Komunitas Typist Bergerak, Sahabat Para Teman Tuli

52
1225

Sebagian dari kita berpikir bahwa pemberian subtitle atau teks pada film dalam negeri tidak penting. Sebagian orang juga tidak tahu apa gunanya pemberian teks pada film yang juga menggunakan bahasa Indonesia. Hal itu berbeda bagi Bagja Prawira, Teman Tuli (sapaan bagi penyandang disabilitas tuli) yang kuliah di Kalbis Institute Jakarta Jurusan Komunikasi. Ia memiliki kesulitan memahami dialog dalam film Indonesia.

Pengalaman yang dialaminya membuat ia memikirkan nasib Teman Tuli lainnya saat menyaksikan film Indonesia. Hal tersebut yang akhirnya membuat Bagja terpikirkan untuk membentuk komunitas Typist Bergerak Indonesia (TBI).

TBI diresmikan pada 5 November 2018. Tentu saja upaya yang dilakukan Bagja untuk mendirikan komunitas Typist Bergerak tidaklah mudah karena ia harus mengumpulkan Teman-teman Dengar (sapaan bagi non penyandang disabilitas tuli) dan bekerjasama dengan komunitas lain.

“Pemerintah itu selalu menyerukan Ayo Cintai Film Indonesia, tapi ada kejanggalan karena pemerintah lupa di Indonesia itu tidak semua bisa dengar, ada juga yang tuli,” ujar Bagja saat ditemui di Kopi Tuli, Jakarta Selatan pada Selasa (22/1/2019).

Amanah Undang-undang 

Bagja mengungkapkan pendirian Typist Bergerak juga untuk menjalankan amanah Undang – Undang No.8 tahun 2016 mengenai penyandang disabilitas agar tidak sekedar hitam diatas putih dan dapat di implementasikan melalui Typist Bergerak. Dalam Undang-Undang No.8 tahun 2016 penyandang disabilitas memiliki hak yang sama, dapat mengakses fasilitas umum serta informasi.

Karena film juga media informasi untuk menambah wawasan, maka Bagja berpikir bahwa teman tuli tidak bisa mendengar layaknya Teman Dengar. Ia melihat peluang untuk mengajak Teman-teman Dengar melakukan aktivitas sosial salah satunya membantu Teman-teman Tuli untuk membuat teks pada film.

“Aku berharap dengan adanya TBI, Teman Tuli punya hak yang sama dan tidak dikotak-kotakan. Misalnya ada bioskop khusus tuli, aku tidak mau seperti itu,” lanjutnya. Ia ingin orang seperti dirinya sama dengan Teman Dengar. “Aku ingin bisa nonton bioskop bersama Teman-teman Dengar di berbagai bioskop di indonesia. Jadi, saat film itu tayang Teman Tuli juga ikut berdampingan dengan teman dengar,” jelas Bagja.

Jika tim produksi dari film tersebut menolak memberikan teks pada film, TBI akan melakukannya. Untuk pekerjaan itu Typist Bergerak tidak mengharuskan ada imbalan

Kegiatan dari Typist Bergerak antara lain adalah advokasi, yaitu menyampaikan aspirasi Teman-teman Tuli untuk diberikan teks pada film-film yang sebentar lagi akan tayang di bioskop. Jika tim produksi dari film tersebut menolak dengan alasan tidak ada waktu atau kurang biaya, maka TBI yang akan memberikan teks pada film tersebut. Untuk pekerjaan itu Typist Bergerak tidak mengharuskan ada imbalan. Sebaliknya jika sudah dibuatkan teks, maka penayangan film tersebut wajib menyertakan teks yang sudah dibuat.

Sepanjang TBI berdiri terdapat tiga film yang sudah mereka berikan teks, yaitu film “Sesuai Aplikasi”, kemudian film dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan yang berjudul “Bintang Ketjil” produksi tahun 1963 yang di restorasi dalam bentuk digital. Terakhir film “Keluarga Cemara” yang saat ini masih tayang di bioskop dan di advokasi oleh Annisa Rahmania (Teman Tuli) secara individu dan didukung oleh Typist Bergerak Indonesia.

Berikutnya juga ada pelatihan volunter, total pelatihan volunter terdiri dari tiga gelombang. Kegiatan sudah berjalan di gelombang pertama pada 19 Januari 2019. Pada pelatihan volunteer mereka diajarkan cara bersikap antara Teman Dengar dan Teman Tuli, mengenal lebih jauh budaya tuli, bagaimana cara membuat teks dengan perangkat lunak dan masih banyak lagi.

Total volunter Typist Bergerak saat ini 250 orang, tersebar diberbagai provinsi di Indonesia, antara lain Jakarta, Semarang, Yogyakarta, Bali. Para pengurus berkolaborasi dengan para volunter untuk menjadikan perfilman nasional di Indonesia sadar tanpa perlu diingatkan kembali akan pentingnya teks meskipun dialognya menggunakan bahasa Indonesia. Kelak mereka berharap tidak ada lagi yang tidak menyertakan teks didalam film.

Kebijakan itu mereka nantikan sebab amat membantu para Teman Tuli yang selama ini terkendala memakai bahasa isyarat yang setiap daerah berbeda-beda. Dengan adanya bantuan teks dapat menjadi pemersatu bagi teman-teman tuli di Indonesia.

Alicia Fatmawati, mahasiswi STIKOM London School Of Public Relations Jakarta