Pementasan kelompok teater MuDA dari Jepang saat penutupan Festival Teater Jakarta di Teater Jakarta, Taman Ismail Marzuki, Jakarta, Jumat (9/12). Kompas/Riza Fathoni

Festival Teater Jakarta menghadirkan kelompok seni pertunjukan asal Jepang, hyper performance group MuDA, sebagai penutup perhelatannya. Sebuah penutup yang unik, karena karya mereka, ”Semegiai Random 2”, bahkan telah jauh melepaskan diri dari batasan pengertian maupun pengertian tentang ”teater”, ”tari”, ataupun ”musik”.

Komunikasi” adalah kata kunci yang berulang kali disebut-sebut sutradara MuDA Takahiko Fukui untuk memahami karyanya, dan beginilah cara Fukui menampilkan ”komunikasi” itu. Panggung yang serba gelap, orang-orang yang nyaris tak terlihat, musik yang memekakkan telinga, suara gemerincing rantai yang memiriskan, serta tubuh beradu lantai panggung.

Panggung Teater Jakarta di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, memang nyaris gulita sepanjang 30 menit pertunjukan MuDA. Lampu-lampu putih yang menyorot dari arah panggung seperti malas menerangi, lantaran panggung sepenuhnya kosong, tanpa obyek yang tersorot, apalagi memantulkan sinarnya. Pun ketika satu demi satu awak MuDA berjalan menjelajah panggung.

Empat orang itu tetap nyaris tak terlihat, karena berbaju serba hitam, terlalu samar untuk disorot cahaya lampu samping panggung. Mata masih memicing dan mencoba mencari apa yang terjadi di atas panggung, ketika dua sosok manusia terlihat berhadapan, seperti akan berduel.

Ah…, bukan…, mereka bukan terlihat seperti akan berduel. Mereka benar-benar saling menerjang, bertabrakan, beradu badan dengan keras. Seperti sepasang pegulat, mereka saling memiting, bergulat, dalam hitungan sepersekian detik saling memindah titik tumpuan berat badan, mencuri kesempatan membanting yang lain. Yang satu terbanting, yang membanting segera mencari cara mengunci yang dibanting, sepertinya pertarungan itu akan segera usai.

Namun, pertarungan dalam gelap-gulita itu tak segera usai. Orang ketiga mendekat, menyerang yang unggul hingga terpelanting menjauh. Alih-alih menolong, ia justru menerjang yang kalah. Yang kalah tetap kalah, hanya berganti ”penguasa”, sampai datangnya orang keempat. Yang keempat pun menyerang yang unggul, menyingkirkannya, lalu lagi-lagi menyerang yang kalah. Untuk ketiga kalinya, yang kalah berganti lawan, dan tetap terkunci di lantai panggung. Mereka yang unggul lebih seperti serigala berebut mangsa, ketimbang dewa penyelamat yang menolong korban.

”Siklus” berulang-ulang terjadi, hingga salah satu dari mereka menyeret sebuntalan kain besar yang diikat rantai. Kini, rantai bergemerincing karena orang- orang saling berebut buntalan kain hitam itu. Gemerincing rantai beradu keras dengan raungan musik, dan gemerincing itu menjadi semakin keras ketika pertarungan di antara keempat awak MuDA semakin mengganas.

Masih dalam kegelapan, mereka saling menerjang, membanting, dan menyeret yang lain. Yang kalah berusaha mencengkeram buntalan kain hitam, hingga terseret oleh tarikan para ”serigala” yang terus saling berebut. Pertarungan itu semakin ganas, ketika mereka bukan saling merebut buntalan kain itu. Mereka kini saling merangsek siapapun yang membawa buntalan kain yang kian lama kian terurai. Masih dalam gelap yang gulita, dengusan mereka semakin terdengar jelas, menegaskan sengitnya pertarungan, hingga akhirnya buntalan kain itu terlempar keluar panggung.

Tabrakan

Takahiko Fukui memang punya cara ekstrem untuk menegaskan satu gagasan dasarnya, ”komunikasi”. Fukui menyebut, benturan dan tabrakan di antara sesama pelakon dalam ”Semegiai Random 2” itu adalah bentuk paling intens dan padat dari komunikasi.

”Kami terlihat melakukan benturan yang keras, tapi jangan khawatir, kami tidak saling mencederai. Kami bisa tak saling mencederai, justru karena kami saling memahami apa yang akan dilakukan yang lain. Sesaat sebelum terjadinya tabrakan di antara kami adalah saat ketika kami saling berkomunikasi dengan sangat intens dan padat. Bagi saya, itu sama dengan perjumpaan di antara sesama manusia. Misalnya, orang lain bertanya sesuatu kepada kita, lalu kita jawab. Bagi saya, itu sama dengan tabrakan yang ada dalam pertunjukan kami,” kata Fukui.

Panggung ”Semegiai Random 2” bukan hanya berisi benturan di antara sesama awak MuDA. Separuh kedua pertunjukan Fukui dan kawan-kawannya itu adegan para pemain membenturkan tubuh ke lantai panggung secara berulang-ulang, sangat cepat. Setiap satu tubuh jatuh bakal disusul oleh satu tubuh yang berdiri, dan setiap tubuh yang berdiri, akan disusul tubuh lain yang jatuh berdebum keras di lantai panggung. Berulang-ulang, lagi, lagi, dan lagi.

