung Kesenian Jakarta, Rabu (20/1). Pertunjukan itu merayakan musik dengan dimensi yang lebih dari sekadar dengaran, tetapi juga penglihatan, cecapan, penciuman, dan tentu perasaan.

Frau adalah Leilani Hermiasih (26), seorang penyanyi dan penulis lagu, serta Oskar, piano elektrik Roland RD-700SX. Lani dan Oskar adalah sebuah kesatuan sehingga Lani kerap memakai kata ganti ”kami” ketika bercerita.

Frau melepas album perdananya, Starlit Carousel, pada 2008 lewat label internet Yes No Wave yang berbasis di Yogyakarta, tempat asal Lani. Sebelumnya, dan sampai sekarang, Frau sering berpentas di acara pembukaan pameran seni.

Oleh karena itu, tampil di gedung pertunjukan sarat sejarah, seperti Gedung Kesenian Jakarta, adalah pengalaman seru baginya. ”Vibe gedung ini agak mengintimidasi, tetapi menyemangati,” katanya.

Pertunjukan di Jakarta, yang dihelat oleh G Production, diadakan dua kali. Awalnya, pertunjukan hanya dijadwalkan pukul 19.30. Namun, antusiasme membeludak.

Sekitar 400 tiket seharga Rp 125.000 sampai Rp 175.000 per lembar ludes terjual dalam sehari. Sementara ada sekitar 200 calon penonton yang masuk daftar tunggu. Tim itu akhirnya sepakat membuka pertunjukan tambahan sore harinya.

Sebelum pentas di Jakarta, Konser tentang Rasa diadakan di Gedung Societet Taman Budaya Yogyakarta pada 29 dan 30 Oktober silam. Jadwal tambahan juga dibuat demi memenuhi permintaan penggemar Frau.

”Kelahiran” Konser tentang Rasa berlokasi di Bandung pada 22 Mei 2015 yang dikerjakan tim Liga Musik Nasional. Judul itu dicetuskan oleh Rukmunal Hakim yang menggambar ilustrasi poster pertunjukan.

Itu adalah konser tunggal pertama Frau di Bandung. Lani rupanya tak ingin cuma tampil memainkan lagu-lagunya. Ia ingin sesuatu yang lebih dari itu.

Biasanya panggung Frau diisi oleh meja kecil, layaknya ruang tamu, lengkap dengan cangkir dan teko berisi teh, serta pastinya piano. Tata cahayanya pun temaram saja, tak perlu bergenit-genit. Ia juga tak memberi ruang banyak pada penambahan bunyi instrumen musik lain. Pertunjukan Frau adalah suara Lani dan Oskar.

Namun, pada Konser tentang Rasa, ia menambah banyak komponen. Lani berduet dengan penyanyi lain. Oskar juga ditemani bebunyian alat musik lain. Tata lampunya ditata makin apik.

 

Libatkan Penonton

Lani, yang mengaku tidak atraktif karena tidak banyak gerak, tetap mengajak penonton terlibat dalam pertunjukan. Penonton disodori permainan cahaya yang menawan, aroma wangi yang berganti setiap lagu, serta minuman aneka rasa untuk dicecap. Penonton juga dibagikan kertas dan pensil untuk menuliskan perasaan mereka selama konser.

Frau berinteraksi dengan penontonnya lewat cara yang tidak biasa. Ia dengan rendah hati meminta penonton membantunya menyanyikan empat larik lagu baru ”Tukang Jagal”. Alasannya, Lani kesulitan memainkan tuts piano pada bagian lagu itu sambil menyanyi.

Konsep pertunjukan semacam itu disempurnakan untuk pementasan di Yogyakarta. Departemen pencahayaan diperbaiki sedemikian rupa. Latar panggung dibuat dari tripleks bercat yang memiliki banyak lubang. Lewat lubang-lubang itulah cahaya lampu menyeruak keluar. Kesenduan tembang ”Mesin Penenun Hujan” makin menjadi-jadi berkat permainan cahaya yang dirancang Banjar Tri Andaru itu.

