[Finalis Kompetisi Esai]-“SEANDAINYA SAYA ORANG INDONESIA”

1
1745

“SEANDAINYA SAYA ORANG INDONESIA”

Gambaran Industri Kreatif Nasional di Tahun 2045

Oleh Michelle Marietta Secoa

K-pop membuat saya mencintai sebuah negeri indah bernama Korea Selatan. Saya belum pernah singgah dan mencicipi kulinerya. Saya belum pernah melihat Pulau Jeju atau bangunan megah di Seoul dengan mata kepala sendiri. Saya belum pernah berbelanja dan mencoba langsung pakaian di toko-toko Korea. Tapi mengapa saya suka berpikir, “seandainya saya orang Korea” untuk bisa menikmati langsung semua hal itu?

            Pemikiran di atas merupakan hasil refleksi pribadi terkait seberapa jauh industri kreatif dapat memengaruhi pemikiran, perasaan hingga tindakan individu. Dari Korea Selatan, saya merenungkan betapa hebatnya kekuatan integrasi industri kreatif mereka sehingga mampu mendorong pengaruh hingga menembus batas bahasa dan kebudayaan. Orang berlomba-lomba menunjukkan kecintaannya dan ‘rasa kepemilikannya’ terhadap Korea Selatan, di mana ketika mereka memakai produknya, mereka merasa bangga. Di titik inilah industri kreatif bukan lagi sekadar bisnis yang diperjualbelikan, namun telah menjadi gaya hidup suatu negara yang ditawarkan dan diterima secara luas.

            Industri kreatif nyatanya mampu menyumbang sumbangsih besar pada daya tawar sebuah negara. Lebih dari itu, fenomena K-pop, J-pop atau Telenovela dapat menjadi gerbang pembuka kemajuan ekonomi dan politik. Sepertinya, industri kreatif mulai menjadi primadona pemerintah dalam memanfaatkan soft power untuk merebut pangsa pasar. Beberapa puluh tahun ke depan, ketika tidak dapat lagi mengandalkan pasokan alam, hal yang bisa dilakukan adalah memaksimalkan kemampuan manusia dan daya ciptanya untuk memenangkan kompetisi global. Karena itulah, ketika membicarakan usia Indonesia ke-100 nanti, tak ada salahnya kita mengharapkan kemajuan industri kreatif nasional sehingga dapat dinikmati secara massal dan banyak orang akan mengatakan “seandainya saya orang Indonesia…”.

Indonesia dan Industri Kreatif

             Mari sejenak melihat kondisi saat ini. Kabar baiknya, industri kreatif semakin digiatkan, mengingat ranah ini menyumbang persentase yang tidak sedikit pada perekonomian. Hal ini terbukti pula dari prioritas pembangunan di sektor pariwisata dan kebudayaan yang dicanangkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (2015-2019) dan Jangka Panjang (2019-2015). Usaha mengelola kekayaan kreatif juga terlihat dari didirikannya Bekraf tahun 2015 silam. Dari 16 subsektor, Bekraf sendiri telah menargetkan fokus pada beberapa sektor dominan yang berhasil menyumbang pendapatan terbesar, seperti kuliner, fashion, dan kriya yang bahkan telah didorong untuk menembus pasar internasional. Lebih jauh, terlihat pula ambisi dan idealisme para pemain baru yang bermunculan terutama dalam bidang desain komunikasi visual dan temuan aplikasi digital berbasis startup.

            Di sisi lain, kendala yang ada mungkin dapat mematahkan semangat generasi muda untuk memperjuangkan kepopuleran industri kreatif di dalam maupun luar negeri. Menurut Survei Khusus Ekonomi Kreatif Bekraf, mayoritas bermasalah pada lingkup pemasaran produk kreatif yang terbatas di kota atau kabupaten, kurangnya bantuan dana dari institusi keuangan maupun modal asing, rendahnya edukasi dan riset hingga permasalahan infrastruktur pendukung. Bahkan, hampir 90% pelaku kreatif ternyata belum menggandeng Hak Kekayaan Intelektual (Bekraf & Badan Pusat Statistik, 2017). Lalu, bagaimana? Masihkah kita harus optimis?

