Merayakan Bahasa Daerah

54
503

Selain beragam suku, Indonesia memiliki ragam bahasa daerah. Mereka yang hidup di perantauan harus beradaptasi dengan bahasa dan budaya baru. Susah sih. Tetapi, itu pengalaman yang berharga.

Irfan Kristiawan (18) sudah dua tahun menetap di Yogyakarta. Dia adalah mahasiswa Semester IV Hubungan Internasional, Universitas Islam Indonesia (UII). Irfan sendiri berasal dari Kota Sampit, Kalimantan Tengah. Sebagai mahasiswa rantau di tanah Jawa, dia tidak merasa risi dengan penggunaan bahasa Jawa di lingkungan kampusnya.

”Aku enggak terlalu kaget sih, temen-temen sendiri waktu awal kuliah pake bahasa Jawa yang mudah dimengerti, kayak ora, iso, sopo,” ujarnya.

Meski mulai mengerti bahasa dan dialek Jawa, dia mengaku masih suka menggunakan bahasa asli daerah asalnya, Kalimantan Tengah, yaitu bahasa Banjar untuk berkomunikasi dengan teman sekampusnya yang berasal dari daerah Kalimantan.

”Pake bahasa Banjar itu karena dari kecil udah pake bahasa itu. Kalau harus terus ngomong bahasa Indonesia atau Jawa, kayak ada yang kurang gitu,” kata Irfan, Rabu (21/1).

Dia menceritakan, selain dengan teman sekampus, dia juga membiasakan diri berbahasa Banjar dengan rekannya yang berada di kampung lewat telepon. Irfan memiliki harapan mulia, yakni mahasiswa tidak melupakan bahasa dari daerah asalnya.

Pengalaman berbeda dialami Aulia Rahmadiani (21), mahasiswi yang besar di Jakarta. Saat kuliah di Fakultas Pertanian, Universitas Jenderal Soedirman, dia harus pindah ke Purwokerto, Jawa Tengah, yang bahasa sehari-hari warganya adalah bahasa Jawa dengan aksen banyumasan atau yang dikenal dengan ngapak.

”Sewaktu maba (mahasiswa baru), saya sama sekali tidak paham bahasa Jawa. Jadi, ketika ada seseorang yang berbicara dengan saya menggunakan bahasa Jawa, saya cenderung hanya tersenyum tanpa mengerti artinya. Saya kadang mengalihkan pembicaraan dengan bahasa Indonesia,” kata Aulia.

Lestarikan bahasa

Sebagai generasi muda, melestarikan bahasa daerah merupakan hal yang patut terus dilakukan. Sebab, bagaimanapun juga, generasi muda adalah penerus bangsa dan segala kebudayaan Nusantara nantinya.

Data Badan Bahasa, ada 652 bahasa yang telah terdokumentasikan hingga saat ini. Meski begitu, bahasa daerah ini juga terancam karena berbagai hal, seperti kurangnya penutur, dianggap kurang bergengsi, dan transisi budaya yang tidak disertai pewarisan bahasa.

Badan Bahasa memastikan 11 bahasa daerah di Indonesia dikategorikan sudah punah, 4 bahasa kritis, dan 19 bahasa terancam punah, 2 bahasa mengalami kemunduran, dan 16 bahasa berada dalam kondisi rentan. Secara keseluruhan, di Indonesia ada 652 yang terdokumentasikan, dan baru 71 bahasa daerah yang akhirnya bisa diuji daya tahannya (Kompas, 21/2).

Kurangnya penutur menjadi penyebab punahnya bahasa. Banyak pegiat bahasa berharap agar generasi muda mau dan tidak gengsi berbahasa daerah di mana pun berada, sesuai situasi dan kondisi yang ada. Sebab, jika membiasakan diri berbahasa daerah, kelestarian bahasa akan tetap terjaga.

I Gede Anantha Kusuma (21), mahasiswa Jurusan Hubungan Internasional di Universitas Veteran Yogyakarta, mengaku masih suka menggunakan bahasa Bali meski telah 4 tahun berada di tanah Jawa. Ia menggunakan bahasa Bali untuk berkomunikasi dengan teman kampusnya, yang juga berasal dari Bali.

Menurut dia, dengan tetap berkomunikasi dalam bahasa daerah, dia tetap ikut membantu melestarikan bahasa daerah. Ia berujar, ”Bahasa daerah itu banyak untungnya, siapa tahu yang berjualan juga bisa bahasa daerah yang sama, jadi bisa dapat diskon, ha-ha.”

Riyan Nurrahman/Magang Kompas Muda/Mahasiswa Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto