Berdampakkah Kampanye Hitam Menjelang Pengumuman Hasil Pemilu bagi Milenial ?

0
181

Pelaksanaan Pemilu di Indonesia telah usai, tetapi efek Kampanye sendiri masih terasa dimana – mana menjelang pengumuman resmi KPU. Kampanye sendiri di Indonesia merupakan hal yang sangat lumrah yang berarti usaha atau tindakan yang dilakukan untuk mendapat dukungan dari warga Indonesia. Namun pada pelaksanaan, kampanye sering disalah gunakan oleh berbagai pihak atau yang sering kita kenal dengan istilah kampanye hitam.

Kampanye hitam jelas berbeda dengan kampanye negatif di mana pada kampanye negatif mengungkapkan kekurangan salah satu kandidat dengan fakta yang ada. Sementara kampanye hitam  lebih diartikan sebagai bentuk fitnah di mana mengungkapkan kekurangan tidak berdasarkan fakta yang ada atau hoaks. Pelaku dari penyebar hoaks bisa masuk katagori tindak pidana.

Terdapat sedikit keunikan pada pemilu 2019  ini, di mana generasi milenial dalam jumlah yang signifikan  berperan penting dan turut serta dalam menggunakan hak pilih mereka. Berdasarkan data Komisi Pemilihan Umum (KPU), jumlah pemilih milenial mencapai 70 juta–80 juta jiwa dari 193 juta pemilih. Artinya, sekitar 35 hingga 40 persen pemilih memiliki pengaruh besar terhadap hasil pemilu dan menentukan siapa pemimpin pada masa mendatang.

Mengapa unik ? kehadiran generasi milenial dengan karakter yang berbeda, diharapkan memberikan warna positif terhadap pemilu. Generasi milenial (acap disebut juga sebagai Gen Y yang lahir di antara awal 1980-an hingga awal 2000-an) dideskripsikan sebagai generasi yang ditandai oleh peningkatan penggunaan  sosial media dan teknologi digital. Dengan karakter ini, generasi milenial diharapkan dapat mengambil peran sebagai komunikator, fasilitator, dan mediator dalam transfer informasi yang masif pada pelaksanaan Pemilu 2019 ini.

Tujuan pemilu

Namun tetap saja segala sesuatu pasti ada positif dan negatifnya. Dilihat dari karakteristik generasi milenial justru mereka menjadi sasaran empuk kampanye hitam atau hoaks. Kondisi itu ditambah dengan kemajuan era digital di Indonesia sehingga membuat kampanye hitam menjadi semakin gampang diakses dan merajalela dimana-mana. Itu terjadi karena sebagian besar generasi milenial memiliki sedikit pengetahuan dan ketertarikan dalam dunia politik dan cenderung memanfaatkan media sosial sebagai sumber informasi yang cukup untuk menilai para kandidat.

Dapat kalian bayangkan hanya dengan jemari dari oknum tak bertanggung jawab, sebuah tulisan bisa memengaruhi perspektif dan menimbulkan ketegangan, perang dingin antara pendukung dari masing-masing kubu. Terlebih penggunaan bahasa yang provokatif juga  meningkatkan fitnah, kebohongan, rasa benci terhadap satu sama lain bahkan berakhir pada perpecahan bangsa kita sendiri.

Informasi  menyebar dengan sangat cepat dan dapat langsung ditelan begitu saja tanpa memastikan kebenarannya. Sebagai contoh, perhitungan hasil hitung cepat atau quick count di salah satu stasiun televisi dimana Prabowo menang, lalu setelah beberapa menit berubah menjadi Jokowi unggul dalam hitung cepat itu. Terkait hal tersebut, pihak stasiun tv  sudah memberikan klarifikasi melalui web dan akun Instagram resminya. Pihak stasiun tv tersebut menyatakan, terjadi kesalahan teknis dalam penayangan grafis data hasil sementara penghitungan cepat Pilpres 2019 pada pukul 15.12 WIB. Tetapi tayangan itu dimanfaakan oleh pihak pihak tertentu untuk melakukan serangan guna mendapatkan tujuan tertentu.

Sebagai warga Indonesia yang baik dan menjunjung tinggi demokrasi, kita harus kembali lagi memahami tujuan dari pemilu. Bukankah pemilu dilaksanakan untuk kemajuan bangsa kita sendiri? Bukankah pemilu merupakan titik batu loncatan untuk menuju Indonesia sejahtera? Lantas mengapa pelaksanaan pemilu justru mengakibatkan dampak yang sangat bertolak belakang dengan tujuan awalnya?

Sungguh tragis, bila pemilu di negeri ini ternyata bukan menghasilkan perbaikan kualitas demokrasi dan tatanan politik, melainkan justru memunculkan demokrasi semu dan praktik politik yang makin mengabaikan etika, moralitas, dan integritas. Untuk menangani hal ini kehadiran generasi milenial dengan karakter khas dapat memberi solusi yang cerah bagi Indonesia.

Generasi milenial dapat berpartisipasi dengan mengendalikan diri untuk tidak terjebak menggunakan teknologi untuk perilaku negatif

Dengan penguasaan teknologi informasi yang dimiliki, generasi milenial dapat berpartisipasi dalam meredam konflik komunikasi di media. Mereka juga bisa mereduksi pembuatan dan penyebaran berita hoaks, meluruskan informasi yang keliru, dan mendorong penggunaan “internet sehat”.

Generasi milenial juga dapat membantu aparat mendeteksi akun-akun media tak bertanggung jawab, ikut berpartisipasi dengan mengendalikan diri untuk tidak terjebak menggunakan teknologi untuk perilaku negatif. Contohnya tidak membuat dan menyebar hoaks dan perilaku lain yang melanggar UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Dengan kemajuan teknologi , generasi milenial diharapkan dapat menggunakan media social dan internet sebijak mungkin.

Pemilu yang aman, damai, sukses dan berintegritas adalah harapan dan cita-cita bangsa yang seharusnya lebih memberi dampak positif bagi bangsa Indonesia, namun itu tidak datang dengan sendirinya. Dibutuhkan komitmen yang kuat dari seluruh elemen bangsa, termasuk generasi milenial dan para stakeholders pemilu untuk mewujudkannya. Komitmen itu hanya dapat terbangun ketika semua pihak mau memaknai pilpres secara komprehensif. Bukan mengejar hasil semata, melainkan juga mematuhi peraturan tertulis maupun tidak tertulis (fatsoen) dalam proses pemilu, serta menghormati norma, etika, dan nilai-nilai persatuan dan kesatuan bangsa

Rizki Rahmatullah Noer, mahasiswa Kedokteran Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya Malang