Romantisisme Gerakan Mahasiswa

50
1200

Hampir dua dekade silam Soeharto lengser dari jabatannya sebagai Presiden Indonesia kedua. Ia mengakhiri tahta kepemimpinan terlama di republik ini. Tiga puluh dua tahun memimpin, pria yang membacakan kemunduran dirinya sebagai presiden pada 21 Mei 1998 silam membawa perubahan dan kenangan bagi masyarakat Indonesia yang tersisa hingga saat ini.

Keruntuhan kuasa Soeharto tidak lepas dari peran pemuda yang saat itu masih satu tujuan, menuntut kesejahteraan rakyat. Dengan semangat yang menggelora, pemuda angkatan 98 diwakili mahasiswa turun ke jalan. Didukung barisan rakyat di belakangnya, mahasiswa merangsek gedung perwakilan rakyat dan mendudukinya sebagai puncak dari runtuhnya Orde Baru yang telah berkuasa tiga dekade.

Perjuangan mahasiswa bersama elemen masyarakat menghasilkan peralihan zaman. Orde Baru tumbang dan tumbuh Era Reformasi yang mengusung kebebasan bagi rakyat menyuarakan pendapat. Bermacam harapan juga digantungkan di era yang menandakan gantinya kekuasaan, terlebih kesejahteraan rakyat yang semakin baik.

Sayang 19 tahun berlalu, perjuangan ribuan mahasiswa dan berbagai lapisan masyarakat belum sepenuhnya terwujud dalam pemerintahan yang telah lima kali berganti ini. Isu kemiskinan masih menjadi topik hangat perbincangan di tengah kehidupan masyarakat. Dan, yang paling disayangkan ketika mahasiswa yang diagungkan menjadi agen perubahan, kini terlena dengan kenyamanan di bawah kepentingan masing-masing tanpa melihat kesengsaraan rakyat di sekitarnya.

Menostalgia Pergerakan Mahasiswa

Siapa yang tidak mengenal sosok Soe Hok-gie? Pemuda keturuan Indo-Cina yang menjadi motor pergerakan mahasiswa, khususnya Universitas Indonesia. Gie –sapaannya– terlibat dalam berbagai pergerakan mahasiswa mengkritisi kebijakan Soekarno yang pada zamannya masih menjabat sebagai presiden pertama.

Gie merupakan mahasiswa pergerakan di era 60-an. Bersama teman-teman pecinta alam-nya, ia mencoba masuk ke dalam struktur organisasi intra-kampus di Fakultas Sastra UI yang kini berubah menjadi Fakultas Ilmu Budaya. Selama di dalam kampus yang jadi rumah keduanya, Gie melakukan perlawanan terhadap ideologi Komunis yang sedang berkembang di Indonesia.

Dalam Soe Hok-gie Sekali Lagi…(2016) digambarkan bahwa perlawanan mahasiswa era itu berskala nasional. Mereka tidak terlalu fokus pada permasalahan yang ada di dalam kampusnya masing-masing. Hal itu dapat diartikan bahwa pergerakan mahasiswa di Orde Lama dapat membantu rakyat sebagai penyambung lidah pada pemerintah untuk membuat kebijakan yang berpihak kepada rakyat.

Akan tetapi sayang, angkatan 60-an pergerakan mahasiswa tiba-tiba kehilangan Gie yang pernah menggerakan mahasiswa dari Rawamangun-Salemba. Pemuda yang sangat idealis ini harus kehilangan nyawa di puncak tertinggi Jawa, Gunung Semeru, Jawa Timur tepat satu hari sebelum ulang tahun ke 27-nya. Malang nian nasibnya, juga negara yang harus ditinggalkan dengan kondisi baru beralih zaman.

Masuk ke era baru, berbagai kritik terhadap pemerintah dibungkam, termasuk dari pergerakan mahasiswa. Pemerintah yang otoriter membuat kebijakan Normalisasi Kebijakan Kampus (NKK) dan membentuk Badan Koordinasi Kemahasiswaan (BKK). Tujuan aturan ini agar mahasiswa dapat kembali ke kampus dan tidak melakukan kritik terhadap pemerintah. Mahasiswa dipantau kegiatannya di dalam kampus.

