Mempertanyakan Status Terbarukan pada Biomassa

0
512

Sekitar 27 persen konsumsi final energi Indonesia diperoleh melalui pembakaran biomassa. Pemerintah menyebutkan bahwa pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Biomassa (PLTBm) adalah bagian dari penggunaan energi baru terbarukan di Indonesia. Namun, ilmuwan di Amerika Serikat dan Eropa tengah menjalankan perlawanan terhadap penggunaan biomassa sebagai sumber energi terbarukan.

David Murphy dari St. Lawrence University menyebutkan, konsep biomassa sebagai sumber energi terbarukan muncul karena netralitas karbon yang terjadi. Biomassa, seperti kayu dan bahan pertanian, akan menghasilkan karbon ketika dibakar dan menghasilkan energi. Ketika pohon atau tanaman dimana biomassa dihasilkan ditanam kembali, hal tersebut akan menghisap karbon yang ada di atmosfir. Begitulah seterusnya sehingga tidak ada emisi gas rumah kaca secara netto yang dikeluarkan ke lingkungan.

biomassa tidak hanya menggunakan sisa-sisa perkebunan, tapi juga pohon dari hutan yang yang sehat

Tidak berbeda dengan yang dilakukan oleh negara barat dengan biomassanya, di Indonesia biomassa yang digunakan berasal dari sisa perkebunan. Tentunya sisa perkebunan memiliki nilai ekonomis yang sangat rendah jika tidak dibakar dan menghasilkan energi.

Seorang peneliti dari Princton University, Tim Searchinger, mengkritik konsep tersebut. Ia berargumen bahwa yang sebenarnya terjadi tidaklah seindah yang dibayangkan. Saat ini biomassa tidak hanya menggunakan sisa-sisa perkebunan, tapi juga pohon-pohon dari hutan yang benar-benar dalam kondisi yang sehat sempurna (David Sommerstein, 2016).

Perdebatan yang menaungi biomassa sebagai energi terbarukan terus berlanjut. John Sterman dari Massachusetts Institute of Technology (MIT) mengutarakan bahwa membakar kayu-kayu tersebut akan memperburuk perubahan iklim hingga tahun 2100, bahkan jika kayu menggantikan batubara (Saul Elbein, 2019).

Sterman mencapai hal tersebut dengan menghitung konsep yang menyebabkan biomassa tergolong sebagai energi terbarukan. Bersama dengan Bill Moomaw, profesor di Tufts University, utang karbon atau carbon debt adalah konsep perhitungan yang dibuat.

Pembakaran biomassa akan menghasilkan emisi karbon yang tehitung sebagai utang, pohon atau tanaman yang ditanam kembali akan mencerna emisi tersebut untuk mengurangi “utang” tersebut. Terhitung dibutuhkan 60 – 90 tahun untuk dapat “membayar utang” yang dihasilkan pembakaran biomassa.

Akademi Sains Eropa bahkan lebih pesimis dengan perhitungannya. Menurut mereka, satu abad adalah waktu yang paling mungkin agar netralitas karbon pembakaran biomassa dapat tercapai.

Masuk Ranah Hukum

Permasalahan biomassa tidak berhenti hanya di meja akademisi, tapi memasuki meja hijau pengadilan. Penggugat terdiri dari beberapa ahli berkewarganegaraan Estonia, Prancis, Irlandia, Rumania, Slovakia, serta Amerika Serikat. Mereka menyerang Renewable Energi Directive (RED II) yang menggunakan biomassa sebagai basis energi terbarukan Eropa di Pengadilan Umum Uni Eropa.

Bukti-bukti dari akademisi terkait pembakaran biomassa dibawa sebagai argumentasi utama. Mereka mencoba untuk menghancurkan konsep biomassa sebagai sumber energi terbarukan atau karbon-netral. Persoalan hukum ini tepat sasaran karena kebutuhan Uni Eropa saat ini berpangku kepada hampir 50 persen kepada biomassa untuk sumber energinya.

Tanggal 4 Maret lalu, kasus ini diajukan ke Pengadilan Umum Eropa di Luksemburg. Begitu hijaunya umur kasus ini menyebabkan kita belum dapat memastikan hasil yang akan dikeluarkan. Namun jika seandainya penggugat menang, konsep biomassa sebagai energi terbarukan akan hilang dan memengaruhi seluruh negara di dunia.

Jangan tutup mata

Bangsa Indonesia mungkin tengah asyik berpesta demokrasi di bulan April ini karena ada pemilihan presiden dan wakilnya, serta anggota legeslatif. Duniapun seakan melupakan Indonesia sebagai salah satu negara yang emisi gas rumah kacanya begitu besar. Dunia terlalu fokus kepada negara lain seperti Tiongkok, India, atau Amerika Serikat. Kondisi ini berpotensi besar melengahkan komitmen kita terhadap perlawanan atas perubahan iklim.

Nyatanya, dalam Rencana Upaya Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) PT PLN 2019 – 2028, kebutuhan pembangkit listrik di negara ini masih didominasi PLT Uap yang salah satu sumber eneginya adalah biomassa. Dominasi biomassa dalam bauran energi baru terbarukan kita tidak terlihat akan menurun untuk beberapa tahun yang akan datang.

Tidak lupa bagaimana begitu sedikitnya orang yang menaruh perhatiannya pada kasus hukum terkait biomassa di benua jauh di sana. Pesta demokrasi bahkan juga tidak menyentuh hal ini sama sekali pada debat calon presiden kedua yang bertemakan energi.

Perlu dicatat, seandainya kasus hukum dimenangkan penggugat, 27 persen konsumsi final energi yang hadir dari biomassa tidak akan lagi terhitung sebagai energi terbarukan.

Kondisi tersebut tentunya akan memberatkan pemerintah yang menargetkan 23 persen dan 31persen bauran energi baru terbarukan pada tahun 2025 serta 2050. Tidak hanya itu, komitmen bangsa ini pada Persetujuan Paris yang berjanji akan menurunkan emisi CO2 hingga 29 persen tanpa syarat juga akan disorot dunia.

Hal tersebut mengingat perhitungan emisi CO2 pada Persetujuan Paris masih menganggap biomassa sebagai sumber energi yang tidak menghasilkan emisi sama sekali. Persoalan ini harus menjadi pemikiran kita semua.

Reza Edriawan, mahasiswa Departemen Teknik Mesin Universitas Indonesia