Pementasan kelompok teater MuDA dari Jepang saat penutupan Festival Teater Jakarta di Teater Jakarta, Taman Ismail Marzuki, Jakarta, Jumat (9/12). Kompas/Riza Fathoni
Pementasan kelompok teater MuDA dari Jepang saat penutupan Festival Teater Jakarta di Teater Jakarta, Taman Ismail Marzuki, Jakarta, Jumat (9/12).
Kompas/Riza Fathoni

Adegan debuman tubuh menghantam lantai yang susul-menyusul itu sungguh mencekam, karena dilakukan di panggung yang terang-benderang. Penonton melihat dengan jelas, betapa tubuh para aktor itu benar-benar ambruk, seperti sebatang pohon besar yang tumbang. Suara tubuh membentur lantai panggung menjadi semakin mengerikan, terasakan begitu keras memecah kesunyian panggung.

Di akhir pertunjukan 30 menit itu, panggung gelap-gulita, mata tak bisa melihat apa pun yang terjadi di panggung. Akan tetapi, suara tubuh-tubuh yang tumbang terus terdengar dari arah kegelapan itu, susul-menyusul, dan mencekam.

Semangat bangkit

Dengan adegan ekstrem tanpa dialog di panggungnya itulah Fukui mencoba menjungkir pemahaman tentang mencari keselarasan dengan sesama manusia, maupun mencari keselarasan dengan alam. Jika benturan dengan sesama awak MuDA adalah upaya untuk memahami yang lain, maka benturan para pelakon dengan kerasnya lantai panggung adalah perwujudan evolusi semesta maupun evolusi umat manusia untuk terus bangkit dari setiap kejatuhannya.

Jatuh-bangun di panggung MuDA disebut Fukui sangat dipengaruhi dengan pengaruh para awak MuDA melihat bencana tsunami yang terjadi di Jepang pada 2011. Fukui menyebut, jatuh-bangun adalah hal paling dasar dalam peradaban manusia. ”Pada hakikatnya, hidup adalah proses untuk jatuh, bangun, jatuh, dan bangun lagi. Kita tidak punya pilihan, jika kita tidak bangun dari sebuah kejatuhan, kita akan tetap berada di dalam kejatuhan itu. Kita harus punya semangat untuk selalu bangkit,” ujar Fukui lugas.

Cara ekstrem membagikan pengalaman tentang ”komunikasi” itu memang dipengaruhi latar belakang Fukui sebagai penari breakdance, dan pengalamannya bersama kelompok breakdance Ichigeki yang didirikannya pada 1998. Breakdance disebutnya sebagai tarian yang kompleks karena menampilkan gerakan ketika tubuh berdiri tegak, sekaligus gerakan ketika tubuh menjadi tumpuan di lantai. Ketika gerakan-gerakan itu diolah ulang menjadi sebuah pertunjukan kontemporer sebagaimana ”Semegiai Random 2”, pertunjukan itu menimbulkan beragam reaksi penonton.

”Kadang ada penonton yang ketakutan, ada pula penonton yang menjadi marah karena melihat bentuk pertunjukannya. ”Tetapi, ada pula penonton yang bisa menangkap intensitas komunikasi di antara kami,” kata Fukui.

Fukui mengakui, meski setiap benturan di atas panggungnya dilakukan dengan saling-kesepahaman di antara sesama awak MuDA yang saling menerjang, mereka tidak pernah saling tahu hasil akhir dari sebuah benturan. Apa yang terjadi di atas panggung MuDA adalah sebuah benturan yang terencana, dengan hasil yang tak sepenuhnya ada dalam kendali mereka, yang kemudian kembali direspons menjadi babakan selanjutnya.

”Sebagai sutradara, saya tidak sepenuhnya mengendalikan apa yang terjadi di atas panggung. Seperti permainan sepak bola, pelatih memberikan arahan strategi, dan itu adalah kendali seorang pelatih. Namun, ketika pemain telah memasuki lapangan, apa yang terjadi di lapangan bukan sepenuhnya kendali seorang pelatih, sehingga ada kekalahan dan ada kemenangan. Struktur setiap pertunjukan MuDA sangat terencana, tetapi saya tidak bisa mengendalikan apa yang akan terjadi di panggung saya,” kata Fukui.

Ketua Komite Teater Dewan Kesenian Jakarta Afrizal Malna menyebut MuDA adalah contoh dari perkembangan terkini seni pertunjukan. ”Pada akhirnya, pertunjukan adalah medium ekspresi seni. MuDA lepas dari batasan pengertian ”teater”, ”tari”, ataupun ”musik”, dan itulah bagian dari dunia kita sekarang ini. Mereka memadukan beragam hal yang berbeda di dalam pertunjukan, termasuk perkembangan teknologi media. MuDA mewakili tantangan baru, yang membuat kami memilihnya untuk menutup Festival Teater Jakarta 2016,” kata Afrizal.

ARYO WISANGGENI G


Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 17 Desember 2016, di halaman 23 dengan judul “TEATER Darah Muda ala MuDA”