Generasi Muda dan Industri Kreatif

            Diluncurkannya buku “Skenario Indonesia 2045” oleh Lembaga Ketahanan Nasional menjadi tanda baik bagaimana pemerintah saat ini mulai memikirkan nasib Indonesia, termasuk masa depan industri kreatif. Kelak, penduduk Indonesia yang mencapai lebih dari 300 juta jiwa akan dipenuhi oleh mereka yang berada di usia produktif. Peradaban manusia akan mencapai puncaknya di era informasi yang semakin canggih. Di titik inilah Indonesia mendapatkan kesempatan untuk memisahkan diri dari daftar negara berkembang untuk menjadi negara terdepan yang mengandalkan industri kreatifnya. Dalam kurun waktu tersebut, bukan hal yang mustahil untuk melihat industri kreatif Indonesia akan menopang seluruh beban perekonomian negara. Yang terpenting dari tugas generasi muda adalah menjadi garda terdepan untuk memastikan kesiapan linear ketiga aspek, yaitu produksi, distribusi dan pencarian konsumen global. Lagi-lagi menurut saya, solusi haruslah datang dari dalam negeri. Percuma saja jika terdapat kerjasama bilateral, tetapi Indonesia sendiri ternyata belum siap menjalaninya. Karena itu, penting bagi generasi muda untuk mengenal potensi industri kreatif yang ada di seluk-beluk provinsinya masing-masing, sehingga pemetaan produk dan jasa ke dalam tingkatan kesiapan ekspor dapat mudah dilakukan. Setelah itu, masalah bukan lagi terletak pada kesiapan, tetapi bagaimana kita dapat melakukan pendekatan dan penyesuaian bentuk maupun pemasaran industri kreatif Indonesia agar mudah dilirik setiap negara.

            Dari semua hal itu, dalam kasus Indonesia, tantangan terbesar menurut saya adalah pada bagaimana kemampuan generasi muda dalam menggerakan dan mengikat kebhinekaan dan keragaman produk kreatif dalam satu label, yakni “Indonesia”. Selama ini, beberapa hal yang menonjol dari Indonesia seperti pantai Kuta di Bali, kain batik, atau bahkan perancang busana Tex Saverio dan pemusik jazz Joey Alexander kadang dilihat secara terpisah karena tidak banyak yang mengetahui asalnya. Kesadaran warga internasional akan pelaku dan produk kreatif harus dibarengi dengan kesadaran akan eksistensi Indonesia sebagai tuan rumah. Sejalan dengan itu, pemberlakuan terhadap paten, hak cipta dan merek juga harus terus diusahakan agar industri kreatif Indonesia tidak kehilangan identitasnya. Hingga akhirnya, generasi muda dapat memaksimalkan betul sektor pariwisata daerah sebagai tujuan tertinggi karena mampu menggerakan massa dari luar untuk berkunjung langsung.

            Kolaborasi nasional haruslah kuat terlebih dahulu, barulah industri kreatif Indonesia dapat bermain di arena global. Salah satu keunggulan generasi muda yang saya lihat adalah sikap keterbukaan dan penghargaan yang tinggi terhadap kreasi seni, budaya dan teknologi dibandingkan generasi sebelumnya. Bekal inilah yang harus dibawa oleh kami, pemuda-pemudi yang nantinya akan duduk di berbagai lapisan institusi swasta dan negara, agar mampu menciptakan iklim yang kondusif dan suportif bagi perkembangan industri Tanah Air. Ditambah dengan fleksibilitas dalam menguasai teknologi, jejaring sosial dan aktivasi digital, generasi muda Indonesia diharapkan mampu membawa industri kreatif Indonesia ke cakupan pasar internasional. 28 tahun lagi, semoga saya dan generasi saat itu dapat membawa industri kreatif Indonesia agar bisa dinikmati oleh siapa saja dan mendengar orang-orang berdecak kagum sambil berkata, “coba seandainya saya orang Indonesia…”.