Pada sendokan yang ketiga gelato ini, segala masalah serasa sirna. Terganti oleh rasa cokelat surgawi yang mencengkeram lidah kuat-kuat.
Dalam mangkuk-mangkuk karton yang tersaji di meja, beberapa gundukan gelato dengan berbagai rasa seperti memohon-mohon untuk segera dinikmati. Pinggiran gundukannya mulai meleleh akibat paparan suhu ruang. Sesuatu yang istimewa menanti.
Benar saja, ketika mencicipi gelato cokelat ocumare dari Venezuela dan vanila dari Madagaskar, kedua rasa itu bersinar terang di palet lidah. Segera setelah lumer di mulut, dia langsung meluncur bersih. Tiada residu cairan tebal di langit-langit mulut, seperti yang terjadi ketika kita menikmati es krim. Cukup meninggalkan sisa rasa cokelat dan vanila yang masih bergelayutan mesra.
Itulah yang menyenangkan dari gelato berkualitas. Dia seperti priayi di dunia es krim. Berkarakter serba paradoksal. Padat namun mudah mencair dalam suhu mulut, bertekstur halus dan ringan, tetapi memberi intensitas rasa asli yang kuat.
Bagi orang Italia, gelato tidak tergolong es krim, walaupun kita mungkin menganggapnya sama saja. Kita bisa memahaminya jika nanti mengetahui beberapa perbedaan dalam hal bahan baku dan teknis pebuatannya.
Setiap musim panas di Italia, gelato akan bermunculan di mana-mana. Mulai dari toko besar yang menjual gelato buatan mesin modern hingga kedai-kedai kecil yang menjual gelato rumahan. Ke mana pun mata memandang, kita dengan mudah menjumpai orang menjilat-jilat gundukan gelato bertumpuk-tumpuk pada cone ataupun mangkuk karton.
Begitu pula yang dijumpai Cathleen Purwana saat berkunjung ke Italia tahun 2008 bersama suaminya. Dari berbagai gelato yang dicicipinya, lidahnya segera tertambat pada keunggulan rasa Grom Gelato. ”Kualitas rasanya beda banget dengan gelato lainnya,” ujar Cathleen mengenang momen menyenangkan itu.
Sejak tahun itu pula, Cathleen segera mendekati pemilik Grom Gelato yang berpusat di Turin, Italia. Setelah bertahun-tahun berusaha, baru 2012 permohonan Cathleen untuk membuka Grom di Jakarta disetujui. Dan sejak pertengahan September lalu, Grom Gelato akhirnya buka di pusat belanja Pacific Place, Jakarta. Di Asia, selain di Jakarta, Grom hanya bisa dijumpai di Jepang dan Dubai, Uni Emirat Arab.
Selain gelato, kita juga bisa mencicipi sorbet dan granita di Grom Gelato. Sorbet dan granita tidak mengandung susu dan telur, hanya sari buah asli, air, dan sedikit gula. Sorbet memiliki butiran es yang lebih halus ketimbang granita. Para penjual granita jalanan di Italia biasanya menyajikan granita serupa es serut yang disiram sari buah atau sirup.
Grom memberikan beberapa varian rasa yang berprinsip pada kemampuan alam. Artinya, ada rasa yang akan selalu ada, namun ada varian rasa yang tergantung musim buah di Italia.
Pilihan rasa yang akan selalu ada, di antaranya, cioccolato fondente (cokelat), cioccolato extranoir (cokelat, tanpa kandungan susu), vanigla (vanila), cafe’ espresso (kopi), pistacchio, nocciola (hazelnut), caramelo al sale, dan tiramisu.
Penggemar cokelat garis keras wajib mencobai cioccolato extranoir. Ketiadaan susu pada cioccolato extranoir membuat unsur cokelat benar-benar berdaulat. Saat menikmatinya, sesendok demi sesendok kita dibawa hanyut oleh intensitas rasa cokelatnya yang kuat. Hingga tandas, rasa cokelat yang sedikit masir itu seperti mencengkeram lidah. Semacam cengkeraman yang adiktif.