Bagian suara memakai produksi i-Line Audio Design, produk sistem suara asal Yogyakarta. Lani berujar, mereka membuatkanspeaker khusus untuk konser itu. Hasilnya luar biasa detail, didukung akustik ruang pertunjukan yang bagus.

Peralatan lampu, audio, dan dekorasi itulah yang diusung tim produksi dari Yogyakarta ke Jakarta. Adi Adriandi, manajer sekaligus pengarah pertunjukan, menyebutkan, ada 18 awak panggung beserta pemusik yang berangkat memakai bus besar. G Production ”mengimpor” sumber daya dari Yogyakarta.

 

Konser Beraroma

Kompas/Herlambang Jaluardi
Kompas/Herlambang Jaluardi

Lani memulai konser dengan gumaman sebelum masuk ke lagu ”Sembunyi”. Akustik ruangan dan sistem suara yang apik membuat gumamannya terdengar jernih. Suara Lani menelan ludah dan gerakan bibirnya bisa terdengar. Bunyi pianonya, yang mengingatkan pada gaya permainan klasik, terdengar bening sekali.

Selain ”Sembunyi”, ada 16 lagu lain yang dimainkan dalam dua sesi pertunjukan yang berjalan sekitar dua jam itu. Frau memasukkan enam lagu anyar dalam repertoar konser itu. Salah satu lagu baru, ”Detik-detik Anu”, dinyanyikan Lani bersama Alexandria Deni.

Oskar juga berduet dengan terompet tiupan Erson Padapiran pada lagu ”Mr Wolf” dan ”I’m a Sir”. Bunyi staccato piano berpadu dengan suara sengau terompet menghasilkan nuansa kabaret yang ”ramai tapi hening”. Menjelang akhir pertunjukan, Frau mengundang lima pemain sesi musik gesek untuk lagu ”Suspens” dan ”Layang-layang”.

Pada sesi kedua yang dibuka dengan ”The Butcher” dan ”Tukang Jagal”, penonton disuguhi aroma wangi, seperti bunga dan buah-buahan. Aroma itu disemburkan lewat perantara pendingin ruangan.

Konsep semacam itu berawal dari pengalaman Lani menunggang sepeda motor dalam kesehariannya. Dalam perjalanan itu, ia sering mendendangkan lagu ”Rejazz” dari Regina Spektor dan ”Bring Him Home” dari musikal Les Miserables.

Pada momen bersamaan, ia juga merasakan embusan sepoi angin dan menikmati kedipan lampu-lampu kota. Sering juga ia membaui wangi sedap masakan ketika melintasi warung kaki lima. Hal-hal itu memberinya ”pengalaman holistik” melalui musik.

”Apakah kita cukup peka pada hal-hal yang memberi rasa pada indera kita?” Gugatan semacam itulah yang diwujudkan lulusan Antropologi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, dan Queen’s University Belfast di Irlandia lewat Konser tentang Rasa ini.

Ia pun memberi asupan bagi indera pencecap lewat minuman yang dibagikan untuk penonton. Bisa jadi lirik getir macam ”kisah kita terpaksa tamat ketika tertambat” dalam lagu ”Detik-detik Anu” jadi tak terlalu pahit ketika didengar sambil minum sari buah jambu dalam botol kecil itu.

Konsep konser yang utuh itu adalah babak milik Konser tentang Rasa. Di luar konser itu, Frau tetap mau tampil bersahaja, seperti dalam acara pembukaan pameran seni. Butuh kesabaran dalam menanti konser dengan gagasan apik semacam ini lagi di waktu-waktu mendatang. Semoga tak lama.

(HERLAMBANG JALUARDI)


 

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 22 Januari 2016, di halaman 24 dengan judul ” Konser Musik: Dua Jam Menguji Kepekaan Rasa”