Kebijakan ini lah yang menjadikan mahasiswa mencari cara lain untuk melakukan perlawanan, salah satunya dengan pers mahasiswa. Menjadi media alternatif, pers mahasiswa mengangkat isu nasional. Tapi selayaknya media nasional saat itu, persma tak lepas dari pemberedelan akibat pemberitaan yang terlalu mengkritisi pemerintah.

Pucak kemarahan mahasiswa terhadap pemerintah kembali lahir saat penurunan Soeharto sebagai presiden. Mahasiswa dengan berbagai latar belakang tumpah-ruah dalam aksi yang digelar di gedung wakil rakyat. Organisasi dari masing-masing mahasiswa lebur dalam satu kata “perjuangan”.

Menanti (Lagi) Gerakan Mahasiswa

Pergerakan mahasiswa tercatat sudah ada sejak kolonialisme masih berkuasa di Nusantara. Sebut saja dengan berdirinya Budi Utomo (1908), Peristiwa Rengasdengklok (1945), Sumpah Pemuda (1928) dan Reformasi (1998) diprakarsai pemuda. Di zaman itu, pemuda bersatu demi kepentingan bersama.

Kini, di zaman serba mudah tapi kesengsaraan rakyat masih dirasa, mahasiswa jarang turun ke jalan membela kepentingan bersama. Jajak pendapat Kompas Oktober 2015 menghasilkan 70 persen responden berpendapat perjuangan mahasiswa kini tidak berpihak pada masyarakat, tapi kepentingan diri sendiri.

Dalam artikel berjudul Simpang Jalan Gerakan Mahasiswa (Kompas, 8/6) redupnya perjuangan mahasiswa akibat pragmatisme dan apatisme yang kini membelenggu pemuda. Mahalnya biaya pendidikan dan tuntutan lulus maksimal lima tahun juga menjadi faktor penyebab redupnya perjuangan mahasiswa.

Mahasiswa secara umum hanya menyuarakan pendapat, berdemo turun ke jalan hanya saat momen tertentu. Sebut saja kelahiran Pancasila 1 Juni kemarin. Seakan hanya ingin memberi tahu masih ada mahasiswa di Indonesia ini, hanya sebatas itu. Karena setelahnya tidak ada lagi kabar kumpulan mahasiswa ini. Dan, mereka akan muncul di momen lain selanjutnya.

Pola mahasiswa seperti ini dapat dirasakan pasca-reformasi 98 hingga sekarang. Mahasiswa tidak lagi memikirkan kepentingan rakyat, karena mereka hanya memikirkan apa yang mereka dapatkan. Tanpa perlu NKK/BKK, mahasiswa kini sudah mengandangkan dirinya di kampus. Mereka sudah sibuk dengan tugas kuliah dan kepentingan masing-masing.

Tapi bukan berarti di lingkup kampus mereka menjadi aktif dengan mengkritisi kebijakan universitas. Mahasiswa kehilangan jati diri, mereka kuliah tanpa aktif organisasi, lulus cepat dan bekerja untuk diri sendiri. Tidak sempat memikirkan kepentingan rakyat seperti kondisi para pejabat negara yang semakin sering korupsi. Mereka juga enggan melihat masih banyak anak putus sekolah.

Sekarang, kita hanya dapat menunggu titik balik pergerakan mahasiswa. Melihat kembali forum diskusi yang penuh sesak dengan orang duduk bersama membahas kesejahteraan rakyat. Dan, yang paling penting, jangan sampai mahasiswa kehilangan identitas yang selama ini melekat sebagai agen perubahan karena enggan memikirkan kepertingan bersama.

Eko Ramdani

Mahasiswa dan Pengurus Lembaga Pers Mahasiswa Institut UIN Jakarta

Artikel ini dalam versi cetak lebih ringkas dimuat di harian Kompas edisi Jumat 23 Juni 2017 dengan judul “Romantisisme 1998”