Kesejatian
Gelato, sorbet, dan granita sebenarnya hanyalah jenis kudapan dingin berbahan sederhana. Namun, ketika zaman kian modern dan menawarkan berbagai pilihan aneka bahan pengganti dari bahan asli, nilai kesejatian dari kenikmatan sederhana itu menyurut. Akibatnya, buah sebagai pemberi rasa diganti perasa buatan, aroma asli diganti esens yang biasanya agresif menusuk hidung. Belum lagi zat penstabil dan pengemulsi.
Grom didirikan oleh Federico Grom dan Guido Martinetti pada tahun 2003. Pada mulanya, Guido terpaku pada artikel yang ditulis Carlin Petrini (atau Carlo Petrini) di sebuah koran. Petrini, pelopor gerakan slow food, menyebut bahwa saat ini di Italia sudah sulit menemukan gelato sejati seperti pada masa lalu. Sejak itu, mereka berdua lantas bertekad mewujudkan kembali gelato yang sejati.
Kesejatian gelato harus dimulai dari komitmen pada bahan baku yang sejati. Demi komitmen itu, Federico dan Guido mengembangkan sendiri ladang pertanian organik di Italia seluas 20 hektar, yang memasok aneka buah-buahan sesuai musim. Seperti peach, aprikot, ara atau tin (fig), dan pir.
Mereka menggunakan susu segar berkualitas dan telur yang dihasilkan dari ayam petelur yang tak dikandangkan. Bahan lain seperti vanila dipasok dari Madagaskar. Jika kita mencicipi gelato vanigla atau vanila niscaya akan menjumpai butiran halus biji vanila berwarna hitam di setiap sendokan.
Segala bahan artifisial yang populer digunakan dalam gelato dan es krim masa kini, seperti zat pengemulsi (emulsifier), zat penstabil (stabilizer), perasa esens, pewarna, dan pengawet, itu semua masuk dalam daftar ”haram”.
Sebagai penstabil alami, Grom menggunakan kacang carob atau locust bean dari tanaman carob (Ceratonia siliqua). Carob ini juga biasanya berperan sebagai alternatif alami dari cokelat, bagi orang yang alergi.
”Semua bahan utama itu masih harus kami impor dari Italia dalam kondisi setengah jadi berupa puree dan gelato base. Proses jadinya baru dilakukan sendiri,” ungkap Cathleen.
Jika menilik bahan bakunya, ada perbedaan antara gelato dan es krim. Gelato mengandung lebih sedikit lemak susu, yakni hanya di kisaran 4-9 persen karena menggunakan susu tanpa krim (kepala susu). Sementara, es krim umumnya mengandung lemak antara 14-25 persen. Kandungan gulanya pun lebih rendah, 20-25 gram per 100 gram gelato.
Minimnya kandungan lemak dalam gelato membuat viskositas atau kekentalan gelato lebih ringan dan tipis. Akibatnya, tiada gangguan rasa tebal di langit-langit mulut. Karakter ringan itu juga membuat rasa asli dari bahan baku lain seperti cokelat, kopi, atau kacang-kacangan menjadi lebih terangkat.
Selain itu, struktur gelato pun jauh lebih padat dari es krim. Hal ini niscaya karena proses churning—pengadukan adonan dasar—berlangsung pelan dan lama. Dengan demikian, kandungan udara dalam gelato sangat minim dibanding es krim. Gelato juga disajikan dalam suhu yang lebih hangat ketimbang es krim, yaitu antara minus 12 dan minus 5 derajat celsius.
Soal perbedaan itu bagaimanapun tak perlu dipikirkan saat kita menikmati gelato. Lidah, toh, seperti punya nalurinya sendiri. Tahu-tahu kita hanya bisa terlena dalam buaian lembutnya.
[venue id=55f6f17f498e478fcd09938d]
(Sarie Febriane & Nur Hidayati)
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 04 Oktober 2015, di halaman 20 dengan judul “Buaian Lembut Gelato Klasik”