Kolaborasi Milenial: Dua Jam yang Bikin Tegang

0
486

Riuh, heboh, tegang, panik, tetapi asyik. Begitu yang diakui 35 desainer muda alumnus berbagai perguruan tinggi, Jumat (27/10) lalu, merombak tampilan koran ”Kompas” edisi khusus Hari Sumpah Pemuda. Saking tegangnya, anak-anak muda yang baru pertama kali merasakan dikejar tenggat koran itu, sampai tak nafsu makan walau perut sudah keroncongan.

Meski begitu, mereka tak menyerah. Di ujung tenggat (deadline), mereka bisa menyelesaikan semua pekerjaan. Dan, anak- anak muda milenial dan awak redaksi Kompas bisa bernapas lega.

Mendapat tantangan mengubah wajah 32 halaman harian Kompas edisi perayaan Sumpah Pemuda jelas tak mudah. Bukan hanya bagi para desainer muda yang datang dari komunitas Atreyu Moniaga Project wadah para seniman lintas disiplin tapi juga bagi redaksi Kompas. Di antara para anak muda itu ada Lala Bohang, Agra Satria dan Mata Studio, Pola Artistria, Trive, Galih Sakti, Tommy Candra serta Sandi Karman. Mereka bekerja di bawah koordinasi David Irianto, desainer lulusan Universitas Bina Nusantara Jakarta.

Para seniman muda yang terbagi dalam lima tim itu mengerjakan halaman berbeda. Mereka mendapat keleluasaan mengekspresikan diri dengan medium sebuah koran. Mulai dari tata letak koran, grafis, warna dan model foto, garis dan pola abstrak, karikatur, hingga pola antarhalaman.

Ide ”gila” mengubah wajah Kompas datang dari Andi Sadha yang tergelitik saat membaca tulisan di Kompas berjudul ”Ribut Politik? Maaf, Kreator Muda Sibuk Berkarya”. Kebetulan ia kenal dan sering bekerja sama dengan para desainer grafis muda. Ia kemudian mengajak anak-anak muda itu untuk berkolaborasi dengan Kompas, koran yang punya format desain klasik dan elegan. ”Ternyata Kompas menyambut baik. Kami dipersilakan mewujudkan gagasan ini,” ujar Andi.

Problemnya waktu untuk berkolaborasi sangat mepet. Ide disampaikan ke redaksi Kompas pada Selasa (24/10). Para desainer muda mengirimkan mokap desain pada Kamis (26/11) sore. Mulai Jumat siang, para desainer sudah bekerja bersama para wartawan dan desainer Kompas.

Kompas/Agus Susanto

Semangat

Bak pasukan hendak perang, semangat para desainer muda begitu membara. Jumat siang, David membagi mereka menjadi lima kelompok untuk mengerjakan per seksi (misalnya halaman satu dan halaman politik dan hukum). Siang sampai malam, anak-anak muda usia di bawah 35 tahun itu masih bisa tertawa sambil mengunyah pastel dan kacang.

Suasana berubah drastis ketika waktu menunjukkan pukul 21.15. Kurang dua jam lagi tenggat tiba. Ruang rapat redaksi yang ”dibajak” para ilustrator, desainer grafik, juga seniman visual ini jadi riuh. Pasalnya, dari 32 halaman yang dirombak ulang, belum ada yang benar-benar selesai.

Mutiara Suryadini (21) bolak-balik mengecek aplikasi Photoshop, dengan laman Google Drive di laptopnya. Dia, bersama rekan-rekannya yang lain membuat desain di Photoshop, lalu memasukkannya ke penyimpanan yang bisa dicek bersama.

”Ini header halaman Nusantara belum ada yang ngerjain? Tadi kan gue udah minta,” ujarnya. ”Yang bantuin lay out siapa? Siapa yang enggak pegang laptop?” kata rekan di sebelahnya. ”Trus colour-nya bagaimana? Halaman Sosok gimana?” tanya Mutiara lagi.

Suasana semakin tegang, ketika Rianto, Wakil Manajer Produksi Bidang Grafis Kompas masuk ruangan. ”Hi, deadline is calling,” teriaknya.

