Puisi Induktif Joko Pinurbo

0
2483

Joko Pinurbo (Jokpin) kembali menerbitkan buku puisi yang ia beri judul ”Baju Bulan” (2013). Menelaah sajak-sajak dalam kumpulan ini identik dengan memahami simpul kehidupan keseharian. Kehidupan manusia yang renik dan kompleks dihadirkan Jokpin dalam diksi yang padat dan kuat, tetapi ”familiar” dan bersahaja, bahkan acap jenaka.

Jokpin seakan ingin membawa pembaca masuk ke dalam ruang dan waktu sunyi, terharu, bahagia, berkerut, tersenyum, dan seterusnya. Sajak-sajak Jokpin adalah ”narasi puitik” hidup sehari-hari. Pilihan katanya sangat dekat, bahkan berada di dalam pengalaman kita.

Judul ”Baju Bulan” adalah judul sebuah sajak di antara 59 sajak lain di dalamnya. Sajak ini merupakan narasi puitik mengenai sebuah momen penting dalam kehidupan masyarakat kita, yakni tentang Lebaran.

Secara tematik, ”Baju Bulan” mengingatkan kita kepada sajak Sitor Situmorang yang berjudul ”Malam Lebaran”. Sajak itu hanya terdiri atas satu larik, yakni bulan di atas kuburan. Namun, dalam banyak hal, ”Baju Bulan” Jokpin berbeda dengan ”Malam Lebaran” Sitor.

Sitor menulis secara deduktif. Dari pengalaman dan pemahaman tentang Lebaran, melalui sajaknya Sitor merumuskan ”secara teoretik” peristiwa Lebaran. Bagi Sitor, Lebaran, sebagai peristiwa spiritual yang berasimilasi dengan kebudayaan itu, merupakan paradoks: pertentangan kebahagiaan dengan kesedihan, terang dengan gelap, sunyi dengan hiruk-pikuk. Di situ, bulan dan kuburan menjadi pasangan yang berlawanan. Larik sajak ini memiliki kekuatan teoretik-sistemik. Mengacu kepada Ferdinand de Saussure dalam Culler (1986), ia menjadi semacamlangue dalam bahasa.

Puisi Induktif

Jokpin menulis dengan cara berbeda, bahkan sebaliknya dari Sitor. Perhatikan cuplikan sajak tersebut berikut ini:

Bulan, aku mau Lebaran. Aku ingin baju baru,

tapi tak punya uang. Ibuku entah di mana sekarang,

sedangkan ayahku hanya bisa kubayangkan.

Bolehkah, bulan, kupinjam bajumu barang semalam?

Bulan terharu: kok masih ada yang membutuhkan

bajunya yang kuno di antara begitu banyak warna-warni

baju buatan. Bulan mencopot bajunya yang keperakan

mengenakannya pada gadis kecil yang sering ia lihat

menangis di persimpangan jalan. Bulan sendiri

rela telanjang di langit, atap paling rindang

bagi yang tak berumah dan tak bisa pulang.

Secara tematik, sajak di atas memperkarakan ihwal yang tidak jauh berbeda dengan Sitor, yakni tentang peristiwa pertentangan pada malam Lebaran: hal memilukan di tengah-tengah kebahagiaan; orang yang kalah dalam mitos kemenangan.

Namun, berbeda dengan Sitor yang deduktif, Jokpin menulis secara induktif. Dalam teksnya, ia menghadirkan peristiwa secara langsung. Ia menggunakan ”dua subyek lirik”, yakni Bulan dan Gadis Kecil. Untuk Bulan, Jokpin memakai gaya bahasa personifikasi. Kepadanya ia bubuhkan sifat-sifat manusia (bulan terharu, mencopot bajunya, dan seterusnya). Sementara Gadis Kecil adalah synecdoche pars pro toto, sebagian untuk seluruhnya. Itu berarti, gadis kecil yang dimaksud bukan hanya gadis kecil yang sering menangis di persimpangan yang dihadirkan pada teks tersebut saja, melainkan semua gadis kecil lain yang senasib, juga akhirnya merupakan wakil dari kemiskinan dan kesengsaraan secara keseluruhan. Sosok ini boleh dibilang sebagai ”reinkarnasi” gadis kecil berkaleng kecil Toto Sudarto Bachtiar dalam sajaknya, ”Gadis Peminta-minta”.

Dua Perspektif

Menjadi menarik ketika dua subyek lirik tersebut juga digunakan Jokpin untuk menghadirkan realitas Lebaran dari dua perspektif. Pertama, perspektif Gadis Kecil yang tampak mewakili pandangan penyair mengenai pertentangan bahagia dengan sedih secara fisik, yakni suka cita malam Lebaran versus gadis kecil yang tidak memiliki baju (kebahagiaan). Suasana suka citanya sendiri tentu saja tidak hadir secara tekstual, melainkan secara in absentia sebagai efek dihadirkannya si gadis kecil secara tekstual (inpraesentia) tadi. Secara de jure, suka cita itu hadir dalam pengetahuan kolektif masyarakat sebagai mitos.

Kedua, perspektif subyek lirik Bulan yang tampak merepresentasikan pandangan filosofis penyair. Di bagian inilah Jokpin mengirim semacam surat kaleng kepada pembaca, satu cara bagaimana ia membuat kita terkejut sekaligus merenung. Ternyata, katanya, ”masih ada yang membutuhkan/bajunya yang kuno/di antara begitu banyak warna-warni/baju buatan”. Larik ini mengirim pesan semiotik: suka cita Lebaran (tentu dengan kemenangan di dalamnya) adalah panorama benda yang artifisial. Faktanya, situasi seperti ini memang acap tidak terhindarkan.

Dengan pola ucap demikian, sebaliknya dari Sitor, Jokpin menghadirkan ”parole”— mengacu pada Saussure—, yakni ujaran individu yang spesifik dan renik. Bulan dan Gadis Kecil berada dalam kisah sehari-hari. Efeknya, pembaca dimungkinkan dapat lebih akrab dengan ”bulan” Jokpin daripada ”bulan” Sitor. Personifikasi yang dijelmakan pada bulan dalam kisah si gadis kecil mengingatkan kita pada ”dunia kebermainan” anak-anak, dunia yang penuh imajinasi. Tentu ini bukan sebuah perbandingan yang menunjukkan sajak satu lebih unggul atau lebih lemah dari yang lain. Ini sebatas untuk menunjukkan pendekatan dan metode menulis yang berbeda.

Model penulisan yang menghadirkan ”parole” sedemikian secara umum merupakan karakteristik sajak Jokpin, baik dalam kumpulan ini maupun yang lain. Tentu saja, dalam proses kreatifnya, Jokpin berada di dalam persilangan dengan berbagai teks dari penyair lain.

Di dalam sajak-sajaknya kita dapat mencium, misalnya, ”narasi puitik” yang imajis Sapardi Djoko Damono dan renungan filosofis Subagio Sastrowardoyo. Namun, justru dengan persilangan teks sedemikian, kita menemukan posisi Jokpin yang menarik dalam peta perpuisian Indonesia. Hanya, untuk melihat hal itu, harus membacanya lebih saksama. Untuk itu, buku ini memiliki peran sangat penting. Khusus untuk mahasiswa sastra, saya merekomendasikan ”Baju Bulan” sebagai salah satu karya puisi yang wajib dibaca.

Acep Iwan Saidi | Ketua Forum Studi Kebudayaan ITB