Ia meminta para desainer bekerja lebih cepat dan segera memasukkan file yang sudah selesai ke dalam sistem. Pasalnya, masih ada proses editing tulisan, penyuntingan, dan pengecekan terakhir tiap halaman sebelum naik cetak. Janeeve Timora, Manajer Atreyu Moniaga Project, pun bolak-balik ke ruang produksi-rapat redaksi untuk mengecek pekerjaan tim.

Para koordinator tim mengoordinasi rekannya agar bekerja lebih cepat. Panik dan tegang. Apalagi, menjelang pukul 00.00, masih ada halaman belum tuntas. Paragraf yang bertumpuk atau ada bagian yang isinya tertukar edisi seminggu sebelumnya. Pukul 00.30, ketika halaman terakhir selesai dan siap dicetak, Mutiara sudah mampu tertawa lebar.

”Enggak nyangka kalau koran itu dibikinnya kayak gini tiap hari. Deg-degan banget nih, tapi senang,” tambah lulusan Universitas Bunda Mulia ini yang tergabung di Atreyu Moniaga Project.

Janeeve dan kawan-kawan lain tampak terduduk lemas walau sudah lega. Tumpukan kotak makan malam yang sejak petang tersedia di sisinya nyaris tak tersentuh. ”Sampai enggak nyadar banyak makanan di sini, tapi memang tadi enggak pengin makan,” sambungnya.

Di ruang sebelah, Ravi, desainer alumnus Universitas Multimedia Nusantara baru sadar mendesain halaman koran yang terbit setiap hari enggak mudah. ”Haduh jantung gue berdebar kenceng. Baru gue sadar, ternyata susah. Gimana kalau nanti tiba-tiba ada perubahan berita, enggak kebayang deh. Beda banget dengan ngerjain desain buat majalah,” urainya.

Berubah total

Halaman depan Kompas 28 Oktober lalu diubah total. Judul berita utama berada di tengah membelah koran dari atas ke bawah dengan warna latar merah, dan huruf hitam. Desain judul yang berani ini seperti ”mengupas” koran sekaligus menunjukkan eksistensi pemuda yang merancangnya.

Di halaman akhir pekan, dari halaman 23 hingga 26, para desainer muda mengubah total desain dan tampilan koran. Jejak yang membentuk jalan sambung menyambung di empat halaman Kompas.

Lala Bohang, ilustrator yang merombak halaman itu, mengungkapkan, dasar desain itu sebenarnya ingin menunjukkan bahwa dunia anak muda itu saling terkoneksi dengan tujuan yang kurang lebih sama. Ada baiknya jika perjalanan dilakukan bersama-sama sehingga akan menghasilkan dampak lebih besar.

”Ini dari halaman 23 terkoneksi sampai halaman 26. Di sini itu kita ingin bilang kalau kita merangkum yang berbeda, tetapi eksplorasi yang kita lakukan sebenarnya sama. Sekarang kan kita semakin berbeda-beda, tetapi tujuannya sama. Nah, kalau bareng-bareng kan lebih asyik, hasilnya juga lebih bagus,” kata Lala yang juga penulis ini.

Kolaborasi bersama Kompas membuat Lala bangga. Ia merasa mendapat pengalaman tak ternilai, tetapi juga takut tidak memberikan hasil yang sesuai bayangan pembaca Kompas.

Setelah koran dicetak, muncul banyak tanggapan atas kolaborasi ini. Tak sedikit yang mengkritik, tetapi banyak juga yang mengapresiasi keberanian dan kesegaran yang ditampilkan.

Agra Satria menyatakan, secara pribadi mendapat banyak manfaat dari kolaborasi ini. Pemenang sayembara logo 72 Tahun Indonesia ini benar-benar gembira bercampur gemetar saat proses produksi berlangsung. Dia tidak menyangka mendapat kesempatan mendesain ”ruang sakral” Kompas.

Menurut Agra, kolaborasi ini menunjukkan bahwa semangat kerja sama harus terus ada, bahkan di antara generasi yang berbeda.

Kapan-kapan kita kerja bareng lagi ya.

Tulisan ini sudah dimuat di Harian Kompas, Jumat 3 November 2017